Minggu, 30 September 2012

SEBENTAR LAGI, DI DEPAN


Jawaban seperti itulah yang kuterima tiap kali aku berhenti mendaki dan bertanya, “Masih jauh?” Tentu saja, aku bukan anak kemarin sore. Usiaku sudah uzur dan yang memberikan jawaban itu juga jauh lebih muda dariku. Aku tahu ia menipuku. Tapi, bahkan untuk orang seumurku pun butuh ditipu agar tetap semangat dan tidak menyerah.

Aku tahu banyak motivasi diri agar tidak pernah mengangkat bendera putih saat hidup. Ada satu motivasi yang paling berkesan, entah dari acara mana aku mengetahuinya, mungkin sebuah talkshow. Perempuan ini pernah diberi nasehat oleh ibunya. Kata sang ibu begini, “Dalam kesulitan, ingatlah bahwa kau juga pernah mengalami kesulitan dan sekarang kau mengenang masa-masa itu. Sehingga setiap berada dalam kesulitan, kau harus berpikir kalau kau pasti akan melewatinya sama seperti masa-masa sulit yang sudah lewat.”

Di depan, sebentar lagi, adalah sebuah harapan. Harapan bahwa masalah dan kesulitan akan segera lewat dan kau hanya perlu melewatinya dan berusaha sekuat tenaga. Kadang, yang kita perlukan hanyalah seseorang yang sepertinya menipumu, tapi sesungguhnya ia mengatakan kebenaran. Masalah akan segera selesai, sebentar lagi, di depan.   

Selasa, 25 September 2012

Target

Mematung di depan buku dan laptop dengan hanya otak yang bekerja keras sementara jari tangan hanya sekali-kali menggoreskan tinta di atas kertas atau menekan tuts keyboard, membuatku berpikir tentang dua hal: target dan standar. Aku belajar tentang dua hal ini dan hal-hal lainnya dalam waktu hanya empat hari, ketika mendaki Rinjani, sekitar 3 minggu yang lalu. Pendakian itu tak mudah bagi pendaki pemula yang sudah uzur sepertiku. Kata kawanku yang sudah hapal setiap senti gunung Rinjani, tak perlu membuat target yang terlalu jauh. Pikirkan saja tempat yang cukup realistis untuk dicapai. Tentu saja perjalanan empat hari dibagi menjadi beberapa target. Ada target harian, target waktu makan, dll. Terkadang, target yang ingin dicapai tampak terlalu sulit untuk dicapai. Bukitnya terlalu tinggi dan curam. Rasanya tak ingin memikirkan puncak bukit sebagai target. Maka mata tak lagi melihat ke atas bukit. Aku hanya menargetkan tikungan atau bongkah batu 10 atau 15 langkah di depan sebagai target. Setelah mencapai target, akupun menghadiahkan diri dengan beberapa detik istirahat untuk menarik nafas.

Inilah yang sekarang kulakukan, membuat target. Tak muluk-muluk dan tak jauh-jauh. Hari ini, tepatnya sebelum sarapan, aku menargetkan Bab II. Bukan Bab II tesisku, tapi Bab II salah satu buku babon yang akan menjadi landasan pemikiran dari seluruh isi tesis ini. Mudah-mudahan target hari ini bisa tercapai. Setidaknya, jika malam ini aku mencapai target, aku dapat tidur nyenyak, alih-alih mimpi buruk dimarah-marah oleh sang profesor seperti tadi malam.