Selasa, 16 Agustus 2011

FILOSOFI TEH


Saat pindah ke Yogyakarta, aku harus membeli sebagian besar kebutuhan sehari-hari. Mulai dispenser, ember, sampai jepit jemuran. Tak lupa, aku juga membeli teh dan gelasnya. Satu yang tak kubeli, saringan teh.

Untung, teh yang kubeli adalah teh kasar, bukan teh bubuk. Awalnya, aku tak berniat menyediakan saringan teh. Biarlah tehnya diaduk saja di dalam gelas, jangan disingkirkan. Namun, teman sekamarku, tak berkenan melakukan sedikit kerja sebelum minum teh. Ia menuntutku untuk membeli saringan teh.

Akhirnya, saringan itupun kubeli. Aku menggunakannya pertama kali saat menyediakan teh untuk kami, aku dan temanku. Dan, itulah terakhir kalinya aku menggunakan saringan teh itu. Karena sebelum membeli saringan teh, aku sudah beberapa kali ngeteh tanpa saringan. Teh yang diseduh, kalau sudah agak dingin, akan turun perlahan. Tidak semua memang. Masih ada yang tetap di permukaan. Tapi, dengan bantuan sendok, aku menyisihkannya. Tidak, aku tak membuangnya ke tong sampah atau saluran air di kamar mandi. Aku hanya menyisihkannya. Teh itu masih di tempat yang sama, di gelas yang sama. Memberikan cita rasa pada air yang kuseruput dengan nikmat.

Mungkin, begitulah harusnya kita memperlakukan masalah di dalam hidup ini. Tidak perlu disingkirkan atau disaring, sisihkan saja. Yang penting kita masih dapat menikmati hidup ini, bukan? Karena masalah dan halangan juga yang membuat hidup ini semakin terasa nikmat. Seperti menyeruput teh hangat di pagi hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar