Senin, 31 Desember 2012

Menuangkan Isi Ember

Tahun baru, mau tak mau sudah tiba. Suka tak suka, tahun ini aku akan menjadi thirty something. Sungguh, sesuatu.

Kembali menulis di blog ini bukanlah resolusi tahun baru (aku tak pernah membuat resolusi tahun baru).  Pada dasarnya aku orang yang tak suka berkomitmen, persis seperti sifat laki-laki yang baru saja kudepak setelah 8 tahun ia menghantui hidupku. Namun, menjadi sedikit lebih bijaksana, dan sedikit lebih kurus lagi, terdengar lumayan menyenangkan untuk diangan-angankan di tahun baru ini-entah akan menyenangkan atau tidak kalau harus merealisasikannya.

Duduk di bangku kapel yang hanya setengah terisi di pagi hari ini dan mendengar khotbah romo yang gemar sekali bernyanyi (untunglah suaranya cukup mendukung hobinya itu), aku tersadar akan satu hal. Aku merasa seperti ember. Entah emberku penuh atau kososng, itu yang aku bingung menjawabnya.


Senin, 15 Oktober 2012

PRIA YANG INGIN MENGAJAKKU MENIKAH, SETELAH AKU DAN DIA MENJADI DUDA DAN JANDA


Ini bukan pernyataan cinta, for sure. Hanya saja aku merasa agak kaget ketika seorang teman mengatakan akan segera menikah bulan November nanti. Sebenarnya, aku enggak terlalu heran kalau ia akan menikahi perempuan yang selama ini ia pacari, dan aku juga pernah dikenalkan dengan pacarnya itu. Hanya saja, ketika kutanya kenapa ia menikah secepat ini (dia berumur 2 atau 3 tahun lebih tua dariku, yaaa jadi usianya sekitar 31 atau 32 tahun), ia memberikan jawaban yang sedikit aneh. Katanya, ia menikah karena ia bingung mau melakukan apa lagi di dunia ini. Tentu saja aku tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Kuliahmu aja belum selesai, udah gak tahu kau mau ngerjakan apa? Sarjana kau dulu, baru kawin!” (Memang kawanku itu belum tamat S1, padahal seperti kutulis sebelumnya, ia lebih tua dariku. Ia punya begitu banyak kegiatan, kecuali menyelesaikan kuliah S1-nya.)

Mungkin aneh, kenapa aku merasa kaget ia ingin menikah secepat ini. Mungkin juga karena aku sendiri sering merasa kalau kami bukan hanya berteman, tapi jelas kami tak punya romansa apapun, setidaknya dari pihakku. Dia itu teman yang aneh, aneh karena ia memang aneh adanya. Biasanya untuk orang yang aneh, aku belajar cuek dan tak terlalu peduli kalau tiba-tiba ia kumat ayannya (gila, tiba-tiba menjadi pemarah, atau tiba-tiba menghilang dari muka bumi tanpa kabar sedikitpun). Namun, aku sering marah kalau ia tiba-tiba menggila. Padahal, berteman dengan teman-teman yang kebanyakan mengidap sakit jiwa kambuhan, membuatku sudah hapal gejala-gejala kalau mereka sedang tak waras. Tapi, aku selalu merasa marah kalau ia tiba-tiba menjadi pendiam tanpa sebab, menghilang, atau tak membalas sms atau telepon.

Minggu, 30 September 2012

SEBENTAR LAGI, DI DEPAN


Jawaban seperti itulah yang kuterima tiap kali aku berhenti mendaki dan bertanya, “Masih jauh?” Tentu saja, aku bukan anak kemarin sore. Usiaku sudah uzur dan yang memberikan jawaban itu juga jauh lebih muda dariku. Aku tahu ia menipuku. Tapi, bahkan untuk orang seumurku pun butuh ditipu agar tetap semangat dan tidak menyerah.

Aku tahu banyak motivasi diri agar tidak pernah mengangkat bendera putih saat hidup. Ada satu motivasi yang paling berkesan, entah dari acara mana aku mengetahuinya, mungkin sebuah talkshow. Perempuan ini pernah diberi nasehat oleh ibunya. Kata sang ibu begini, “Dalam kesulitan, ingatlah bahwa kau juga pernah mengalami kesulitan dan sekarang kau mengenang masa-masa itu. Sehingga setiap berada dalam kesulitan, kau harus berpikir kalau kau pasti akan melewatinya sama seperti masa-masa sulit yang sudah lewat.”

Di depan, sebentar lagi, adalah sebuah harapan. Harapan bahwa masalah dan kesulitan akan segera lewat dan kau hanya perlu melewatinya dan berusaha sekuat tenaga. Kadang, yang kita perlukan hanyalah seseorang yang sepertinya menipumu, tapi sesungguhnya ia mengatakan kebenaran. Masalah akan segera selesai, sebentar lagi, di depan.   

Selasa, 25 September 2012

Target

Mematung di depan buku dan laptop dengan hanya otak yang bekerja keras sementara jari tangan hanya sekali-kali menggoreskan tinta di atas kertas atau menekan tuts keyboard, membuatku berpikir tentang dua hal: target dan standar. Aku belajar tentang dua hal ini dan hal-hal lainnya dalam waktu hanya empat hari, ketika mendaki Rinjani, sekitar 3 minggu yang lalu. Pendakian itu tak mudah bagi pendaki pemula yang sudah uzur sepertiku. Kata kawanku yang sudah hapal setiap senti gunung Rinjani, tak perlu membuat target yang terlalu jauh. Pikirkan saja tempat yang cukup realistis untuk dicapai. Tentu saja perjalanan empat hari dibagi menjadi beberapa target. Ada target harian, target waktu makan, dll. Terkadang, target yang ingin dicapai tampak terlalu sulit untuk dicapai. Bukitnya terlalu tinggi dan curam. Rasanya tak ingin memikirkan puncak bukit sebagai target. Maka mata tak lagi melihat ke atas bukit. Aku hanya menargetkan tikungan atau bongkah batu 10 atau 15 langkah di depan sebagai target. Setelah mencapai target, akupun menghadiahkan diri dengan beberapa detik istirahat untuk menarik nafas.

Inilah yang sekarang kulakukan, membuat target. Tak muluk-muluk dan tak jauh-jauh. Hari ini, tepatnya sebelum sarapan, aku menargetkan Bab II. Bukan Bab II tesisku, tapi Bab II salah satu buku babon yang akan menjadi landasan pemikiran dari seluruh isi tesis ini. Mudah-mudahan target hari ini bisa tercapai. Setidaknya, jika malam ini aku mencapai target, aku dapat tidur nyenyak, alih-alih mimpi buruk dimarah-marah oleh sang profesor seperti tadi malam.

Minggu, 06 Mei 2012

The Thoughts


  • Many people hopes today will be better than yesterday, and they ask for luck. I said, today will be better because we work harder than yesterday, so get your ass off and go to work, harder!
  • Ternyata, jika masih hidup di dunia yang sama, dengan permasalahan yang juga masih sama, mustahil untuk berkata, "Wah, aku sudah selesai dengan masalah itu." 

AKU RINDU RUMAH BESAR IBUKU


Ini bukan soal kekayaan ibuku sehingga ia mampu membangun rumah besar itu. Perkara ini muncul di kepalaku karena pagi ini aku terbangun dengan satu persoalan yang amat menggelisahkan : di mana nanti akan kuletakkan seluruh barang-barangku di rumah kontrakan yang baru?

Kamar kosku yang sekarang saja sudah penuh sesak. Sementara kamar di kontrakan yang baru, ukurannya lebih kecil daripada yang sekarang. Di mana akan kuletakkan buku (segala ukuran, mulai ukuran buku saku sampai ukuran buku kasur), pakaian, sepatu, tas, dan segala pernak-pernik lainnya. Apakah ada tempat untuk leyeh-leyeh, yoga atau jingkrak-jingkrak? Semua kegiatan itu tak ada masalah di kamar yang disediakan ibuku di rumahnya. Tapi di sini, aku harus putar akal agar bisa menyesuaikan dengan ukuran 3 x 3 meter kamar kosan.


Di kontrakan baru, leyeh-leyeh tak mungkin lagi bisa dilakukan di dalam kamar. Untunglah masih ada balkon yang menjadi alasanku memilih kontrakan itu. Sementara untuk yoga, yah mungkin aku bisa lakukan di ruangan lain. Dan jingkrak-jingkrak? Ini agak sulit, aku tak terbiasa menunjukkan edisi 'diriku jingkrak-jingkrak' di ruang publik. Mungkin nanti aku akan jingkrak-jingkrak di dalam hati saja.

Aku ingin menjadi seperti kura-kura, tanpa wajah kura-kura yang mirip Bruce Willis itu. Hanya agar aku bisa membawa ke mana-mana kamar tercintaku di rumah ibu, berikut isinya : lemari besar, tempat tidur, sepeda statis, meja dan kaca rias, dan yang paling penting ukurannya. Hanya saja, entah kura-kura bisa atau tidak, sebenarnya aku mau membawa seluruh isi rumah itu, termasuk halaman depan yang cukup luas untuk lapangan futsal dan halaman belakang yang bisa menampung lusinan orang saat barbecue-an, dan terutama dapur dan segala isinya (aku harus berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan kulkas dua pintu yang akhirnya dibeli ibu empat tahun yang lalu dan kompor gas dengan tabung biru yang warnanya lebih menenangkan hati ketimbang tabung hijau yang seperti bom waktu itu).

Nyatanya, karena amat menginginkan dapur, ruang tamu, dan halaman (di rumah yang baru aku mengasosiasikannya ke dalam bentuk balkon yang cukup luas di lantai dua), aku mengalah dengan ukuran kamar yang lebih kecil dari yang sekarang. Walau nanti akan bersesak-sesak di kamar, setidaknya, kalau sedang sumpek, aku bisa melarikan diri ke ruangan lain, bukannya berkeliling sampai mabok di kamar berukuran 3 x3 meter. Aku menginginkan sebuah rumah yang bukan all in-semuanya berada di sini, seperti kamarku yang sekarang. Di ruangan 3 x 3 meter itu, 1/2 x 1 meter adalah dapur merangkap ruang makan, 2 x 1 1/2 meter ruang belajar, dan 1 x 1 1/2  meter ruang tidur merangkap ruang tamu. Sungguh bukan tempat ideal seperti yang ada di kepalaku.

Mungkin karena ibuku terlalu sempurna, dengan segala kekurangannya. Ia selalu ingin menyediakan rumah yang menurutnya pantas disebut rumah. Dulu, saat kami masih tinggal di rumah dinas guru yang ukurannya paling besar di antara rumah yang lain karena gabungan dari dua rumah, ibu selalu merasa tak punya rumah. Padahal kalau ia mau menata pikirannya, dia sudah punya rumah-rumah lain yang miliknya sendiri, hanya saja tidak di dekat Medan. Ia selalu merasa minder di antara kalangan pergaulannya dan saudara-saudaranya. Aku yang dibesarkan dengan cukup baik olehnya, dengan segala kekuranganku, menganggap bahwa ibuku terlalu berlebihan soal keinginannya untuk membangun rumah baru, sampai ia membeli sofa superbesar seharga setahun uang kontrakan rumahku yang sekarang. Walau dengan kekesalan di sana-sini, aku tetap mensyukuri bahwa keinginanku untuk memiliki kamar berukuran 4 x 3 1/2 meter dikabulkan. Dan saat pindah, aku bingung harus melakukan apa terhadap ruangan sebesar itu. Mungkin itu yang dinamakan nafsu besar tenaga kurang. Untungnya, di rumah ibu, ada banyak barang yang dapat kuangkut ke dalam kamar, termasuk sepeda statis yang juga hasil perjuangan negosiasi yang cukup panjang dengan ibu.

Tak sampai setahun menempati kamar itu, aku pindah ke Jogja, dan terdampar di kamar 3 x 3 meter, tanpa halaman, tanpa ruang tamu, tanpa dapur, dan pemiliknya yang terkutuk itu. Jadi, keputusan untuk mengontrak kamar kecil di dalam sebuah rumah yang dilengkapi ruang tamu, dapur, dan balkon pengganti halaman, adalah keharusan. Sampai aku pindah nanti, mungkin setiap pagi, alih-alih terbangun dengan inspirasi tentang isi paperku yang masih waiting list 7 buah, aku akan terbangun dengan nyut-nyut di jidat karena memikirkan bagaimana caranya mengatur semua barang dari kamar lama ke kamar yang baru.

Senin, 16 April 2012

PERMOHONAN KEPADA PARA PENUNGGU POHON JATI

Kemarin sore aku menerima sms dari salah seorang anak kos, isinya begini : "Jangan heran kalo kosan kita semakin panas, karena iklim mikro yang semula terbentuk kini hampir hilang karena ulah tangan-tangan yang tak tahu dosa".

Agak kaget juga aku membacanya. Memang, sudah dua hari ini cuaca panas adalah topik yang paling sering muncul di kosan. Bukannya udara Jogja baru dua hari ini saja terasa panas. Tapi, khusus di kos kami, selalu terasa adem. Di antara sederet komplain terhadap rumah tinggal kami itu, ada dua hal yang selalu membuat adem, kulkas dan sederetan pohon jati yang selalu mengirimkan angin semriwing ke dalam rumah.



Ternyata, ulah tangan-tangan tak tahu dosa yang dimaksud di dalam sms tadi adalah penebangan pohon-pohon jati di halaman depan. Entah mimpi apa si penebang jati sehingga terinspirasi untuk membabat pohon tak berdosa itu.

Karena merasa tak senang, ternyata gerakan protes penebangan pohon jati sudah dilancarkan oleh dua orang anak kos. Pertama, si pengirim sms, Yenni. Ia bertanya mengapa pohon jati itu ditebangi. Alasan yang diajukan ternyata semakin bikin gerah hati. Karena daun pohon jati selalu berguguran sehingga kalau tidak dibersihkan kosan tampak seperti kuburan. Masalahnya, tidak ada yang protes kalau daun jati itu berguguran, toh memang sudah masanya rontok. Kalaupun kosan seperti kuburan, lebih baik, daripada panas seperti neraka.

Lalu pemerotes kedua datang dengan sedikit alasan mistik. Ke mana para penghuni pohon jati kalau 'rumah'nya ditumbang? Tampaknya si penebang pohon semakin tidak tertarik dengan alasan itu, mungkin dia memang tak percaya mistik atau dia adalah bos-nya setan sehingga tidak takut kepada segala jenis roh-roh penunggu pohon.

Sore ini, saat mencoba mendinginkan badan di sofa di depan kamar, ada laporan kalau isteri si penebang pohon merasa bahwa udara semakin panas setelah pohon-pohon jati itu ditumbang. Hello!!! Mau komentar apa ya? Terserahlah, aku tak ingin mengumpat di blog ini.

Habis magrib, udara semakin panas menjadi-jadi. Entah harus komplain kepada siapa. Hanya berharap kalaupun ada penghuni pohon jati yang merasa terusik karena rumahnya ditumbang, aku mau bilang, kami sama seperti kalian, merasa tak senang pohon itu ditumbang. Kalau ingin membalas dendam, balaskanlah sekalian kekesalan kami pada si penebang pohon.


Kamis, 05 April 2012

ANUGERAH

Mudah sekali untuk berbicara anugerah pada saat-saat perayaan keagamaan seperti hari ini. Jumat Agung, orang-orang merasa bahwa anugerah telah dicurahkan padanya, besar dan dahsyat. Orang bersyukur, memuji Tuhan, dan beribadah. Maaf, aku tak percaya pada anugerah yang transedental seperti itu.

Mungkin karena hidup di ranah realistis, walaupun, percaya tak percaya, aku pernah melihat hantu, makanya sesuatu yang transenden sulit untuk diterjemahkan. Sehingga hanya bisa dirasai dan diresapi, bukan untuk dibicarakan atau didiskusikan.


Keajaiban mungkin saja terjadi. Tentu saja, uang dadakan adalah salah satunya. Tapi, aku juga tak percaya keajaiban hujan uang. Itu terlalu muskil. Job dadakan yang dibayar mahal, teman yang tiba-tiba nraktir dalam rangka ulang tahun, dll. Miracle does happen, and shit does too. Jadi, hidup ini berimbang.

Namun, aku tetap percaya anugerah. Anugerah yang berwujud. Sesuatu yang terjadi tanpa diketahui alasannya. Dan karenanya, aku mendapatkan sesuatu yang baik.

Mahluk berbulu yang mendengkur di bawah dadaku saat ini mungkin salah satunya. Seekor kucing comel yang kemarin siang mengikutiku masuk ke kamar kos dengan suara gemerincing karena ada kerincingan sebesar setengah ukuran kepalanya bergantung di leher kucing kecil itu. Malamnya, ia masih betah di kosan. Dan saat aku masuk kamar, ia mengikutiku. Mungkin karena lapar atau kedinginan, makanya ia setia mengikuti ke manapun kakiku melangkah di kamar berukuran 3 x 3 meter itu. Ia berhenti mengekor saat aku masuk ke kamar mandi dan kupercikkan air ke wajahnya. Ia lalu lari terbirit-birit. Tapi tak lama kemudian, ia mengintip dari balik pintu kamar mandi yang kubiarkan terbuka.

Setelah mandi, aku membuka bungkusan ikan bakar yang sudah kubeli sebelumnya. Kucing itu mengikuti ke manapun tanganku bergerak. Ia pasti mau mencicipi ikan itu, pikirku. Akhirnya, kepala dan sesobek daging ikan kuletakkan di kertas agar dia berhenti mengikuti tanganku. Ia endus ikan itu sebentar, lalu ia meneruskan aktivitasnya mengikuti tanganku bergerak. Ternyata ia tak ingin makan. Lalu, ia memanjat kakiku dan menyeruduk daguku dengan wajahnya dan mendekur keras. Ternyata si comel itu hanya ingin dielus. Dengan susah payah, aku selesaikan makan malam. Karena aku masih bergerak ke sana ke mari, si comel mencari kehangatan di tempat lain, ke atas laptopku. Kuangkat dia dari atas laptop, dua kali, dan akhirnya aku menyerah dan memindahkan benda hangat itu ke atas meja agar tak ditiduri kucing kecil itu.

Setelah malamnya bergulat antara memasukkan atau membiarkan si comel tidur di lampin yang kusiapkan di belakang kulkas yang hangat, aku terbangun pagi-pagi buta. Saat kubuka pintu, kucing itu sudah terjaga di atas kain alas tidurnya. Lalu ia mengikuti masuk kamar, mengeong-ngeong, dan mengendus-endus. Kukelurkan tulang ikan bekas tadi  malam dari tempat sampah. Aromanya masih segar. Langsung saja si comel menyeret-nyeret tulang ikan itu ke berbagai penjuru kamar. Alhasil, kamar yang memang sudah seminggu tak kupel itupun semakin kotor. Mau tak mau, walau malas, pagi menjelang pergi ke misa Jumat Agung, aku mengepel lantai kamar, sembari diperhatikan oleh si comel dari atas tempat tidurku.

Kucing kecil itu kukeluarkan dengan paksa saat aku pergi ke misa. Aku tak ingin ia buang air di atas barang-barang di kamar. Karena kalau ia melakukannya, aku akan kesal sekali dan pasti ia akan mendapat satu atau dua jeweran di telinganya.

Sepulang dari misa, comel sudah menunggu di bawah kursi di depan kamarku. Mengeong memberi salam. Ia tampak bersemangat, bahkan memanjat bajuku agar bisa merasakan kehangatan badanku. Kucing ini benar-benar butuh kasih sayang. Kukunya menancap-nancap saat ia duduk atau tiduran di lipatan kaki atau tanganku. Itu gerakan khas anak kucing saat sedang menyusu pada ibunya. Tampaknya kucing jantan itu masih baru saja disapih induknya. Setelah semua aktivitas pagi selesai, aku mengambil posisi di tempat tidur. Kucing kecil itu sudah menunggu dengan santai di atas bantalku. Ia langsung mengambil posisi di lipatan tanganku dan mendengkur keras dan tidur.

Sudah lama betul aku tak merasakan kucing, memeluk, membelai, mendengar dengkurannya, melihat matanya yang bulat berbinar-binar. Sejak balita, aku dan keluargaku selalu punya kucing sampai kami pindah ke rumah yang baru sekitar satu setengah tahun yang lalu. Selalu ada perasaan tenang saat memandang kucing tidur, perasaan dibutuhkan saat kucing mengeong, entah karena ingin dibelai atau ingin diberi makan. Dengkuran, tatapan bahkan nafas beraroma ikan dari seekor kucing, sangat kukenali. Sangat familiar. Seperti suasana di rumah. Sesuatu yang kurindukan tanpa sadar di lubuk hatiku yang paling dalam.

Kedatangan si comel sepertinya membayar sedikit kerinduan akan rumah. Itulah yang kusebut anugerah. Ia datang tanpa alasan dan membawakanku suasana rumah yang kurindu. Lantas di mana Tuhan? Ialah yang mengutus si comel. Tak kuminta, tak kuharap, tapi kubutuhkan. Dan Tuhan berinisiatif untuk memberikannya. Itulah wujud Tuhan dalam imajiku. Bukan wujud ember penampung uneg-uneg remeh-temeh tak penting, tapi yang menjawab kebutuhan terdalam manusia, bahkan tanpa diminta, dan dengan cara-cara yang paling tidak terpikirkan. 

Jumat, 24 Februari 2012

Permohonan Kepada Hujan



Suara anakan kucing terdengar cukup nyaring di pagi buta jam setengah enam saat aku sedang berjalan menuju fitness center, tiga hari yang lalu. Biasanya, suara memiriskan seperti itu menandakan hidup mahluk kecil itu tak akan lama lagi, mungkin dia sekarat, kelaparan, dan kedinginan.

Pagi, saat kakiku melangkah menuju kampus, suara yang sama terdengar lagi. Kucari di mana-mana, suaranya hanya terdengar layap-layap namun cukup nyaring. Hatiku bersorak girang, setidaknya anak kucing itu cukup kuat untuk dapat mengeluarkan suara secempreng itu.

Saat kakiku melangkah menuju kosan, siangnya, sosok kucing kecil itu akhirnya menampakkan wujudnya. Untuk kucing jalanan yang jelas sudah disapih induknya, ia cukup sehat, bahkan tubuhnya cukup gemuk. Perutnya membuncit tanda ia tak kelaparan, bulunya tergolong cukup bersih dan ia juga cukup gesit. Aku membelai kucing itu sejenak. Ia jelas tak lapar, hanya butuh kasih sayang. Sayang, aku tak mungkin berlama-lama di tempat itu. “Rumah” kucing itu adalah di bagian pagar besi yang membatasi antara wilayah kampus dan jalan yang di seberangnya adalah pemukiman penduduk. Hanya ada tanah kosong di situ dan trotoar yang sering dijadikan lokasi tambahan bagi para pemilik warung tenda yang sudah bersiap-siap menggelar dagangan.

Akhrinya, aku meninggalkan si belang mungil itu. Ia mengeong-ngeong dan kakinya mengikuti langkahku. Aku berhenti sejenak dan menghardik anak kucing itu. Ia tak boleh mengikutiku. Sangat berbahaya berkeliaran di bagian luar pagar karena langsung bersisian dengan jalan raya yang walaupun bukan jalan utama tapi cukup ramai. Tubuhnya yang mungil pasti sulit dilihat oleh para pengendara sepeda motor yang terlalu ugal-ugalan untuk ukuran sebuah kota pelajar.

Kucing itu tampaknya paham ketika kuhardik. Ia duduk. Namun, ketika aku melangkah, ia mengeong lagi, dan mengikuti. Akupun berhenti dan kembali membentaknya. Ia lalu duduk terdiam. Ketika aku melangkah lagi, ia hanya mengeong, namun tak mengikuti. Aku berharap ia tetap berada di bagian dalam pagar, aman dari ancaman para pengendara sepeda motor.

Tadi sore, seperti hari sebelumnya, aku harus menyeret langkah dan pergi ke kampus saat megamendung masih menggelayut di langit setelah hujan kecil yang turun sebelumnya. Di saat aku melintasi pagar pembatas, tiba-tiba si mungil itu muncul. Ia menjilati bulunya yang basah. Akupun menggosok-gosok badannya. Mungkin karena dingin, ia langsung duduk di antara kedua kakiku. Kehangatan kain celana membuat matanya merem-melek saat kepalanya kuusap-usap.

Sayang, jadwal kuliahku semakin mepet. Walau berat, aku tinggalkan anak kucing itu. Sekali lagi, ia mengikutiku. Mungkin karena sudah terlatih, saat kupelototi sambil membentak pelan, anak kucing itu langsung duduk patuh, namun matanya masih terus mengikutiku.

Belum seberapa jauh beranjak, suara hujan besar bergetar di langit. Angin membawa hujan itu ke arahku. Walau sudah menghilang di belokan jalan, aku masih membayangkan kucing kecil tadi. Tak ada tempat berteduh baginya. Hanya tumpukan kayu yang tak akan berhasil membuatnya tetap kering jika hujan besar turun. Lirih di dalam hati aku memohonkan satu permintaan, “Hujan, tolong menjauh dari kucing kecil itu. Ikuti saja aku, biar aku saja yang basah kuyup.”

Entah hujan mendengar permohonanku atau tidak, tapi setidaknya satu permintaanku terkabul. Hujan mengikutiku dan membuat hampir seluruh celana panjangku basah kuyup walau sudah memakai payung.

Hujan di sore itu terasa semakin menyesakkan dada. Ada seekor anak kucing belang yang kupikirkan. Di mana dia berlindung dan bagaimana keadannya.

Selesai kuliah, aku pulang dan melewati jalan yang sama. Tak kulihat sosok atau suaranya. Di seberang jalan aku berhenti untuk membeli lauk makan malam. Saat menunggu pesanan, terdengar suara si kucing kecil itu. Ia sedang merengek di belakang pagar, tepat di samping sepasang pelanggan yang sedang menyantap makan malam. Kedua orang itu tampak sibuk menyodorkan makanan kepada si pus kecil. Si belang itu kelihatannya cukup sehat dan bahagia sore ini. Entah tadi hujan mengguyurnya atau tidak, tapi aku bersyukur untuknya. Setidaknya satu hari yang berat telah berhasil ia lewati.

Jumat, 06 Januari 2012

MONEY POLITIC


Aku agak terenyuh saat mengamati gambar di dalam selembar uang kertas seribu rupiah. Awalnya, kupikir kalau coretan di alat pembayaran itu hanyalah tulisan iseng yang biasanya berisi kata-kata seperti, “milik x, jalan x, kota x” atau “x aku cinta kamu”. Keisengan yang paling parah, dan lagi-lagi korbannya adalah uang seribuan, adalah polesan tinta pada sosok Kapitan Pattimura yang membuat tampang Nyong Ambon itu berubah menjadi sosok Naruto. Sayang, aku tak sempat mengabadikannya dalam sebuah dokumen foto.



Geli hati aku membaca tulisan itu. Kalaulah benar tulisan itu memang buah karya seorang siswa, mungkin SMP atau SMA, betul-betul gawat negara kita ini, bah. Sebuah praktik money politic yang real terjadi dan terdokumentasi. Pertanyaannya, dari mana anak SMP atau SMA belajar money politic? Enggak mungkin terinspirasi dari mimpi tadi malam atau cicak-cicak di dinding kan? Intinya, mereka belajar dari orang dewasa, kita-kita yang lebih dahulu lahir dari mereka. Melihat di tv, membaca koran, mendengar radio. Praktik money politic demikian seringnya terjadi dan diberitakan sehingga dengan mudah juga mereka mengimitasi perbuatan tersebut.

Aku adalah golongan yang setidaknya, tidak percaya pada dua hal, pertama money politic, kedua kenakalan remaja. Setelah lelah dua tahun berkecimpung di dunia LSM yang sedang gandrung menggelar program dari gerakan sosial ke gerakan politik (gersos ke gerpol), nyata sekali kalau gerakan yang dibangun oleh civil society juga tak benar-benar bergerak dari akar rumput. Setali tiga uang saja dengan praktik politik yang dilakukan oleh elit partai. Untungnya bagi kelompok masyarakat tersebut, ada money politic yang bisa disalahkan. Walau evaluasi mendalam mengindikasikan bahwa kegagalan gersos ke gerpol adalah karena belum adanya partisipasi dari akar rumput, tetap saja money politic dijadikan kambing hitam utama. Menurutku, rakyat tidak bodoh. Mereka tahu kok kalau mereka sedang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, termasuk untuk kepentingan lembaga pendamping mereka. Lantas, apa pantas menyalahkan money politic semata. Kita boleh berpendapat, tapi saya tak percaya money politic tok yang menjadi penyebab kegagalan gersos ke gerpol. Oleh sebab itu, saya mendukung gerakan lainnya, yaitu germo alias gerakan moral.

Tentang kenakalan remaja, pemahaman ini juga kudapatkan dari pengalaman empiris selama bekerja di lembaga perlindungan anak. Walau hanya bertahan enam bulan, setidaknya aku yakin bahwa kenakalan remaja yang selalu digembar-gemborkan oleh orang dewasa, sekali lagi adalah kambing hitam dari kegagalan kita dalam mengasuh para generasi muda (saya berharap masih bisa mengelak karena memang secara biologis tak pernah memproduksi anak, mohon maaf jika ada yang pernah saya hamili atau merasa saya hamili). Apa yang disebut kenakalan remaja, menurutku hanyalah refleksi dari kenakalan orang tua. Orang tua yang tidak punya waktu untuk anaknya, orang tua yang hanya memberikan fasilitas fisik semata, dan deretan kegagalan lainnya.

Suatu ketika, seorang dosen pernah curhat di kelas. Intinya ia mengeluhkan situasi mutakhir saat ini yang membuatnya jadi berpikir keras bagaimana kelak ia akan membesarkan anaknya. Lalu, saya berkata, “salah Anda sendiri, kenapa beranak.” Mungkin karena dosen yang bersangkutan berjenis kelamin laki-laki, ia mungkin merasa bahwa ungkapan “beranak” itu hanya cocok dikaitkan kepada perempuan, maka ia menjawab, “saya enggak beranak, kok.”

Aku yakin, pemikiran bahwa “beranak” itu adalah spesifik domain perempuan bukan saja ada di dalam benak dosen tersebut. Beranak yang kumaksud adalah memiliki anak, secara biologis tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan laki-laki, langsung atau tidak langsung. Bahkan kalaupun merujuk pada Maria atau Kunti yang beranak tanpa senggama dengan laki-laki, toh mereka didatangi dewa/malaikat, yang saya yakin kalau mau dipertanyakan serius, pastilah jenis kelaminnya laki-laki. Intinya, anak lahir sebagai buah pertemuan antara sel telur dari pihak perempuan dan sperma dari pihak laki-laki. Perilaku anak kelak, tentu tak bisa menjadi kesalahan satu pihak semata, ibu saja atau bapak saja. Sayangnya, di dunia yang masih sangat patrilineal ini, kesalahan anak biasanya ditumpukan pada ibu semata. Sepanjang ingatan, setidaknya dua teman laki-laki yang sudah kutegur agar segera pulang ke rumah mereka, kalau tak demi sang isteri, setidaknya demi anak. Aku selalu mengumpamakan jika mereka terlalu lama berkeliaran di dunia luar, walau dengan alasan “demi kau dan si buah hati” tetap saja tidak sehat untuk anak mereka. Bayangkan jika suatu hari temanku itu pulang dan buah hatinya membuka pintu dan bertanya, “Cari siapa, Om?” Apa tak miris hati mereka karena sudah kehilangan begitu banyak momen bersama sang buah hati?

Bagi kita orang dewasa, kekecewaan terhadap kehidupan bisa lebih mudah disembuhkan. Tapi bagi mereka anak-anak, adalah luka seumur hidup. Seorang kerabatku yang juga kehilangan kasih sayang bapak di masa kecil, mengaku bahwa di usia 30-an barulah dia bisa menyembuhkan luka hati sejak dua dekade silam. Sementara aku sendiri belum mampu secara terbuka menghadapi masalah ini, jadi jangan tanya kapan aku akan sembuh dari luka hati itu. Tapi, sebagai orang dewasa, menjadi awas adalah sikap yang selalu kupegang teguh. Anak adalah ciptaan yang amat rapuh. Mudah bagi dua orang dewasa untuk membuatnya, tapi sulit untuk membesarkannya. Sayang, ketika orang dewasa gagal, kembali anak yang jadi kambing hitam. Perilaku anak, baik dan buruk adalah cerminan keberhasilan dan kegagalan orang dewasa. Coretan di lembar seribuan itu, mugkin sesuatu yang sepele. Tapi, di kepala anak, itulah proyeksi yang ia tangkap tentang perilaku kita orang dewasa dan kemudian ia refleksikan dalam kehidupannya.

Rabu, 04 Januari 2012

WHAT WE'VE MISSED FROM THE JOURNEYS (1)

Saat mataku tertumbuk pada satu plank nama sebuah praktik dokter, aku tiba-tiba berkata pada kakak sepupu yang berjalan di samping. "Kalau di sini kakak udah boleh sakit lho." Kakak sepupuku terdiam sesaat, mengerutkan kening, dan bertanya, "Memangnya kenapa?"

"Kan udah ada praktik dokter, jadi udah bisa berobat," ujarku. Lalu kuceritakan pengalaman sekitar dua tahun yang lalu. Bertujuh, aku dan kawan-kawan, berangkat ke sebuah desa di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Kami hanya bermodal sekilo ikan teri Medan dan nama seorang bapak di sebuah desa yang kami tak tahu persis di mana tempatnya. Setelah berjalan nyasar sekitar satu jam, kembali ke tempat kami salah memilih jalan sekitar setengah jam, dan setengah jam lainnya menuju desa yang dimaksud, kamipun mencari di mana rumah orang yang kami tuju. Tak ada RT atau RW apalagi nomor rumah, hanya nama. Selayaknya di kampung yang masih sangat tradisional, setiap orang saling mengenal, dan dengan mudah kami menemukan rumah bapak tersebut.

Dengan menyebut nama seorang kawan yang dulu pernah PKL di desa itu, kamipun disambut. Ikan teri kami serahkan kepada sang nyonya rumah, dan kamipun tanpa malu-malu menerima tawaran untuk beristirahat di atas tikar yang digelar lebar-lebar di ruang utama. Tak lama kemudian, tujuh gelas kosong dan dua teko berisi kopi dan teh manis pun dibawa oleh seorang anak perempuan yang melihat kami dengan tatapan dan senyum polosnya. Malam setelah makan, kami bertujuh bergelung di bawah selimut di atas lantai papan beralaskan tikar. Beberapa orang, anak-cucu pemilik rumah yang kebetulan sedang berkunjung, tidur tak jauh dari tumpukan tidur kami. Lazimnya rumah di kampung, hanya ada satu ruang privat bagi si pemilik rumah. Jadi setiap tamu, apapun statusnya, entah anak kandung sendiri atau pengunjung tak jelas seperti kami, tidur di tempat yang sama dengan fasilitas yang sama pula.

Paginya, walau tak terbiasa, kami mencoba menikmati rutinitas pagi hari, mandi, buang air besar, dan semua aktivitas lainnya di kamar mandi umum. Mandi bertelanjang bulat di hadapan para perempuan tua-muda. Mengeluarkan bunyi kentut di lobang wc yang hanya dibatasi tembok tipis di samping kerumunan orang yang mandi dan mengambil air minum. Setelah selesai mengurusi tetek-bengek pagi hari,  kami disambut di rumah dengan sarapan hangat dengan ikan teri sebagai lauk utama. Rebusan sawi putih dan sambal ikan teri terasa amat nikmat saat itu. Tapi mungkin merasa bahwa makan kami kurang lahap, anak laki-laki tertua di rumah itupun menyuruh kami menambah isi piring.

"Makan yang banyak, dek. Di sini enggak ada Puskesmas, jadi enggak boleh sakit. Makanya, makanlah yang banyak, supaya jangan sakit kalian," ujarnya. Sesaat kami mencoba mencerna kalimat tersebut, kemudian kamipun tertawa serempak-miris. Betapa kehidupan telah memberi mereka tantangan yang tak mampu mereka hadapi, sehingga akhirnya solusi yang dibuatpun begitu anehnya : makan banyak supaya tak sampai sakit. Apa tak pernah sekalipun ada pihak pemda yang mendengar lelucon seperti itu sehingga tergerak hati mereka untuk membangun fasilitas kesehatan minimal selevel puskesmas di kampung tersebut? Entahlah.

Kuceritakan kisah itu pada sepupuku yang kemudian termangu, lalu tertawa sejenak, dan termangu lagi, serta ditutup dengan tarikan nafas panjang. Yah, begitulah. Setidaknya, di pulau kecil ini ada sebuah praktik dokter, tempat orang sakit bisa berkeluh-kesah dan mendapatkan pengobatan. Sehingga mereka tak perlu makan banyak-banyak agar jangan sampai penyakit menyerang mereka.