Rabu, 04 Januari 2012

WHAT WE'VE MISSED FROM THE JOURNEYS (1)

Saat mataku tertumbuk pada satu plank nama sebuah praktik dokter, aku tiba-tiba berkata pada kakak sepupu yang berjalan di samping. "Kalau di sini kakak udah boleh sakit lho." Kakak sepupuku terdiam sesaat, mengerutkan kening, dan bertanya, "Memangnya kenapa?"

"Kan udah ada praktik dokter, jadi udah bisa berobat," ujarku. Lalu kuceritakan pengalaman sekitar dua tahun yang lalu. Bertujuh, aku dan kawan-kawan, berangkat ke sebuah desa di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Kami hanya bermodal sekilo ikan teri Medan dan nama seorang bapak di sebuah desa yang kami tak tahu persis di mana tempatnya. Setelah berjalan nyasar sekitar satu jam, kembali ke tempat kami salah memilih jalan sekitar setengah jam, dan setengah jam lainnya menuju desa yang dimaksud, kamipun mencari di mana rumah orang yang kami tuju. Tak ada RT atau RW apalagi nomor rumah, hanya nama. Selayaknya di kampung yang masih sangat tradisional, setiap orang saling mengenal, dan dengan mudah kami menemukan rumah bapak tersebut.

Dengan menyebut nama seorang kawan yang dulu pernah PKL di desa itu, kamipun disambut. Ikan teri kami serahkan kepada sang nyonya rumah, dan kamipun tanpa malu-malu menerima tawaran untuk beristirahat di atas tikar yang digelar lebar-lebar di ruang utama. Tak lama kemudian, tujuh gelas kosong dan dua teko berisi kopi dan teh manis pun dibawa oleh seorang anak perempuan yang melihat kami dengan tatapan dan senyum polosnya. Malam setelah makan, kami bertujuh bergelung di bawah selimut di atas lantai papan beralaskan tikar. Beberapa orang, anak-cucu pemilik rumah yang kebetulan sedang berkunjung, tidur tak jauh dari tumpukan tidur kami. Lazimnya rumah di kampung, hanya ada satu ruang privat bagi si pemilik rumah. Jadi setiap tamu, apapun statusnya, entah anak kandung sendiri atau pengunjung tak jelas seperti kami, tidur di tempat yang sama dengan fasilitas yang sama pula.

Paginya, walau tak terbiasa, kami mencoba menikmati rutinitas pagi hari, mandi, buang air besar, dan semua aktivitas lainnya di kamar mandi umum. Mandi bertelanjang bulat di hadapan para perempuan tua-muda. Mengeluarkan bunyi kentut di lobang wc yang hanya dibatasi tembok tipis di samping kerumunan orang yang mandi dan mengambil air minum. Setelah selesai mengurusi tetek-bengek pagi hari,  kami disambut di rumah dengan sarapan hangat dengan ikan teri sebagai lauk utama. Rebusan sawi putih dan sambal ikan teri terasa amat nikmat saat itu. Tapi mungkin merasa bahwa makan kami kurang lahap, anak laki-laki tertua di rumah itupun menyuruh kami menambah isi piring.

"Makan yang banyak, dek. Di sini enggak ada Puskesmas, jadi enggak boleh sakit. Makanya, makanlah yang banyak, supaya jangan sakit kalian," ujarnya. Sesaat kami mencoba mencerna kalimat tersebut, kemudian kamipun tertawa serempak-miris. Betapa kehidupan telah memberi mereka tantangan yang tak mampu mereka hadapi, sehingga akhirnya solusi yang dibuatpun begitu anehnya : makan banyak supaya tak sampai sakit. Apa tak pernah sekalipun ada pihak pemda yang mendengar lelucon seperti itu sehingga tergerak hati mereka untuk membangun fasilitas kesehatan minimal selevel puskesmas di kampung tersebut? Entahlah.

Kuceritakan kisah itu pada sepupuku yang kemudian termangu, lalu tertawa sejenak, dan termangu lagi, serta ditutup dengan tarikan nafas panjang. Yah, begitulah. Setidaknya, di pulau kecil ini ada sebuah praktik dokter, tempat orang sakit bisa berkeluh-kesah dan mendapatkan pengobatan. Sehingga mereka tak perlu makan banyak-banyak agar jangan sampai penyakit menyerang mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar