Jumat, 28 Oktober 2011

KEMUNDURAN PERADABAN : A TOILET CONTEMPLATION

Tadi malam, aku berkunjung ke sebuah warung kopi. Bukan untuk ngopi, tapi ngambil fotokopian. Lho itu warkop ato tempat foto kopi? Jadi begini, paginya aku minta tolong pada seorang kenalan baru untuk menduplikat sebuah bab dalam sebuah buku untuk dijadikan bahan referensi tugas kuliah. Jadi, kamipun berjanji bertemu di warung kopi yang kebetulan dekat sekali dengan kosanku itu.

Singkat cerita, fotokopian berpindah tangan dan kawan baruku itupun tak meminta biaya fotokopiannya. Asyikkkk! Lalu, iapun mengenalkanku pada temannya yang punya warkop. Seseorang bernama Rudi, atau Roni, atau apalah, aku sudah lupa. Jadi, entah untuk mendekatkan diri atau pamer, si Rudi atau Roni itu pun bertanya tentangku, kuliah di mana, dosennya siapa, de el el. Dan diapun mulai bertanya kenal dengan si anu, si ane, si ani, siapalah, yang beberapa namanya memang kukenal dan salah seorang di antaranya adalah dosenku di salah satu kampus. Menyangkut dosen yang kebetulan doktor lulusan luar negeri itu, iapun memberikan statement kalau sang dosen sangat menyenangkan untuk diajak diskusi. Padahal, di kalangan kami mahasiswa, dosen yang bersangkutan bukanlah sosok yang asyik buat diskusi. Bukan karena dia tak cerdas, justru karena dia cukup cerdas, ia mengambil posisi sebagai seorang yang tahu semuanya dan kami tak tahu apa-apa. Jadi, kamipun menyebutnya dosen yang meng-Amerikanisasi kami.

Lantas si Rudi atau Roni tadipun berusaha membantah bantahanku tentang pribadi si dosen yang bersangkutan. Eh, Jaka Sembung naik ojek, dia malah mengatakan kalau suatu saat pasti dosen itu, akan datang ke warkopnya. Hubungannya apa yang dengan pembicaraan kami? Sebenarnya, jelas sih. Dia mau bilang, warkopnya itu suata saat pasti akan didatangi oleh "seseorang" lho. Memang sih dosen yang kami bicarakan itu adalah "seseorang". Tapi, who fu*king care? Mau presiden kek, Paris Hilton kek, gundoruwo kek, emangnya gue pikirin? Kayaknya aku enggak maruk-maruk amat deh. Oke, dia itu temannya teman baruku, jadi belum keluarlah mulut berbisaku.

Lanjutlah kami berbicara tentang macam-macam hal, dan semakinlah aku bisa menyimpulkan mahluk macam apa si Roni atau Rudi itu tadi. Dalam berbagai topik, ia selalu mengucapkan nama-nama, entah siapapun itu, yang mungkin dia anggap keren. Menurut si anu yang adalah sesuatu ene, ano adalah ani. Jadilah aku kembali mengingat beberapa sosok dosen di sebuah kampusku yang sama persis karakternya dengan si Rudi atau Roni ini. Bahasa kerennya, menurutku mereka adalah seseorang yang suka berdialektika dengan mencatut nama-nama orang hebat. Itupun hebat menurut kategori dia lho.

Jadi, aku ingat sebuah kuliah yang sangat mencerahkan sekitar seminggu yang lalu. Dengan sangat meyakinkan, sang dosen bangkotan yang sudah puas makan asam garam dunia akademik, mengatakan bahwa peradaban saat ini mundur ke belakang dan manusia sudah lebih mirip kambing daripada manusia benaran. Beberapa mahasiswa cukup kaget dengan statement itu dan bahkan ada yang protes. Pernyataan seperti itu bukan pertama kali kudengar. Dulu, sekitar satu dekade yang lalu, salah seorang dosen pernah menyatakan hal yang agak mirip dengan ucapan itu. Bedanya, kalau yang sekarang manusia dikatakan seperti kambing, dulu, kami mahasiswa disebut lebih rendah daripada sapi. Jadi, ucapan dosen tua-bangka itu sedikit lebih halus daripada ucapan yang kudengar sepuluh tahun silam.

Sayangnya, aku mengamini ucapan sang dosen. Memang, peradaban manusia justru mundur ke jaman kekelaman. Dan menurutku, kemunduruan itu sedikit banyak disumbang oleh perilaku orang-orang seperti Roni atau Rudi itu tadi. Orang-orang yang lebih suka mencatut nama-nama besar ketika sedang berdialog, daripada menggunakan otaknya sendiri, selemah apapun pemikirannya, adalah penyumbang terbesar kemunduran peradaban. Kenapa? Karena orang-orang seperti inilah yang membuat pikiran kita terbatas dan terkungkung dengan pakem-pakem, statement-statement, dan teori-teori yang sudah diciptakan dan diucapkan sebelumnya.

Berlawanan dengan orang-orang seperti Rudi atau Roni tadi, aku justru sangat menghargai kekayaan dan kebebasan berpikir dan berteori. Memangnya kenapa kalau kita menggunakan istilah sempakologi daripada menggunakan triangle yang sudah populer lebih dulu. Memangnya kenapa kalau menjadikan toilet sebagai venue untuk kontemplasi dengan aroma taik sebagai pengganti aroma terapi? Memangnya kenapa kalau istilah melenje yang bahkan belum dikenal sama sekali dijadikan sebuah filosofi hidup? Inilah yang membuat peradaban maju ke depan. Ia menjadi kreatif, baru, dan segar. Bukan meng-copy paste dan mengulang apa-apa yang sudah tercipta sebelumnya.


Permasalahannya, aku justru merasa terjebak dalam kemunduran peradaban itu. Kalau dulu, ketika masih bekerja di masyarakat, aku bisa berdialektika dengan menggunakan fakta-fakta lapangan tanpa harus acuh dengan segala teori taik kucing yang sudah mendunia itu. Sekarang, di awal perkuliahan, seseorang dengan gelar doktor anu lulusan negeri ani, sudah langsung berkoar-koar mengenai masalah pencatutan nama. Ini kan jadi masalah ketika kita berpikir dan kemudian menarik kesimpulan tentang sesuatu, tapi harus selalu berkiblat pada apa yang sudah dikatakan oleh orang-orang yang dengan bangga kita sebut para ahli. Itu kan sebuah pembatasan yang tidak manusiawi? Membatasi otak kita yang sama sempurnanya dengan otak para ahli. Ini kan disebut kambingisasi atau lembunisasi? Jelaslah, kita memang berjalan lurus dengan kecepatan tinggi ke arah kemunduran peradaban!

Malangnya nasibku, bersama dengan rombongan paling depan dengan kendaraan paling cepat, di situlah aku berada saat ini. Aku berada di barisan paling depan menuju kemunduran peradaban. Padahal, dulu aku sudah berada di peradaban yang lebih maju. Sudah menggunakan istilah sempakologi, ikut menciptakan budaya toilet contemplation, dan tokoh utama dalam filosofi melenje. Tapi sekarang, duniaku dibatasi oleh para ahli, statement mereka, teori mereka, bahkan kalau mereka menciptakan taik kucing sekalipun, aku harus ikut. Dan aku akan menjadi orang yang sama seperti si Rudi atau Roni tadi. IRONIS! 

Minggu, 23 Oktober 2011

KEHIDUPAN

Pernahkah kukatakan kalau aku benci tangisan bayi? Bukan karena aku benci kehidupan, tapi karena kubenci penderitaan. Aku benci melihat mahluk kecil itu harus keluar dari rahim ibunya yang hangat dan menghadapi dinginnya dunia. Aku benci melihat orang-orang dewasa merasa bangga kalau bayi itu tumbuh semakin besar dan meninggalkan keluguannya. Karena begitu banyak penderitaan di dunia ini, di kehidupan ini, maka rasanya cukuplah kita saja yang berjuang keras tanpa henti untuk tetap hidup, tak perlulah menambah kawan sependeritaan lagi.

Pagi ini aku terbangun dengan perasaan duka karena kematian. Tapi kucoba usir dengan beryoga, cara terbaik yang kutahu untuk kembali bersatu dengan jiwaku yang melayang-layang. Belum selesai yogaku, kudengar bunyi gedebuk yang cukup keras dan disambut jeritan pilu seorang bayi dan teriakan histeris ibunya. Yogaku terhenti dan hatiku semakin galau. Lihat, apa yang dilakukan kedua orang tua bayi itu sampai anak mereka jatuh berdebam begitu keras!

Mengutip kata orang bijak, tidak semua kita pernah menjadi orang tua, tapi semua kita pasti pernah jadi anak. Sebagai anak, cukup lama, puluhan tahun aku berjuang untuk bahagia dan menyelesaikan dendam kesumat pada kedua orang tuaku. Pada bapak yang tak pernah ada untukku sampai akhirnya maut menjemputnya di usia muda. Pada ibu yang mengandungku dan membagi racun-racun dari obat asma yang ia konsumsi.

Berdamai, itu yang kucari terus dan terus. Mencoba mencari keseimbangan antara penderitaan yang bertaburan di seluruh pelosok kehidupan dan benih-benih kebahagiaan di semesta ini. Jadilah seorang anak dan tanyakan pada dirimu apakah jika anakmu adalah kamu dan kamu adalah anakmu, apakah kamu sudah merasa pantas menjadi seorang tua. Bukan sebagai orang dewasa yang dengan ego dan kesombongannya menganggap dirinya pantas menjadi orang tua. Lihat, apakah kamu akan menyediakan waktu, kasih, materi, perhatian yang cukup untuk anakmu. Setelah itu semua itu cukup, tanyakanlah lagi apakah dunia ini cukup pantas ditempati oleh seseorang, biji matamu, belahan jiwamu. Jawabku tidak, aku tak pantas menjadi orang tua dan dunia ini juga tak pantas ditempati oleh kekasih jiwaku.

Sabtu, 15 Oktober 2011

LAGI, TENTANG PERNIKAHAN


Seorang teman membuat status begini, "marriage is very very hard work, full of effort we put in marriage life. Full up and down, sad, disappointed, confuse, happy, mix together in one big bowl. It doesn't come easy". Dan tentu saja, aku datang dengan sudut pandang berbeda. "Marriage is a process of collecting all the shits in the world, and you put them in a bowl, and take it to be yours." Betapa pintarnya.

Baik, aku mengalah. Mungkin pernyataan itu terlalu keras. Kita ikuti saja qoutes temanku tadi. Mari bermain hitung-hitungan. Ada berapa sisi positif dan negatif dari pernikahan yang ia sebut. Positif : up dan happy. Negatif : down, sad, disappointed, confuse. Dua banding empat! Girls, what are you thinking about?

Para pendukung pernikahan datang dengan pembelaannya. Seorang berkata, "Marriage is a world heaven, feel, taste, and enjoy it in a great bowl, with a smart guy." Oh, yang benar saja. Setahuku, rumusannya masih sama, dari dulu sampai sekarang: Smart woman + smart man = romance, smart women + dumb man = affair, dumb woman + smart man = pregnancy, dumb woman + dumb man = marriage.  Lihat, apa yang terjadi ketika perempuan menemukan laki-laki yang pintar, mereka menghamilimu!

Seorang yang lain datang untuk menengahi. "Not easy doesn't mean impossible, it just takes time, be positive, 'cause your man is truly in your mind." Ladies, if our men is truly in our minds, then we don't need a man anyway, it is in our minds! Just use your brain, no need the big boy to take care of. Just like a smart quotes say, a woman without a man just like a fish without bicycle. Yes, we don't need them at all, girls! I mean in our house to be husband. Just make love, romance, but don't tie down. It'll kill both of you.

HOMESICK

Homesick? Not happening to me. Setahuku, kerinduan pada rumah bukan bagian dari sakit jiwa akut yang kupunya. Tapi kenapa ya, kok rasanya belakangan ini hidup terasa hampa tiada gairah (alah!). Badan sehat, olahraga teratur, makan sehat, merokok sudah dua minggu yang lalu, alkohol juga sudah dua minggu yang lalu.

Ya, memang ada tumpukan tugas kuliah. Tapi, aku memegang prinsip bahwa tugas dan pekerjaan tak perlu dipikirkan, cukup dikerjakan. Ini artinya, aku sedang ada beban mental.

Akhirnya, demi kemaslahatan hidup, aku mencoba menderetkan penyakit-penyakit jiwa yang kuidap selama ini. Pertama, father complex, ini memang susah disembuhkan, tapi aku sedang on going untuk tak lirak-lirik om-om keren. Apalagi sekarang aku sedang menikmati melimpah ruahnya kehadiran para berondong, di kampus, di gym, dan ya, para cowok gondrong juga.

Relationship? Not my interest. Keuangan? Cukuplah. Jadi, apa ya? Akhirnya, aku teringat pada satu kerinduan pada sosok lembut yang nikmat sekali. Bika ambon. Sudah kucoba cari di kota ini di toko kue yang cukup eksklusif. Tapi sayang, rasanya seperti sol sepatu. AKU MAU BIKA AMBON! Di manalah bisa kucari makanan yang uenak itu?

Kalau sudah begini, pertanda bahaya besar. Dulu, aku pernah sangat-amat ingin makan bika. Karena tak terpenuhi, aku sampai demam. Akhirnya, kubilang pada ibu. Dan diapun membeli sekotak besar makanan berwarna kuning yang manis dan uenak itu. Bika itu habis dalam dua hari dan demamku pun sembuh total. Please, anyone,  ada yang mau ke Medan enggak sih? Aku titip donk...