Jumat, 06 Januari 2012

MONEY POLITIC


Aku agak terenyuh saat mengamati gambar di dalam selembar uang kertas seribu rupiah. Awalnya, kupikir kalau coretan di alat pembayaran itu hanyalah tulisan iseng yang biasanya berisi kata-kata seperti, “milik x, jalan x, kota x” atau “x aku cinta kamu”. Keisengan yang paling parah, dan lagi-lagi korbannya adalah uang seribuan, adalah polesan tinta pada sosok Kapitan Pattimura yang membuat tampang Nyong Ambon itu berubah menjadi sosok Naruto. Sayang, aku tak sempat mengabadikannya dalam sebuah dokumen foto.



Geli hati aku membaca tulisan itu. Kalaulah benar tulisan itu memang buah karya seorang siswa, mungkin SMP atau SMA, betul-betul gawat negara kita ini, bah. Sebuah praktik money politic yang real terjadi dan terdokumentasi. Pertanyaannya, dari mana anak SMP atau SMA belajar money politic? Enggak mungkin terinspirasi dari mimpi tadi malam atau cicak-cicak di dinding kan? Intinya, mereka belajar dari orang dewasa, kita-kita yang lebih dahulu lahir dari mereka. Melihat di tv, membaca koran, mendengar radio. Praktik money politic demikian seringnya terjadi dan diberitakan sehingga dengan mudah juga mereka mengimitasi perbuatan tersebut.

Aku adalah golongan yang setidaknya, tidak percaya pada dua hal, pertama money politic, kedua kenakalan remaja. Setelah lelah dua tahun berkecimpung di dunia LSM yang sedang gandrung menggelar program dari gerakan sosial ke gerakan politik (gersos ke gerpol), nyata sekali kalau gerakan yang dibangun oleh civil society juga tak benar-benar bergerak dari akar rumput. Setali tiga uang saja dengan praktik politik yang dilakukan oleh elit partai. Untungnya bagi kelompok masyarakat tersebut, ada money politic yang bisa disalahkan. Walau evaluasi mendalam mengindikasikan bahwa kegagalan gersos ke gerpol adalah karena belum adanya partisipasi dari akar rumput, tetap saja money politic dijadikan kambing hitam utama. Menurutku, rakyat tidak bodoh. Mereka tahu kok kalau mereka sedang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, termasuk untuk kepentingan lembaga pendamping mereka. Lantas, apa pantas menyalahkan money politic semata. Kita boleh berpendapat, tapi saya tak percaya money politic tok yang menjadi penyebab kegagalan gersos ke gerpol. Oleh sebab itu, saya mendukung gerakan lainnya, yaitu germo alias gerakan moral.

Tentang kenakalan remaja, pemahaman ini juga kudapatkan dari pengalaman empiris selama bekerja di lembaga perlindungan anak. Walau hanya bertahan enam bulan, setidaknya aku yakin bahwa kenakalan remaja yang selalu digembar-gemborkan oleh orang dewasa, sekali lagi adalah kambing hitam dari kegagalan kita dalam mengasuh para generasi muda (saya berharap masih bisa mengelak karena memang secara biologis tak pernah memproduksi anak, mohon maaf jika ada yang pernah saya hamili atau merasa saya hamili). Apa yang disebut kenakalan remaja, menurutku hanyalah refleksi dari kenakalan orang tua. Orang tua yang tidak punya waktu untuk anaknya, orang tua yang hanya memberikan fasilitas fisik semata, dan deretan kegagalan lainnya.

Suatu ketika, seorang dosen pernah curhat di kelas. Intinya ia mengeluhkan situasi mutakhir saat ini yang membuatnya jadi berpikir keras bagaimana kelak ia akan membesarkan anaknya. Lalu, saya berkata, “salah Anda sendiri, kenapa beranak.” Mungkin karena dosen yang bersangkutan berjenis kelamin laki-laki, ia mungkin merasa bahwa ungkapan “beranak” itu hanya cocok dikaitkan kepada perempuan, maka ia menjawab, “saya enggak beranak, kok.”

Aku yakin, pemikiran bahwa “beranak” itu adalah spesifik domain perempuan bukan saja ada di dalam benak dosen tersebut. Beranak yang kumaksud adalah memiliki anak, secara biologis tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan laki-laki, langsung atau tidak langsung. Bahkan kalaupun merujuk pada Maria atau Kunti yang beranak tanpa senggama dengan laki-laki, toh mereka didatangi dewa/malaikat, yang saya yakin kalau mau dipertanyakan serius, pastilah jenis kelaminnya laki-laki. Intinya, anak lahir sebagai buah pertemuan antara sel telur dari pihak perempuan dan sperma dari pihak laki-laki. Perilaku anak kelak, tentu tak bisa menjadi kesalahan satu pihak semata, ibu saja atau bapak saja. Sayangnya, di dunia yang masih sangat patrilineal ini, kesalahan anak biasanya ditumpukan pada ibu semata. Sepanjang ingatan, setidaknya dua teman laki-laki yang sudah kutegur agar segera pulang ke rumah mereka, kalau tak demi sang isteri, setidaknya demi anak. Aku selalu mengumpamakan jika mereka terlalu lama berkeliaran di dunia luar, walau dengan alasan “demi kau dan si buah hati” tetap saja tidak sehat untuk anak mereka. Bayangkan jika suatu hari temanku itu pulang dan buah hatinya membuka pintu dan bertanya, “Cari siapa, Om?” Apa tak miris hati mereka karena sudah kehilangan begitu banyak momen bersama sang buah hati?

Bagi kita orang dewasa, kekecewaan terhadap kehidupan bisa lebih mudah disembuhkan. Tapi bagi mereka anak-anak, adalah luka seumur hidup. Seorang kerabatku yang juga kehilangan kasih sayang bapak di masa kecil, mengaku bahwa di usia 30-an barulah dia bisa menyembuhkan luka hati sejak dua dekade silam. Sementara aku sendiri belum mampu secara terbuka menghadapi masalah ini, jadi jangan tanya kapan aku akan sembuh dari luka hati itu. Tapi, sebagai orang dewasa, menjadi awas adalah sikap yang selalu kupegang teguh. Anak adalah ciptaan yang amat rapuh. Mudah bagi dua orang dewasa untuk membuatnya, tapi sulit untuk membesarkannya. Sayang, ketika orang dewasa gagal, kembali anak yang jadi kambing hitam. Perilaku anak, baik dan buruk adalah cerminan keberhasilan dan kegagalan orang dewasa. Coretan di lembar seribuan itu, mugkin sesuatu yang sepele. Tapi, di kepala anak, itulah proyeksi yang ia tangkap tentang perilaku kita orang dewasa dan kemudian ia refleksikan dalam kehidupannya.

Rabu, 04 Januari 2012

WHAT WE'VE MISSED FROM THE JOURNEYS (1)

Saat mataku tertumbuk pada satu plank nama sebuah praktik dokter, aku tiba-tiba berkata pada kakak sepupu yang berjalan di samping. "Kalau di sini kakak udah boleh sakit lho." Kakak sepupuku terdiam sesaat, mengerutkan kening, dan bertanya, "Memangnya kenapa?"

"Kan udah ada praktik dokter, jadi udah bisa berobat," ujarku. Lalu kuceritakan pengalaman sekitar dua tahun yang lalu. Bertujuh, aku dan kawan-kawan, berangkat ke sebuah desa di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Kami hanya bermodal sekilo ikan teri Medan dan nama seorang bapak di sebuah desa yang kami tak tahu persis di mana tempatnya. Setelah berjalan nyasar sekitar satu jam, kembali ke tempat kami salah memilih jalan sekitar setengah jam, dan setengah jam lainnya menuju desa yang dimaksud, kamipun mencari di mana rumah orang yang kami tuju. Tak ada RT atau RW apalagi nomor rumah, hanya nama. Selayaknya di kampung yang masih sangat tradisional, setiap orang saling mengenal, dan dengan mudah kami menemukan rumah bapak tersebut.

Dengan menyebut nama seorang kawan yang dulu pernah PKL di desa itu, kamipun disambut. Ikan teri kami serahkan kepada sang nyonya rumah, dan kamipun tanpa malu-malu menerima tawaran untuk beristirahat di atas tikar yang digelar lebar-lebar di ruang utama. Tak lama kemudian, tujuh gelas kosong dan dua teko berisi kopi dan teh manis pun dibawa oleh seorang anak perempuan yang melihat kami dengan tatapan dan senyum polosnya. Malam setelah makan, kami bertujuh bergelung di bawah selimut di atas lantai papan beralaskan tikar. Beberapa orang, anak-cucu pemilik rumah yang kebetulan sedang berkunjung, tidur tak jauh dari tumpukan tidur kami. Lazimnya rumah di kampung, hanya ada satu ruang privat bagi si pemilik rumah. Jadi setiap tamu, apapun statusnya, entah anak kandung sendiri atau pengunjung tak jelas seperti kami, tidur di tempat yang sama dengan fasilitas yang sama pula.

Paginya, walau tak terbiasa, kami mencoba menikmati rutinitas pagi hari, mandi, buang air besar, dan semua aktivitas lainnya di kamar mandi umum. Mandi bertelanjang bulat di hadapan para perempuan tua-muda. Mengeluarkan bunyi kentut di lobang wc yang hanya dibatasi tembok tipis di samping kerumunan orang yang mandi dan mengambil air minum. Setelah selesai mengurusi tetek-bengek pagi hari,  kami disambut di rumah dengan sarapan hangat dengan ikan teri sebagai lauk utama. Rebusan sawi putih dan sambal ikan teri terasa amat nikmat saat itu. Tapi mungkin merasa bahwa makan kami kurang lahap, anak laki-laki tertua di rumah itupun menyuruh kami menambah isi piring.

"Makan yang banyak, dek. Di sini enggak ada Puskesmas, jadi enggak boleh sakit. Makanya, makanlah yang banyak, supaya jangan sakit kalian," ujarnya. Sesaat kami mencoba mencerna kalimat tersebut, kemudian kamipun tertawa serempak-miris. Betapa kehidupan telah memberi mereka tantangan yang tak mampu mereka hadapi, sehingga akhirnya solusi yang dibuatpun begitu anehnya : makan banyak supaya tak sampai sakit. Apa tak pernah sekalipun ada pihak pemda yang mendengar lelucon seperti itu sehingga tergerak hati mereka untuk membangun fasilitas kesehatan minimal selevel puskesmas di kampung tersebut? Entahlah.

Kuceritakan kisah itu pada sepupuku yang kemudian termangu, lalu tertawa sejenak, dan termangu lagi, serta ditutup dengan tarikan nafas panjang. Yah, begitulah. Setidaknya, di pulau kecil ini ada sebuah praktik dokter, tempat orang sakit bisa berkeluh-kesah dan mendapatkan pengobatan. Sehingga mereka tak perlu makan banyak-banyak agar jangan sampai penyakit menyerang mereka.