Jumat, 26 Agustus 2011

GO F*CK YOURSELF!


Beberapa tahun yang lalu, tepatnya di awal 2006, saat aku melamar pekerjaan di sebuah majalah politik tingkat nasional, aku didepak dan gagal di ujian pertama dari tujuh tahapan ujian yang lima di antaranya berbentuk psikotes. Waktu itu, aku jelas mencibir sistematika penerimaan di majalah itu. Masa mau cari wartawan yang siap pakai, mereka hadang dengan 5 kali psikotes. Yaudah, makanlah psikotes kalian itu, begitu pikirku.

Demi menyenangkan hati ibu, waktu itu aku pulang ke Medan untuk mengikuti seremoni wisuda S1 di kampus. Enggak sampai seminggu di Medan, tiba-tiba aku dihubungi oleh staf HRD sebuah LSM perlindungan anak yang sebelumnya juga pernah jadi objek lamaranku. Sayang, waktu itu mereka menolakku karena belum tamat kuliah. Staf yang mereka terima kebetulan sudah lenggang kangkung dan pindah ke lembaga lain yang gajinya lebih tinggi. Karena di Jakarta juga belum ada kepastian, maka kuterima saja tawaran pekerjaan tersebut.

Singkat cerita, aku pergi ke Nias, salah satu wilayah jajahan LSM tempatku bekerja itu. Berkisar sebulan kemudian, ibuku menelepon. Katanya, majalah yang dulu mendepakku di psikotes tahap pertama menelepon lagi, ke rumah, dan mengajak bergabung dengan majalah mereka. Jelas saja aku berang dan murka. Sudah menolakku dan sekarang mengajakku bergabung lagi. Go fuc* yourself!

Begitulah kisah hidupku, terulang lagi saat aku akan melanjutkan studi di S2. Universitas yang kutuju, menyatakan aku tak memenuhi persyaratan akademik. Persyaratan akademik yang mana? Mana ketehe! Yang jelas, IPK-ku di atas 3, berasal dari PTN dengan akreditasi A, dan menyertakan referee yang juga lumayan mantap. Singkat cerita, seminggu kuhabiskan melihat dan kembali melihat seolah tak percaya ke website unversitas yang menyatakan aku tak lolos, akhirnya aku mencari opsi universitas lain.

Memang sudah ada tawaran untuk pulang ke Medan. Tapi, kali ini, aku bertahan. Bukan hanya karena aku sudah membayar uang kos setahun penuh, tapi aku juga tak ingin menyerah begitu saja. Kalo universitas itu tak menerimaku, memangnya kenapa? Masih banyak pilihan lain kok. Aku di sini bukan untuk dia saja. Aku membuka hati untuk yang lain.

Jadi, kuputuskanlah untuk kuliah di tempat lain. Kemarin, setelah membayar biaya 5 SKS di sebuah kampus swasta, iseng kubuka lagi website kampus negeri itu. Eh, kok statusku berubah?! Aku dinyatakan lulus. Sungguh aneh kampus ini, pikirku. Kelulusa itu, menurutku sama sekali bukan mukzizat. Hanya sebuah kesalahan yang diperbaki. Begitupun, tetap saja pagi ini aku terbangun dengan pikiran termangu-mangu. Ih, aneh banget ya? Entahlah, mungkin karena kali ini aku bertahan, maka sesuatu bekerja untuk mengoreksi kesalahan yang telah terjadi. Yang jelas, jalan masih panjang. Aku masih harus mengurus macam-macam proses registrasi ulang. Mudah-mudahan otakku tetap waras sehingga tak sampai melakukan apa yang dulu kulakukan saat lenggang kangkung pergi ke Nias dan berkata pada majalah yang menolakku itu “go fu*k yourself”!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar