Selasa, 29 November 2011

TOO MUCH LOVE WILL KILL YOU... AS WELL AS ROUTINES


Ini yang terjadi ketika aku terbangun karena bunyi alarm ketika mata masih betah tidur akibat begadang sampai jam 4 pagi, kamar dipenuhi dengan beragam jenis buku yang sudah berhari-hari berserak tanpa pernah benar-benar dibaca, masuk ke kamar mandi yang dipenuhi dengan piring-piring kotor bekas makan tadi malam, dan harus segera keramas karena ini sudah hari ke-empat rambutku tak kena shampo, dan aku harus masuk kuliah kurang dari setengah jam dari sekarang. And i looked at myself and ask, “What the hell i'm doing here?”

Aku sudah hidup sebegini lama dan tahu apa yang sedang terjadi saat ini, aku berdiri di jalan yang mengarah langsung kepada kematian. AKU TERJEBAK DI DALAM RUTINITAS! I'm so much aware about this situation. Rutinitas membuat lemak di badan semakin banyak, jerawat bertambah terus, sembelit setiap pagi, dan kerut di kulit bertambah berkali-kali lipat. Shit, i need a break. Dan aku tidak berada di sini, go to college to proof something. Aku mau keluar dari rutinitas di Medan, itu sebabnya aku pergi ke Yogyakarta. Kuliah hanya alasan, aku ingin melakukan sesuatu yang berbeda di sini, santai, do nothing, melenje. Oh ya, tentu saja aku ingat bahwa saat ini hidupku tergantung secara ekonomi sepenuhnya pada, meminjam istilah seorang kawan yang saat ini sedang berjuang untuk mendapat beasiswa, EMAK FOUNDATION.

Nilai yang bagus adalah laporan kepada pendana utama, emakku. But, skip it away! Emakku sudah makan asam garam kehidupan, ia ditinggal mati bapakku dan segudang masalah, menghadapi kebandalan masa remaja abangku plus kisah cinta abangku yang selalu problematis, dll. Satu atau dua nilai gagal tak akan membuat emakku putus asa dan membuat asmanya kumat lagi. Hopefully!

Setelah mencelupkan piring kotor ke dalam air ala kadarnya, mengkeramas rambut dan mandi dalam dua menit, akupun masuk kamar bertelanjang badan. Dan akupun bertekad untuk melakukan sesuatu yang beda hari ini. Nonton film romantis, makan mi ayam di mal, guling-guling di Malioboro. Yeah baby, i can do it!

But wait, ada amplop kuning berisi buku tagihan listrik bulan ini. Aku petugas penagih uang lisktrik bulan ini. Aku harus mendem di kos dan menunggu orang-orang mengetok pintu dan bilang, “Mbak, mau bayar listrik....” Shit again, i should stay home with the routinely. SOMEBODY, HELP ME OUT HERE!!!

Selasa, 01 November 2011

FILOSOFI YANG TAK DICERITAKAN

Sampai saat ini aku masih saja takjub setiap kali memasuki salah satu kelas yang kuikuti. Dari namanya, mungkin banyak orang yang sepele dengan kelas ini, tanpa mereka tahu bahwa di kelas inilah aku kembali ke masa lampau, menggali memori yang sudah lewat, menengoknya kembali dengan cara yang berbeda, dan akhirnya memperkaya kehidupan itu sendiri.

Suatu hari di kelas tersebut, kami membahas tentang salah satu tokoh dalam sebuah cerita di Kitab Adiparwa. Dosen pengasuh membuka kelas dengan menampilkan gambar burung garuda. Kurasa, siapapun yang pernah duduk di bangku SD, pastilah tahu tentang burung garuda, lambang negara Indonesia.  Apa yang semua orang ingat tentang burung yang satu ini? Sepertinya tak banyak, dan biasanya pastilah tentang bulu, selain sehelai kain yang dicengkram oleh sang garuda yang berbunyi "Bhineka Tunggal Ika", catat ya Bhineka Tunggal Ika, bukan NKRI harga mati lho.

Jadi, kembali ke masalah bulu, kalau enggak salah ada hitung-hitungan bulu sang garuda yang dilambangkan adalah tanggal, bulan, dan tahun kemerdekaan NKRI. Bulu kaki sekian, bulu dada sekian, bulu sayap sekian. Kalau ada yang iseng, pasti nanya, bulu ketek dan bulu kakinya berapa jumlahnya ya? Entahlah, yang jelas tulisan ini bukan untuk menjelaskan jumlah bulu sang garuda.

Ada yang, entah lupa atau sengaja, tak diceritakan kepada kita, para generasi muda tentang asal-muasal dipilihnya garuda sebagai lambang negara. Ada landasan filosofis yang kupikir akan sangat mengena di hati masyarakat dan pastinya lebih  bermutu ceritanya daripada sekadar hitung-hitungan bulu-bulu tadi. Di kelas inilah kutemukan sesuatu yang tak kudapat di luar sana, sejak SD sampai kuliah S1, di mata kuliah Pancasila.

Siapakah sang garuda? Dia adalah anak dari Sang Winata dan Bagawan Kacyapa. Ia adalah anak yang menetas dari sebutir telur hasil tapa brata Rsi Walakilya. Ia adalah anak yang ditakdirkan untuk menebus ibunya dari perbudakan. Ia adalah anak yang berjuang, melawan para dewa bahkan Wisnu sekalipun untuk mendapat amrta guna menebus ibunya. Ia adalah pembebas. Kalau kita membaca bagian tentang sang garuda dan perjuangannya membebaskan ibunya, Sang Winata, dari perbudakan, maka patutlah kita acungkan jempol kepada para pendiri negara yang telah memilih sosok sang garuda sebagai lambang negara.

Saya teringat beberapa tahun silam saat di sebuah blog, yang katanya dibuat oleh orang Malaysia untuk menjatuhkan martabat Indonesia, yang memuat tentang lambang negara Indonesia, sang garuda, yang mencontek Polandia. Dari banyaknya komentar dan perdebatan, tak satupun yang saya baca menyinggung tentang sejarah garuda itu sendiri, keberadaannya sebagai anak yang dijanjikan, keberadaannya sebagai pembebas.

Aku beruntung masuk ke dalam sebuah kelas yang membuat mata dan pikiran terbuka kepada hal-hal yang tak kupahami sebelum ini. Dan aku percaya, banyak orang di luar sana, rindu untuk mengetahui apa yang saat ini kupelajari. Sesuatu, landasan filosofis, yang tak diceritakan kepada kita.