Rabu, 21 Desember 2011

ARE WE READY TO BE DIGITIZED?

Judul tulisan di atas mungkin bisa dikaji secara teoritik dan pasti terkesan ilmiah. Tapi tidak, aku enggak akan mengubah blok ini menjadi lembar-lembar makalah akademik. Ini cerita tentang digitalisasi yang lagi kita gembar-gemborkan.

Dua hari yang lalu, aku pergi ke salah satu kantor bank swasta di Yogyakarta dengan tujuan memasukkan uang listrik kos-kosan ke dalam rekening sekaligus mencetak buku tabungan yang sudah 6 bulan tak terkena tinta printer dan meminta kalender duduk yang bisanya diterbitkan dengan eksklusif oleh bank yang bersangkutan. Karena sudah agak mepet dengan jadwal kegiatan lainnya, aku naik taksi dan kena argo 10 ribu perak. Setelah mengantri beberapa menit di barisan setoran cepat (<10 juta), aku menyerahkan slip penyetoran, buku tabungan, dan uang dua ratus ribu. Si petugas lantas berkata, kalau aku akan dikenai biaya administrasi sebesar 5 ribu rupiah. Kenapa? Karena rekeningku berasal dari luar kota Yogyakarta. Ya iyalah, aku kan bukan penduduk Jogja, jelas punya rekening luar kota dan tak berniat membuka rekening di kota ini. Permasalahannya, apa gunanya sistem online yang digadang-gadang oleh semua bank swasta dan pemerintah. kalau masih saja dikenakan biaya administrasi seperti ini?

Selesai satu urusan, aku pun pindah ke bagian pelayanan pelanggan. Aku minta kalender duduk, si petugas meminta menunjukkan buku tabungan. Dan ternyata, aku tak bisa mendapat kalender tersebut karena rekeningku berasal dari luar kota Yogyakarta. Semakin masamlah mukaku yang sudah kelaparan karena belum sarapan dari pagi.

Apalah guna menggadang-gadang label "ONLINE" kalau sistem administrasi dan pelayanan masih seperti di jaman The Flinstone. Kalau toh sama saja seperti sebelum online, lebih baik aku menabung di BPR atau credit union saja. Sudahlah administrasi bank 10 ribu/bulan, layanan ala kadarnya, online-nya cuma merek tanpa jelas penerapannya. Lebih baik kembali saja ke jaman manual.

Lagi, tadi pagi. Setelah secara sepihak pemilik kosan memindahkan sistem pembayaran listrik menjadi prabayar, aku harus membeli rekening listrik ke mesin ATM di salah satu bank swasta lainnya. Pagi-pagi, lagi belum sarapan, aku dan seorang teman kos menggenjot sepeda ke ATM.  Di salah satu ATM, kami gagal bertransaksi. Di tengah padatnya arus transportasi Jogja di pagi hari, kami kembali mengayuh sepeda ke mesin ATM di tempat lain. Transaksi pembelian pulsa berhasil dilakukan, ketika satpam menghampiri kami dan bertanya apakah kami berhasil melakukan transaksi. Tentu dengan wajah sumringah kami bilang, "Ya berhasil." Sementara orang-orang lain yang mengantri gagal bertransaksi karea sistem bank tersebut sedang dan telah down sejak sehari sebelumnya.

Pasti senyum kami tak akan mengembang kalau tahu bahwa ternyata transaksi kamipun gagal, seperti para pengguna ATM pagi itu. Dan sorenya, belum lagi perkuliahan terakhir bubar, aku sudah mendapat sms oleh salah seorang anak kos yang memberitahu kalau pulsa listrik sudah sangat tipis. Kalau sudah begini, teknologi digital justru menjadi beban, menyita waktu, pikiran, dan emosi. Sistem kita belum siap, tapi institusi (swasta dan pemerintah) sudah petentengan mau berdigital ria. Ngaca donk!

Rabu, 14 Desember 2011

HOW TO TELL A LOVE STORY

Empat hari setelah aku menonton konser Richard Marx di Jakarta, rasanya masih sulit bagaimana menceritakan pertunjukan musik itu. Tentu, dengan metode 5W + H, aku bisa bercerita banyak. Konser tersebut mengambil tema Richard Marx World Tour 2011, bertempat di Gandaria City, Jakarta. Penonton diperkirakan berjumlah 1.600 orang, terbagi atas tiga kelas, Diamond, Emerald, Sapphire. Konser dibuka oleh penampilan Ari Lasso yang membawakan 6 lagu, Rahasia Perempuan, Arti Cinta, Penjaga Hati, Perbedaan, Hampa, Misteri Ilahi, dan medley Kangen dan Kamulah Satu-satunya. Sementara itu, Richard Marx membawa 19 lagu, di antaranya Endless Summer Night, Satisfied, Hazard, dan tembang pamungkas Right Here Waiting. Konser yang dimulai sejak jam 20.30 tersebut berakhir jam 23.00.


Is that all? Tentu tidak. Konser itu jelas bukan sekadar deretan jumlah dan judul lagu. Buatku, konser itu adalah sebuah perjalanan jiwa, mundur kembali ke masa lalu di mana lagu-lagu sang rockstar menjadi soundtrack hidupku. Bagaimana menceritakan konser tersebut tanpa melekatkannya pada perasaan yang kumiliki pada sang penyanyi? Tentu tak mungkin.

Di antara ribuan penonton, di deretan bangku terdepan kelas paling belakang, dan terkadang harus menjulurkan leher sepanjang mungkin agar bisa melihat sosoknya langsung bukan pada citra yang terlihat di layar raksasa. Berusaha melihat sedetail mungkin wajah sang pencipta lagu yang sudah tak muda lagi. Dan yang terpenting menikmati setiap detik denting gitar atau piano yang dia mainkan dan suaranya melantunkan syair-syair lagu.

Lebay! Yup! Tapi begitulah cinta. Bukankah tak ada rumusan pakem dari cinta. Kita bisa terhanyut tanpa tahu sedang hanyut. Begitulah aku menikmati konser tersebut. Saat orang-orang di sekelilingku sibuk mengambil gambar atau merekam lagu Richard Marx, aku duduk manis mendengarkan dan melihat sosok yang ada puluhan meter di depanku itu. Begitulah ceritaku tentang konser penyanyi yang suaranya adalah cinta pertamaku itu.


Kamis, 08 Desember 2011

IT'S NOT A CONCERT, IT'S A FIRST LOVE

Selama 28 tahun hidup, tak pernah sekalipun aku menonton konser musik, entah itu gratis atau berbayar, artis luar negeri atau Indonesia. Mungkin karena aku selalu menghindari keramaian, konser, terutama musik, bukan salah satu hiburan favoritku. Sampai sekitar sebulan yang lalu, saat sedang berselancar ke dunia maya mencari lagu-lagu lawas yang biasanya lebih asyik didengar daripada lagu terkini. Dan sampailah aku ke salah satu nama yang kuakrabi sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Karena iseng, akupun membuka beberapa situs untuk membaca kabar terkini penyanyi yang 20 tahun lebih tua dariku itu. Dan ternyata, tak sampai sebulan lagi, ia akan mengadakan konser di Jakarta. Satu yang langsung terbersit di kepalaku, "Aku harus menonton konsernya"


Sebelas tahun yang lalu, tepatnya di pertengahan 2000, usiaku 17 tahun, kelas 2 SMA, saat itu ada banyak penyanyi, terutama boyband yang sedang naik daun. Di tv dan radio, suara mereka kerap terdengar. Tapi takdir berkata lain, mereka bukan cinta pertamaku. Suatu hari, ibuku mengajak belanja di kota Binjai. Iseng, kami memasuki sebuah toko elektronik yang juga menjual kaset. Waktu itu, cd dan mp3 belum booming di Indonesia. Iseng, aku meminta ibu membelikan dua buah kaset. Yang satu berupa album kompilasi dan yang satunya, album Greatest Hits Richard Marx.

Tak tahu siapa dia, apa lagunya, terkenalkah dia, dll, aku membeli album itu. Dan tentu saja, album itu bukan favoritku. Pertama, aku tak akrab dengan tembang-tembang yang ia nyanyikan, kedua, beberapa lagu di album kompilasi itu terlalu berat buatku yang hidup di generasi boyband.

Aku jatuh cinta setelah sekian lama album Richard Marx nangkring di tempat kaset di ruang tamu. Di satu masa ketika SMA, aku sering menderita sakit kepala mahadahsyat sampai pernah harus permisi pulang dari sekolah. Biasanya setelah mendapat bantuan medis dari klinik, aku tidur di kamar ibuku, menanti obat bereaksi dan mata mengantuk. Di sisi atas tempat tidur ibuku, ada sebuah pemutar kaset recorder yang dulunya adalah tape yang menghiasi mobil bapakku. Sampai suatu hari terjadi kecelakaan, mobil dan bapakku pun tewas. Yang tersisa dari mobil dan bapakku hanyalah tape tersebut.

Di tape mantan mobil mendiang bapakku itulah aku memutar kaset Greatest Hits itu. Tape itu adalah jenis yang bisa memutar secara simultan side A dan side B dan seterusnya. Jadi, ketika aku menunggu mata tertidur, layap-layap kudengar alunan suara Richard Marx, kadang di tembang yang melow, kadang nge-beat. Ada kalanya aku terbangun, kepalaku yang tadinya terasa berdenyut-denyut, dengan bantuan obat penenang dosis tinggi, mereda sakitnya. Dalam keadaan sakau karena CTM, aku mendengar sayup-sayup nada-nada lembut dari beberapa lagu yang kemudian hari aku tahu begitu mendunia seperti Right Here Waiting.

Namun, aku tak pernah benar-benar jatuh cinta pada lagu tersebut. "Thanks to You", lagu yang tampaknya ia persembahkan untuk sang ibu, jauh lebih menghanyutkanku. Mungkin karena dibesarkan tanpa terlalu menunjukkan rasa keakraban, sulit sekali untuk mengungkapkan rasa terimakasih pada ibuku, yang pada masa itu sedang melewati fase-fase penuh perjuangan setelah kematian bapak. Ada kalanya, saat aku terkapar karena sakit kepala menyerang, ia bolak-balik dari sekolah tempatnya mengajar ke rumah untuk melihat kondisiku, entah aku sedang tertidur atau sudah bolak-balik di atas tempat tidurnya yang nyaman. Dalam lagu "Thanks to You" itu aku merepresentasikan rasa terimakasih pada ibu yang sampai saat ini belum bisa kuucapkan secara langsung.

Dari sebuah lagu, sembari menunggu obat penenang mengantarku ke dunia mimpi atau saat mataku terbangun setelah dua jam tertidur, aku semakin menikmati aliran instrumen dan suara Richard Marx. Dialah cinta pertamaku-pada karya musik, pada seorang penyanyi dan pencipta lagu.

Ketika kuputuskan menggunakan ratusan ribu rupiah untuk membeli tiket, walau di barisan paling belakang ruang pertunjukan, bukan karena aku ingin menonton konser. Lebih dari itu, aku ingin mendengar langsung, alunan suara dari cinta pertamaku. Bukan pada Richard Marx sebagai entitas manusia fisik semata, tapi bagi seseorang yang karyanya mewarnai sejarah hidupku dan  menjadi soundtrack dari kisah yang kulewati, saat aku melewati rasa sakit, saat aku ingin mengucapkan terima kasih pada ibuku. Sosok itulah yang ingin kutonton. Suara yang telah mengurai dan mengingatkan pada fase-fase terberat dalam hidupku. Suara itulah yang ingin kudengar.

Senin, 05 Desember 2011

FORGETTING: AN INSTANT METHOD TO RESOLVE PROBLEM

"When i don't like somebody, i try to not hate them. Though, i try to forget them, because they're no one to me. No one to remember, no one to think about, just NO ONE."


Status itu kutulis dua hari yang lalu dan mendapat 7 like dan 1 protes lembek dan 1 protes keras. Well, dalam rangka menghargai perbedaan dan untuk tidak memanipulasi informasi, silakan dilihat langsung ke status fb ecie ana pada tanggal 12 Desember 2011. Di sini, aku ingin menceritakan sedikit sejarah dan metode melupakan yang sudah kuanut sejak lebih dari satu dekade yang lalu.


Mengapa harus melupakan? Technically, otak manusia punya kapasitas yang terbatas untuk menyimpan memori. Kata yahoo.answer : 


"Otak manusia memiliki sekitar 50 sampai 200 miliar neuron,
tiap satu neuron berhubungan dengan 100.000 neuron lainnya sehingga membentuk 100 trilyun sampai 10 bilyun jembatan sinapsis (penghubung antar satu neuron dengan neuron lain).
Setiap sinapsis mempunyai kemampuan menyimpan jenis informasi yang berbeda sampai jumlah tertentu, jika kita asumsikan kemampuannya mencapai 256 informasi yang berbeda dan tiap neuron mempunyai 10.000 sinapsis maka total kapasitas penyimpanan informasi dalam otak kita mencapai 500 sampai 1000 tera bytes.
Namun jika level penyimpanan informasi dalam otak kita terjadi pada tingkat molekular (molekul yang membentuk sel neuron) maka tingkat penyimpanannya akan jauh lebih besar, beberapa orang memperkirakan mencapai 3,6 x 10 pangkat 19 bytes."





Lha itu besar donk. Iya, kalau kita hidup cuma dua jam. Tapi kita kan hidup sudah bertahun-tahun. Memori sebegitu sih kecil. Buktinya, kita sering lupa. Fakta ilmiah sudah disajikan. Maka aku mencoba me-recall sejarah metode melupakan yang kulakukan selama ini.


Asumsiku, dari 7 pemberi like juga punya sejarah mengapa mereka setuju untuk melupakan dibanding wasting time melewati proses memaafkan yang bertele-tele dan buang energi itu. 


Agar tulisan ini tidak ahistoris, aku coba me-recall beberapa memori di masa lalu. Alkisah ketika SMA, ada seorang teman yang kita beri nama Mr X. Jadi, ia beberapa kali berulah dan bertingkah menyebalkan. Dari hal-hal yang remeh, kemudian suatu hari ia bertingkah supermenyebalkan. Setelah mengeluarkan kata makian seperlunya, aku pun mendiamkannya. Beberapa hari berlalu, Mr X tak juga bisa dilupakan---karena dia duduk di kursi di depanku. Akhirnya pada suatu hari, setelah lelah memendam amarah, aku berusaha berbaikan. Masalah selesai? Tidak juga. Masih sering aku ditanya-tanya tentang pertengkaran yang pernah terjadi di antara kami. Setiap kali aku bercerita, maka setiap kali itu pula aku memanggil memori yang menyakitkan itu. Kemarahan, kebencian, walau sudah berapa kalipun ingin kuselesaikan selalu saja datang. Karena aku menceritakannya, karena aku mengingatnya.


Yang lebih parah datang kemudian. Mr X berulah lagi. Kali ini lebih parah dan amarahku terasa sampai mau menyemburkan api seperti di film-film kartun. Then what? Berusaha memaafkan lagi, berdamai, menenangkan hati. Dan waktu itu sudah memasuki masa ujian nasional, yang kala itu masih disebut Ebta dan Ebtanas. Menghabiskan energi untuk masalah yang sama dengan orang yang sama, it's not smart at all. Akhirnya, aku mengambil solusi ekstrim. Forget it, forget him. Aku tak pernah menceritakan tentang peristiwa itu, tak pernah mengingatnya --- dan menyisakan memori dan energi lebih banyak untuk pelajaran sekolah. Masalah selesai. 


Percobaan pertama sukses dan aku berusaha untuk menyelesaikan masalah kecil dengan cara konvensional biasa. Berdiskusi, bercerita, kadang dengan bumbu-bumbu rasa tidak suka, kadang hanya sekadar bercerita tanpa rasa sama sekali, hanya narasi. Namun, terkadang masalah dan orang yang dihadapi terlalu menyebalkan dan bertele-tele. Parahnya, masalah dan orang itupun tak penting-penting amat kok. Dia siapa, apa pengaruhnya kalau dia tak ada, sama sekali tidak signifikan. Tapi, kok ya selalu saja memikirkan subjek yang sama, menghabiskan memori, emosi, dan energi. Maka aku memilih untuk melupakan.


Apakah metode ini cukup ampuh, apakah tidak meninggalkan luka yang bernanah dan membusuk, apakah tidak menimbulkan trauma?


Suatu hari, sekitar 3 tahun setelah kejadian dengan Mr X, seorang teman SMA datang ke rumah dan bercerita tentang kejadian masa lalu, perseteruanku dengan Mr X, dan bagaimana aku menyelesaikannya. Dan ketika aku berusaha me-recall memori itu, tak ada kemarahan, tak ada benci, tak ada luka, tak ada nanah, tak ada yang membusuk. Aku seperti melihat sesuatu pada pertemuan pertama, tanpa tendensi, tanpa asumsi. Dan yang jelas, pada masa lalu, aku berhasil menghilangkan satu rangkaian proses yang panjang dan menyakitkan bernama memaafkan. Masalah selesai. Di tengah berbagai derita, pergumulan, beban, pertengkaran, yang kadang kita tidak bisa elakkan karena tingkat urgensinya, berkaitan dengan keluarga dekat, sahabat, yang terkasih, seseorang yang penting, teknik melupakan ternyata, bagiku, lebih cepat menyelesaikan masalah daripada mengikuti alur pemaafan konvensional. 





Selasa, 29 November 2011

TOO MUCH LOVE WILL KILL YOU... AS WELL AS ROUTINES


Ini yang terjadi ketika aku terbangun karena bunyi alarm ketika mata masih betah tidur akibat begadang sampai jam 4 pagi, kamar dipenuhi dengan beragam jenis buku yang sudah berhari-hari berserak tanpa pernah benar-benar dibaca, masuk ke kamar mandi yang dipenuhi dengan piring-piring kotor bekas makan tadi malam, dan harus segera keramas karena ini sudah hari ke-empat rambutku tak kena shampo, dan aku harus masuk kuliah kurang dari setengah jam dari sekarang. And i looked at myself and ask, “What the hell i'm doing here?”

Aku sudah hidup sebegini lama dan tahu apa yang sedang terjadi saat ini, aku berdiri di jalan yang mengarah langsung kepada kematian. AKU TERJEBAK DI DALAM RUTINITAS! I'm so much aware about this situation. Rutinitas membuat lemak di badan semakin banyak, jerawat bertambah terus, sembelit setiap pagi, dan kerut di kulit bertambah berkali-kali lipat. Shit, i need a break. Dan aku tidak berada di sini, go to college to proof something. Aku mau keluar dari rutinitas di Medan, itu sebabnya aku pergi ke Yogyakarta. Kuliah hanya alasan, aku ingin melakukan sesuatu yang berbeda di sini, santai, do nothing, melenje. Oh ya, tentu saja aku ingat bahwa saat ini hidupku tergantung secara ekonomi sepenuhnya pada, meminjam istilah seorang kawan yang saat ini sedang berjuang untuk mendapat beasiswa, EMAK FOUNDATION.

Nilai yang bagus adalah laporan kepada pendana utama, emakku. But, skip it away! Emakku sudah makan asam garam kehidupan, ia ditinggal mati bapakku dan segudang masalah, menghadapi kebandalan masa remaja abangku plus kisah cinta abangku yang selalu problematis, dll. Satu atau dua nilai gagal tak akan membuat emakku putus asa dan membuat asmanya kumat lagi. Hopefully!

Setelah mencelupkan piring kotor ke dalam air ala kadarnya, mengkeramas rambut dan mandi dalam dua menit, akupun masuk kamar bertelanjang badan. Dan akupun bertekad untuk melakukan sesuatu yang beda hari ini. Nonton film romantis, makan mi ayam di mal, guling-guling di Malioboro. Yeah baby, i can do it!

But wait, ada amplop kuning berisi buku tagihan listrik bulan ini. Aku petugas penagih uang lisktrik bulan ini. Aku harus mendem di kos dan menunggu orang-orang mengetok pintu dan bilang, “Mbak, mau bayar listrik....” Shit again, i should stay home with the routinely. SOMEBODY, HELP ME OUT HERE!!!

Selasa, 01 November 2011

FILOSOFI YANG TAK DICERITAKAN

Sampai saat ini aku masih saja takjub setiap kali memasuki salah satu kelas yang kuikuti. Dari namanya, mungkin banyak orang yang sepele dengan kelas ini, tanpa mereka tahu bahwa di kelas inilah aku kembali ke masa lampau, menggali memori yang sudah lewat, menengoknya kembali dengan cara yang berbeda, dan akhirnya memperkaya kehidupan itu sendiri.

Suatu hari di kelas tersebut, kami membahas tentang salah satu tokoh dalam sebuah cerita di Kitab Adiparwa. Dosen pengasuh membuka kelas dengan menampilkan gambar burung garuda. Kurasa, siapapun yang pernah duduk di bangku SD, pastilah tahu tentang burung garuda, lambang negara Indonesia.  Apa yang semua orang ingat tentang burung yang satu ini? Sepertinya tak banyak, dan biasanya pastilah tentang bulu, selain sehelai kain yang dicengkram oleh sang garuda yang berbunyi "Bhineka Tunggal Ika", catat ya Bhineka Tunggal Ika, bukan NKRI harga mati lho.

Jadi, kembali ke masalah bulu, kalau enggak salah ada hitung-hitungan bulu sang garuda yang dilambangkan adalah tanggal, bulan, dan tahun kemerdekaan NKRI. Bulu kaki sekian, bulu dada sekian, bulu sayap sekian. Kalau ada yang iseng, pasti nanya, bulu ketek dan bulu kakinya berapa jumlahnya ya? Entahlah, yang jelas tulisan ini bukan untuk menjelaskan jumlah bulu sang garuda.

Ada yang, entah lupa atau sengaja, tak diceritakan kepada kita, para generasi muda tentang asal-muasal dipilihnya garuda sebagai lambang negara. Ada landasan filosofis yang kupikir akan sangat mengena di hati masyarakat dan pastinya lebih  bermutu ceritanya daripada sekadar hitung-hitungan bulu-bulu tadi. Di kelas inilah kutemukan sesuatu yang tak kudapat di luar sana, sejak SD sampai kuliah S1, di mata kuliah Pancasila.

Siapakah sang garuda? Dia adalah anak dari Sang Winata dan Bagawan Kacyapa. Ia adalah anak yang menetas dari sebutir telur hasil tapa brata Rsi Walakilya. Ia adalah anak yang ditakdirkan untuk menebus ibunya dari perbudakan. Ia adalah anak yang berjuang, melawan para dewa bahkan Wisnu sekalipun untuk mendapat amrta guna menebus ibunya. Ia adalah pembebas. Kalau kita membaca bagian tentang sang garuda dan perjuangannya membebaskan ibunya, Sang Winata, dari perbudakan, maka patutlah kita acungkan jempol kepada para pendiri negara yang telah memilih sosok sang garuda sebagai lambang negara.

Saya teringat beberapa tahun silam saat di sebuah blog, yang katanya dibuat oleh orang Malaysia untuk menjatuhkan martabat Indonesia, yang memuat tentang lambang negara Indonesia, sang garuda, yang mencontek Polandia. Dari banyaknya komentar dan perdebatan, tak satupun yang saya baca menyinggung tentang sejarah garuda itu sendiri, keberadaannya sebagai anak yang dijanjikan, keberadaannya sebagai pembebas.

Aku beruntung masuk ke dalam sebuah kelas yang membuat mata dan pikiran terbuka kepada hal-hal yang tak kupahami sebelum ini. Dan aku percaya, banyak orang di luar sana, rindu untuk mengetahui apa yang saat ini kupelajari. Sesuatu, landasan filosofis, yang tak diceritakan kepada kita.

Jumat, 28 Oktober 2011

KEMUNDURAN PERADABAN : A TOILET CONTEMPLATION

Tadi malam, aku berkunjung ke sebuah warung kopi. Bukan untuk ngopi, tapi ngambil fotokopian. Lho itu warkop ato tempat foto kopi? Jadi begini, paginya aku minta tolong pada seorang kenalan baru untuk menduplikat sebuah bab dalam sebuah buku untuk dijadikan bahan referensi tugas kuliah. Jadi, kamipun berjanji bertemu di warung kopi yang kebetulan dekat sekali dengan kosanku itu.

Singkat cerita, fotokopian berpindah tangan dan kawan baruku itupun tak meminta biaya fotokopiannya. Asyikkkk! Lalu, iapun mengenalkanku pada temannya yang punya warkop. Seseorang bernama Rudi, atau Roni, atau apalah, aku sudah lupa. Jadi, entah untuk mendekatkan diri atau pamer, si Rudi atau Roni itu pun bertanya tentangku, kuliah di mana, dosennya siapa, de el el. Dan diapun mulai bertanya kenal dengan si anu, si ane, si ani, siapalah, yang beberapa namanya memang kukenal dan salah seorang di antaranya adalah dosenku di salah satu kampus. Menyangkut dosen yang kebetulan doktor lulusan luar negeri itu, iapun memberikan statement kalau sang dosen sangat menyenangkan untuk diajak diskusi. Padahal, di kalangan kami mahasiswa, dosen yang bersangkutan bukanlah sosok yang asyik buat diskusi. Bukan karena dia tak cerdas, justru karena dia cukup cerdas, ia mengambil posisi sebagai seorang yang tahu semuanya dan kami tak tahu apa-apa. Jadi, kamipun menyebutnya dosen yang meng-Amerikanisasi kami.

Lantas si Rudi atau Roni tadipun berusaha membantah bantahanku tentang pribadi si dosen yang bersangkutan. Eh, Jaka Sembung naik ojek, dia malah mengatakan kalau suatu saat pasti dosen itu, akan datang ke warkopnya. Hubungannya apa yang dengan pembicaraan kami? Sebenarnya, jelas sih. Dia mau bilang, warkopnya itu suata saat pasti akan didatangi oleh "seseorang" lho. Memang sih dosen yang kami bicarakan itu adalah "seseorang". Tapi, who fu*king care? Mau presiden kek, Paris Hilton kek, gundoruwo kek, emangnya gue pikirin? Kayaknya aku enggak maruk-maruk amat deh. Oke, dia itu temannya teman baruku, jadi belum keluarlah mulut berbisaku.

Lanjutlah kami berbicara tentang macam-macam hal, dan semakinlah aku bisa menyimpulkan mahluk macam apa si Roni atau Rudi itu tadi. Dalam berbagai topik, ia selalu mengucapkan nama-nama, entah siapapun itu, yang mungkin dia anggap keren. Menurut si anu yang adalah sesuatu ene, ano adalah ani. Jadilah aku kembali mengingat beberapa sosok dosen di sebuah kampusku yang sama persis karakternya dengan si Rudi atau Roni ini. Bahasa kerennya, menurutku mereka adalah seseorang yang suka berdialektika dengan mencatut nama-nama orang hebat. Itupun hebat menurut kategori dia lho.

Jadi, aku ingat sebuah kuliah yang sangat mencerahkan sekitar seminggu yang lalu. Dengan sangat meyakinkan, sang dosen bangkotan yang sudah puas makan asam garam dunia akademik, mengatakan bahwa peradaban saat ini mundur ke belakang dan manusia sudah lebih mirip kambing daripada manusia benaran. Beberapa mahasiswa cukup kaget dengan statement itu dan bahkan ada yang protes. Pernyataan seperti itu bukan pertama kali kudengar. Dulu, sekitar satu dekade yang lalu, salah seorang dosen pernah menyatakan hal yang agak mirip dengan ucapan itu. Bedanya, kalau yang sekarang manusia dikatakan seperti kambing, dulu, kami mahasiswa disebut lebih rendah daripada sapi. Jadi, ucapan dosen tua-bangka itu sedikit lebih halus daripada ucapan yang kudengar sepuluh tahun silam.

Sayangnya, aku mengamini ucapan sang dosen. Memang, peradaban manusia justru mundur ke jaman kekelaman. Dan menurutku, kemunduruan itu sedikit banyak disumbang oleh perilaku orang-orang seperti Roni atau Rudi itu tadi. Orang-orang yang lebih suka mencatut nama-nama besar ketika sedang berdialog, daripada menggunakan otaknya sendiri, selemah apapun pemikirannya, adalah penyumbang terbesar kemunduran peradaban. Kenapa? Karena orang-orang seperti inilah yang membuat pikiran kita terbatas dan terkungkung dengan pakem-pakem, statement-statement, dan teori-teori yang sudah diciptakan dan diucapkan sebelumnya.

Berlawanan dengan orang-orang seperti Rudi atau Roni tadi, aku justru sangat menghargai kekayaan dan kebebasan berpikir dan berteori. Memangnya kenapa kalau kita menggunakan istilah sempakologi daripada menggunakan triangle yang sudah populer lebih dulu. Memangnya kenapa kalau menjadikan toilet sebagai venue untuk kontemplasi dengan aroma taik sebagai pengganti aroma terapi? Memangnya kenapa kalau istilah melenje yang bahkan belum dikenal sama sekali dijadikan sebuah filosofi hidup? Inilah yang membuat peradaban maju ke depan. Ia menjadi kreatif, baru, dan segar. Bukan meng-copy paste dan mengulang apa-apa yang sudah tercipta sebelumnya.


Permasalahannya, aku justru merasa terjebak dalam kemunduran peradaban itu. Kalau dulu, ketika masih bekerja di masyarakat, aku bisa berdialektika dengan menggunakan fakta-fakta lapangan tanpa harus acuh dengan segala teori taik kucing yang sudah mendunia itu. Sekarang, di awal perkuliahan, seseorang dengan gelar doktor anu lulusan negeri ani, sudah langsung berkoar-koar mengenai masalah pencatutan nama. Ini kan jadi masalah ketika kita berpikir dan kemudian menarik kesimpulan tentang sesuatu, tapi harus selalu berkiblat pada apa yang sudah dikatakan oleh orang-orang yang dengan bangga kita sebut para ahli. Itu kan sebuah pembatasan yang tidak manusiawi? Membatasi otak kita yang sama sempurnanya dengan otak para ahli. Ini kan disebut kambingisasi atau lembunisasi? Jelaslah, kita memang berjalan lurus dengan kecepatan tinggi ke arah kemunduran peradaban!

Malangnya nasibku, bersama dengan rombongan paling depan dengan kendaraan paling cepat, di situlah aku berada saat ini. Aku berada di barisan paling depan menuju kemunduran peradaban. Padahal, dulu aku sudah berada di peradaban yang lebih maju. Sudah menggunakan istilah sempakologi, ikut menciptakan budaya toilet contemplation, dan tokoh utama dalam filosofi melenje. Tapi sekarang, duniaku dibatasi oleh para ahli, statement mereka, teori mereka, bahkan kalau mereka menciptakan taik kucing sekalipun, aku harus ikut. Dan aku akan menjadi orang yang sama seperti si Rudi atau Roni tadi. IRONIS! 

Minggu, 23 Oktober 2011

KEHIDUPAN

Pernahkah kukatakan kalau aku benci tangisan bayi? Bukan karena aku benci kehidupan, tapi karena kubenci penderitaan. Aku benci melihat mahluk kecil itu harus keluar dari rahim ibunya yang hangat dan menghadapi dinginnya dunia. Aku benci melihat orang-orang dewasa merasa bangga kalau bayi itu tumbuh semakin besar dan meninggalkan keluguannya. Karena begitu banyak penderitaan di dunia ini, di kehidupan ini, maka rasanya cukuplah kita saja yang berjuang keras tanpa henti untuk tetap hidup, tak perlulah menambah kawan sependeritaan lagi.

Pagi ini aku terbangun dengan perasaan duka karena kematian. Tapi kucoba usir dengan beryoga, cara terbaik yang kutahu untuk kembali bersatu dengan jiwaku yang melayang-layang. Belum selesai yogaku, kudengar bunyi gedebuk yang cukup keras dan disambut jeritan pilu seorang bayi dan teriakan histeris ibunya. Yogaku terhenti dan hatiku semakin galau. Lihat, apa yang dilakukan kedua orang tua bayi itu sampai anak mereka jatuh berdebam begitu keras!

Mengutip kata orang bijak, tidak semua kita pernah menjadi orang tua, tapi semua kita pasti pernah jadi anak. Sebagai anak, cukup lama, puluhan tahun aku berjuang untuk bahagia dan menyelesaikan dendam kesumat pada kedua orang tuaku. Pada bapak yang tak pernah ada untukku sampai akhirnya maut menjemputnya di usia muda. Pada ibu yang mengandungku dan membagi racun-racun dari obat asma yang ia konsumsi.

Berdamai, itu yang kucari terus dan terus. Mencoba mencari keseimbangan antara penderitaan yang bertaburan di seluruh pelosok kehidupan dan benih-benih kebahagiaan di semesta ini. Jadilah seorang anak dan tanyakan pada dirimu apakah jika anakmu adalah kamu dan kamu adalah anakmu, apakah kamu sudah merasa pantas menjadi seorang tua. Bukan sebagai orang dewasa yang dengan ego dan kesombongannya menganggap dirinya pantas menjadi orang tua. Lihat, apakah kamu akan menyediakan waktu, kasih, materi, perhatian yang cukup untuk anakmu. Setelah itu semua itu cukup, tanyakanlah lagi apakah dunia ini cukup pantas ditempati oleh seseorang, biji matamu, belahan jiwamu. Jawabku tidak, aku tak pantas menjadi orang tua dan dunia ini juga tak pantas ditempati oleh kekasih jiwaku.

Sabtu, 15 Oktober 2011

LAGI, TENTANG PERNIKAHAN


Seorang teman membuat status begini, "marriage is very very hard work, full of effort we put in marriage life. Full up and down, sad, disappointed, confuse, happy, mix together in one big bowl. It doesn't come easy". Dan tentu saja, aku datang dengan sudut pandang berbeda. "Marriage is a process of collecting all the shits in the world, and you put them in a bowl, and take it to be yours." Betapa pintarnya.

Baik, aku mengalah. Mungkin pernyataan itu terlalu keras. Kita ikuti saja qoutes temanku tadi. Mari bermain hitung-hitungan. Ada berapa sisi positif dan negatif dari pernikahan yang ia sebut. Positif : up dan happy. Negatif : down, sad, disappointed, confuse. Dua banding empat! Girls, what are you thinking about?

Para pendukung pernikahan datang dengan pembelaannya. Seorang berkata, "Marriage is a world heaven, feel, taste, and enjoy it in a great bowl, with a smart guy." Oh, yang benar saja. Setahuku, rumusannya masih sama, dari dulu sampai sekarang: Smart woman + smart man = romance, smart women + dumb man = affair, dumb woman + smart man = pregnancy, dumb woman + dumb man = marriage.  Lihat, apa yang terjadi ketika perempuan menemukan laki-laki yang pintar, mereka menghamilimu!

Seorang yang lain datang untuk menengahi. "Not easy doesn't mean impossible, it just takes time, be positive, 'cause your man is truly in your mind." Ladies, if our men is truly in our minds, then we don't need a man anyway, it is in our minds! Just use your brain, no need the big boy to take care of. Just like a smart quotes say, a woman without a man just like a fish without bicycle. Yes, we don't need them at all, girls! I mean in our house to be husband. Just make love, romance, but don't tie down. It'll kill both of you.

HOMESICK

Homesick? Not happening to me. Setahuku, kerinduan pada rumah bukan bagian dari sakit jiwa akut yang kupunya. Tapi kenapa ya, kok rasanya belakangan ini hidup terasa hampa tiada gairah (alah!). Badan sehat, olahraga teratur, makan sehat, merokok sudah dua minggu yang lalu, alkohol juga sudah dua minggu yang lalu.

Ya, memang ada tumpukan tugas kuliah. Tapi, aku memegang prinsip bahwa tugas dan pekerjaan tak perlu dipikirkan, cukup dikerjakan. Ini artinya, aku sedang ada beban mental.

Akhirnya, demi kemaslahatan hidup, aku mencoba menderetkan penyakit-penyakit jiwa yang kuidap selama ini. Pertama, father complex, ini memang susah disembuhkan, tapi aku sedang on going untuk tak lirak-lirik om-om keren. Apalagi sekarang aku sedang menikmati melimpah ruahnya kehadiran para berondong, di kampus, di gym, dan ya, para cowok gondrong juga.

Relationship? Not my interest. Keuangan? Cukuplah. Jadi, apa ya? Akhirnya, aku teringat pada satu kerinduan pada sosok lembut yang nikmat sekali. Bika ambon. Sudah kucoba cari di kota ini di toko kue yang cukup eksklusif. Tapi sayang, rasanya seperti sol sepatu. AKU MAU BIKA AMBON! Di manalah bisa kucari makanan yang uenak itu?

Kalau sudah begini, pertanda bahaya besar. Dulu, aku pernah sangat-amat ingin makan bika. Karena tak terpenuhi, aku sampai demam. Akhirnya, kubilang pada ibu. Dan diapun membeli sekotak besar makanan berwarna kuning yang manis dan uenak itu. Bika itu habis dalam dua hari dan demamku pun sembuh total. Please, anyone,  ada yang mau ke Medan enggak sih? Aku titip donk...


Kamis, 29 September 2011

MATI

Kematian selalu memberi tohokan, kadang keras kadang lembut, di ulu hati setiap orang yang ditinggalkan. Kematian juga selalu meninggalkan lubang menganga, kadang menganga lebar kadang cuma seujung jarum.

Ketika mendengar tentang kematian salah seorang kerabat, tepatnya paman ibuku, yang lumayan kukenal karena memang kami bertetangga, terasa ada yang menohok dan meninggalkan lubang kecil di hatiku. Padahal, jujur saja, aku tak peduli pada orang tua itu. Maksudku, aku benar-benar tidak punya kepedulian. Dia menjadi ada dalam daftar kerabat karena ia kebetulan paman ibuku. Namun dalam hal lainnya, aku tak tahu ia lahir di mana, anaknya berapa, usianya berapa, dan informasi-informasi lainnya.

Untuk seorang yang tak kupedulikan pun, matinya dia, tetap saja terasa menyesakkan dada. Walau dalam satu tarikan nafas aku sudah kembali lupa dengannya.

Hari ini, banyak orang yang mengenang matinya kerabat, suami, bapak, dan berbagai predikat orang yang dicintai. Hari ini pada 1965, kata pemerintah, PKI memberontak dengan membunuh 7 jenderal. Tapi, aku percaya, hari ini, mereka yang dituduh PKI sedang menghadapi kematian mereka, tanpa mereka tahu untuk apa mereka mati. Memikirkan itu saja, aku sudah merasa tertohok dan ada lubang di hatiku. Tak terbayangkan bagaimana perasaan mereka yang ditinggal mati. Kematian sungguh sebuah misteri, dan ke sanalah kita semua akan pergi. Sampai jumpa di dunia kematian. Dan semoga tak terlalu banyak orang yang merasa tertohok dan berlubang hatinya saat aku mati nanti.

Senin, 19 September 2011

HARAPAN

Pagi ini aku terbangun saat terdengar pintu kamar diketok tetangga depan yang ingin meminjam setrika. Saat kuberikan setrika, kutanya padanya jam berapa sudah saat itu. "Jam tujuh," jawabnya sambil menerima setrika. Lalu ia pun bertanya kapan bisa mengembalikan setrikaan itu. Kujawab, "Kembalikan kalau nanti melihatku. Atau kalo aku tak nampak-nampak, kembalikan saja pada emakku." Dan iapun tertawa ngakak, akupun menutup pintu kamar dan membanting badan ke atas dipan. Tapi, walau berkata begitu, aku masih berharap tetap hidup, setidaknya sampai setrikaanku kembali.

Jam tujuh, mata ngantuk karena tadi malam begadang sampai jam tiga, cucian menggunung dan harus segera dicuci, uang tunai tinggal dua ribu perak di dompet. Sungguh daftar pertimbangan yang membuatku tak bisa memilih jawaban 'LANJUTKAN TIDUR'.  Andai saja saat itu masih jam 6 pagi, aku tak begadang semalaman, tak ada tumpukan cucian, uang tunaiku masih banyak. Arrrr...

Untuk memastikan otak, kulihat jam di hape yang memang menunjukkan angka jam enam lewat 59 menit. Dan 'o-o', hapeku yang baru semalam dicas, sudah menunjukkan penanda baterai berwarna orange. "Damn!" umpatku. Kurasa baterai hapeku sudah soak. Ah, kuharap aku memenangkan sebuah kompetisi, kompetisi apapun, termasuk kompetisi orang paling menyebalkan sekalipun, yang penting aku dapat uang tambahan. Tepat jam 7 pagi, aku sudah punya sederet harapan yang kuharap sesuatu kekuatan entah apapun itu, bisa memenuhinya.

Ya, ya, aku tahu apa jawabannya. Tepat seperti yang selalu kujawab kalau ada seseorang yang tiba-tiba berkata, "Res, buku-bukumu untukku ya," atau, "Kak, kalau kau mati, macbookmu wariskan ke aku." Dan aku selalu berkata ketus, "YOU WISH!" Dan dilanjutkan dengan penguat penolakan," IN YOUR DREAM!"


Rabu, 14 September 2011

JANGAN LUPAKAN

Hari ini, sebagai anak bangsa, aku merasa sangat tertohok ketika seorang dosen, berkebangsaan Indonesia dan hidup di Indonesia mengatakan bahwa bahasa Indonesia sangat miskin. Miskin yang ia maksud adalah karena sulit sekali mencari padanan kata dalam peristilahan bahasa Inggris. Katanya lagi, kalau di bahasa Inggris banyak istilah yang dapat dipergunakan untuk menerangkan sebuah istilah.

Terang saja aku merasa sangat, sangat ingin melemparkan kamus tesaurus segede gambreng itu agar ia bisa melek bahasa Indonesia. Sayangnya, aku bahkan belum mampu membeli kamus tersebut. Selain harganya mahal, banyak jenis bantuan secara online yang bisa didapat untuk penulisan.

Lima tahun yang lalu, ketika bekerja di sebuah LSM perlindungan anak di Nias, aku dituntut untuk bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris.  Awalnya, aku mati-matian berusaha berbicara dalam bahasa Inggris di dalam setiap pertemuan. Lama-lama, aku kok jadi bingung sendiri. Pertemuan ini dilakukan di Indonesia, sebagai pesertanya juga orang Indonesia, juga untuk kepentingan orang Indonesia. Kenapa bahasa pengantarnya bahasa Inggris?

Suatu hari, aku bertanya pada salah seorang perwakilan lembaga dari Italia, kenapa ia tidak belajar bahasa Indonesia selama bekerja di Nias. Lantas, ia menjawab, menurutnya sangat sulit bagi seorang Italia yang secara alami juga tidak berbahasa Inggris, lantas harus juga belajar bahasa Indonesia. Benar, aku tahu itu sulit. Tapi pertanyaannya, kalau aku yang di Italia, apa iya aku boleh ongkang-ongkang doank dengan bahasa emakku tanpa berusaha belajar bahasa setempat?

Tentu saja, aku tak bisa memaksa siapapun untuk mempelajari bahasa Indonesia. Tapi, saat itu juga, aku memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam berbagai pertemuan. Dan silakan para bule mendengarkan versi terjemahannya dari para penterjemah di pertemuan tersebut. Yang jelas, di negaraku, untuk kepentingan negaraku, aku akan memakan bahasa negaraku. Titik.

Lantas, aku jadi bertanya-tanya, apakah dosen itu sangking seringnya menggunakan bahasa asing, sampai lupa pada bahasa negaranya sendiri? Aku jadi ingat seorang teman yang dulu pernah ditanyai oleh kawannya yang orang bule. Si bule bertanya apa sih bahasa Indoesianya penis dan vagina. Kawanku itu sempat bingung dan menjawab, bahasa Indoenesia-nya penis dan vagina, ya penis dan vagina. Terus, teman bulenya itu berkata kalau ia pernah mendengar bahwa bahasa Indonesia-nya kedua alat kelamin itu adalah kontol dan pepek. Kawanku itu kontan tertawa dan kaget. Terus, ia pun berpikir sejenak dan membenarkan pernyataan kawan bulenya itu. Memang benar itulah istilahnya di dalam bahasa Indonesia. Namun, sangking lamanya tak dipakai lagi, sampai terlupakan begitu saja.



Kamis, 08 September 2011

UDAH KULIAH, CIN...

Inilah hot news di kosan. Para mahasiswa baru (maba) sedang disibukkan dengan kegiatan ospek? Ospek? Masih ada ya? Wah, aku juga agak khawatir dengan kebiasaan yang satu ini. Walau aku tak pernah menyesal pernah mengikuti kegiatan tersebut sebagai korban, namun aku tak pernah sekalipun bersedia melakukan tindakan berbau ospek apapun kepada para junior. Walau begitu, aku tak akan ikut dalam barisan orang yang menentang penghapusan ospek, kecuali kalau ospek sudah memakan korban. Karena di antara setumpuk kegiatan dan benda-benda tak penting yang harus dilakukan dan dibuat oleh para maba, yang paling dituntut adalah kekuatan mental mereka. Itu, menurutku, masih memiliki korelasi langsung dengan kehidupan kampus yang nanti akan mereka hadapi.


Tapi, ada yang menggelitik perasaanku dan para penghuni kosan non-maba lainnya. Di tempat kami saat ini, tak kurang ada 4 orang ibu dari mahasiswa baru yang menginap di sini, sudah sekitar seminggu lamanya. Awalnya, kupikir mereka hanya membantu untuk mempersiapkan kamar si anak. Baru kemarin aku tahu, kalau para ibu ini juga menghadiri pertemuan orang tua, sejenis POMG gitu. Aku sempat terbengong saat salah seorang ibu mengatakan hal tersebut. Merasa tak percaya, aku konfirmasi ulang pernyataannya. Eh, dengan tampang menuduh dia bilang kalau orang tuaku absen pada pertemuan sejenis. Lantas kujelaskan bahwa memang kampusku tak pernah ada pertemuan seperti. Plus, kujelaskan kalau aku sudah mengurus sendiri semua hal yang berkaitan dengan kampus. Ibuku tinggal memberi modal uang tanpa perlu mengurus tetek-bengek seperti yang dilakukan ibu tadi.

Siangnya, aku bercakap-cakap dengan seorang teman yang berasal dari kampus  S1 yang sama. Sang kawan spontan ketawa dan berkata, "Kok kayak anak TK ya?" Tepat sekali! Aku juga berpikir pertemuan orang tua sudah tak cocok lagi dilakukan di level unversitas. Dan bukan aku saja yang berpikiran seperti itu. Beberapa anak kos lainnya juga merasa kalau para ibu ini sepertinya terlalu heboh membantu anak-anak mereka.

Jam lima pagi ini, aku terbangun karena salah seorang ibu di kamar tetangga heboh menyuruh anaknya untuk sarapan. Dan kehebohan masih berlanjut dengan hal-hal lainnya, inilah-itulah. Pikirku, apa si ibu juga menunggui anaknya begadang mengerjakan tugas yang diberikan para senior. Atau jangan-jangan si ibu turut serta membantu anaknya? Wah, mati akal aku. Mereka itu sudah 18 tahun lho. Anak yang sudah bisa bikin anak. Kalau terus berada di bawah ketiak orang tuanya, kapan mereka bisa mandiri. Mereka udah kuliah, cin...

Senin, 05 September 2011

KEMEWAHAN SETIAP HARI


Kita pasti mengenal seseorang yang memiliki sifat seperti yang kugambarkan berikut ini. Dia punya banyak barang-barang bagus, seperti peralatan makan dan pernak-pernik rumah tangga lainnya. Tapi barang-barang itu hampir tak pernah dipakai. Dipergunakan hanya pada momen-momen tertentu seperti pada lebaran yang sudah lewat.

Di keluargaku, ibu punya sifat seperti itu. Dia punya lusinan piring keramik, gelas wine, dan peralatan makan mewah lainnya. Tapi hanya dikeluarkan di hari besar keagamaan saja atau kalau ada tamu yang berkunjung. Di rumah ibu, peraturan ibu. Setiap hari kami menggunakan peralatan makan, piring dan lainnya, merek duralex yang sudah ada sejak jaman sebelum aku lahir. Tapi kalau ibuku tak di rumah, seperti dulu ia selalu berkunjung ke Anyer sampai sekitar seminggu, aku selalu menggunakan barang-barang mahal miliknya.

Di kosku, peraturanku. Aku senang membeli pernak-pernik bagus walau dengan harga mahal, tapi lebih senang lagi, kalau dapat yang bagus dengan harga murah. Tapi yang paling kusukai, mendapat barang bagus secara gratis. Seperti seperangkat sendok, garpu, pisau makan, dan sendok teh yang diberikan kakak sepupuku. Satu setnya pasti berharga sampai ratusan ribu. Kalau di rumah ibu, pasti barang-barang itu langsung masuk gudang dan hanya dipakai di hari besar atau kalau ada tamu.

Namun di kosku, barang-barang cantik itu kupakai setiap hari. Seperti tadi malam, setelah lelah mengurus semua keperluan kampus dan ditutup dengan acara nge-gym selama satu jam, aku mengeluarkan sepotong roti yang kubeli siangnya. Roti itu bisa saja langsung dimakan dari plastiknya. Tapi kuputuskan untuk memperelok cara memakannya. Roti itu kuletakkan di atas piring keramik putih, dan kumakan menggunakan garpu dan pisau makan. Perut dikenyangkan dan mata disenangkan. Kemewahan inilah yang berharga dan membuat hidup lebih menyenangkan dan aku yakin berimplikasi langsung terhadap berkurangnya jumlah kerutan di kulit. 

Minggu, 04 September 2011

TOILET MATE

Ceritanya, sewaktu akan tinggal di Yogyakarta dan mencari tempat kos, satu kriteria utama rumah kos impianku adalah toilet-nya harus ada di dalam. Dalam dua termin kedatangan ke Jogja, aku berusaha memenuhi kriteria minimal itu. Tapi, beberapa tempat kos yang sempat kulihat tak memenuhi persyaratan tersebut. Beberapa tempat kos berbagi kamar mandi bahkan dengan perbandingan 1:5, satu kamar mandi untuk lima kamar mandi. Tempat kos yang kamar mandinya di dalam, harganya terlalu tinggi atau ada batasan pulang malam dan induk semang tinggal di tempat yang sama.

Singkat cerita, pada hari terakhir pada kedatangn kedua ke Jogja, bersama seorang kawan yang bersedia jadi tukang ojek gratis, kami menemukan sebuah tempat kos idola. Memenuhi kriteria utama, toilet di dalam, juga tidak ada jam malam dan kosan itu juga bangunan tersendiri yang terpisah dari induk semang namun masih dalam satu komplek daerah kekuasaan si empunya kos. Jadi, keamanannya terjamin. Ditambah lagi, ada embel-embel internet gratis.

Pada hari aku tiba di Jogja dan menempati kamar tersebut bersama seorang kawan, perhatianku tertuju pada dindingnya yang dicat pink, norak banget. Oke, aku masih bisa terima. Mungkin cuma sebegitu sajalah selera si empunya kosan. Pada malam kedua, seseorang mengetok pintu kamarku. Ia tetangga di sebelah kanan kamar dan minta dibukakan pintu kamar mandi? Lho?

Ternyata, toilet di dalam dalam artian bukannya tidak berbagi. Gila, ini sih once in a life time. Manalah kusangka kalau yang namanya kamar mandi di dalam, ternyata BADU alias bagi dua. Besok paginya, akupun menuju rumah induk semang yang dengan wajah cemberut menjawab pertanyaanku, "Memang begitu, bagi du." That's it. Dan tentang internet? "Oh, kalau itu tergantung kesepakatan penghuni kos. Kalau mau pasang, ya nanti bayar patungan," jawabnya singkat. Lha, apa-apaan ini?

Saat ini sih aku sudah tak lagi sekesal waktu itu. Kucoba untuk menerima dan yang pasti next time, aku akan benar-benar teliti soal toilet di dalam, fasilitas internet, dan apapun yang dijanjikan oleh si empunya kos. Tapi, untuk setahun ke depan, aku memang tinggal sendiri di dalam kamar tapi punya kawan berbagi toilet,  A TOILET MATE!



Kamis, 01 September 2011

AKHIRNYA...

Suatu hari di bulan Juni 2006, bosku di sebuah lsm di Nias berkata, "Pergilah kau ke Prambanan dan Borobudur sebelum runtuh candi-candi itu." Pasalnya dia berkata begitu bukan karena berharap kedua candi itu runtuh, bukan, bukan sama sekali. Memang pada saat itu Yogyakarta baru saja dihantam gempa. Prambanan dan Borobudur terkena dampaknya. Bahkan Prambanan rusak cukup parah. Keadaan itu memancing kepiluan hatiku karena sebenarnya aku sudah beberapa kali menginjakkan kaki ke Yogyakarta sejak 2003, tapi tak sekalipun mengunjungi kedua candi itu.

Setelah aku keluar dari pekerjaan di Nias, pada April 2008, aku melakukan perjalanan Keliling Jawa, kecuali Jawa Timur. Bulat tekadku untuk ke Prambanan atau Borobudur. Tapi, sekali lagi, batal semua rencana yang sudah kususun. Dan bosku yang sempat merasa optimis bahwa kali itu aku pasti akan ke Prambanan atau Borobudur, sampai geleng-geleng kepala tak percaya. Aku kembali pulang dari Yogyakarta tanpa ke Prambanan atau Borobudur.

Akhirnya pagi tadi, aku membulatkan tekad, aku akan pergi ke Prambanan. Tak tahu jenis bencana apa lagi yang akan menghantam negara ini, setidaknya, aku sudah pernah menginjakkan kaki ke situs warisan dunia itu. Dan kepada bosku, aku dengan bangga berkata, "Bos aku sudah ke Prambanan,"---akhirnya.


Selasa, 30 Agustus 2011

MAAF

Tadi malam, aku merasa tolol dan jahat sekali. Karena iseng, tanpa berpikir panjang, mungkin juga ditambah lagi kombinasi rasa lapar karena sedang sulit-sulitnya mencari makan di sini, aku melakukan kesalahan yang membuat marah seorang kawan. Benar saja, pagi ini, selain sakit kepala yang sering kuderita selama di Yogyakarta, perutku juga sembelit. Biasanya perut sembelit kuderita karena tekanan mental. Ya, aku benar-benar merasa bersalah.

Memang aku sudah minta maaf, serius dari hati yang paling dalam. Tapi, sebagai seorang yang pernah belajar Ilmu Komunikasi selama 5 tahun, aku tahu bahwa apa yang sudah diucapkan/dituliskan, walau sudah diubah atau diklarifikasi, tidak akan terlupakan begitu saja. Apa yang sudah diucapkan atau dituliskan sudah terjadi dan tidak dapat ditarik lagi. Sehingga, biarpun sudah meminta maaf, perasaan sakit atau terluka yang diakibatkannya tak bisa terhapus begitu saja. Kecuali kawan tadi, tiba-tiba terkena amnesia permanen.

Lebih dari perasaan bersalah, aku juga takut sang kawan merasa aku memojokkan dia karena kondisi kehidupannya. Sama sekali itu tak menjadi maksud dan tujuanku. Murni, karena kedangkalan cara berpikirku, aku hanya bermaksud bercanda.

Mudah-mudahan, di hari yang fitri ini, dia membuka pintu maaf. Seperti yang selalu kuucapkan, minta maaf ya pada saat lebaran, minta tolong ke kantor polisi. Di hari lebaran versi pemerintah ini, aku ingin minta maaf setulus hati, dan aku enggak bawa polisi kok. As you know my friend, aku alergi sama polisi. Maaf ya...

PULANG...


Lagi, aku berada dalam kesendirian saat semua orang sedang merayakan hari besar. Walau merasa sedikit nelangsa, aku menolak untuk nangis bombay karenanya. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Memang sudah beberapa tahun belakangan, aku memilih untuk tidak di rumah untuk perayaan hari besar. Tepatnya sejak 2004. Waktu itu, aku pilih 'melarikan diri' ke rumah keluarga di Anyer untuk merayakan natal dan tahun baru ke Yogyakarta. Walau di rumah kerabat, tetap saja yang namanya perayaan lebih terasa indah saat bersama orang terdekat. Sejak tahun itu, sepertinya aku selalu mencari tempat pelarian. Yang paling parah, tahun 2009, aku menikmati kesendirian di sebuah kamar tempatku menumpang di kantor sebuah LSM di Abepura. Dan tahun baru di kabin penumpang di kapal dalam perjalanan dari Makassar menuju Bali. Sedih? Pasti. Tapi itulah konsekwensi.

Agak miris juga hatiku malam ini saat melihat status orang di fb yang sepertinya sedang berkumpul bersama keluarga merayakan Lebaran. Lebih mengesalkan lagi karena di Yogyakarta, tepatnya di daerah kosanku, hampir tak ada mahluk yang bersisa, baik itu anak kos maupun tukang jualan makanan. Akhirnya aku merasa sudah jadi jin penghuni Jalan Karang Malang selama seminggu ini.

Pertanyaannya, apakah aku masih akan memilih tidak pulang di akhir tahun nanti saat natal dan tahun baru? Yup, aku memang sudah berencana untuk tak pulang. Tahun ini aku akan kembali 'melarikan diri'. Bukannya karena aku maniak dengan kesendirian. Hanya saja, setiap hari besar dan acara kumpul keluarga, aku harus dihadapkan dengan tugas mahaberat. Mencuci piring dan masak. Gile kali, mendingan aku kabur aja deh....

Minggu, 28 Agustus 2011

MEET JACK, CINDY, AND JIMMY


Mari kuperkenalkan pada Jack. Yup, betul, dia adalah cicak yang gambarnya ada di atas. Aku bertemu dia kira-kira seminggu setelah menempati kamar kos baru di Yogyakarta. Karena pada saat itu, tak ada mahluk apapun yang menemani di kamar, maka kamipun langsung cepat akrab. Jangan pikir Jack seperti cicak kebanyakan, yang seperti kata lagu hanya bisa merayap di dinding. Jack sangat gemar berjalan di lantai. Seperti saat ini, tepat saat saya menulis blog ini, dia sedang berjalan-jalan di antara kotak susu dan bungkusan mangga yang saya letakkan di lantai. Setelah saya pelototi, diapun menyingkir dan memanjat kotak sampah di dekat keset kamar mandi.

Oya, Jack tidak sendiri. Suatu pagi, ia ngacir dari kamar. Seharian tidak kelihatan, malamnya saat aku mau tidur, ia pulang berdua. Sepertinya ia mengajak pacarnya tinggal serumah, Dan akupun menamai pacarnya Cindy. Cindy tidak secakep Jack. Ia punya sedikit cacat di ekornya yang kehitaman. Cindy sudah tinggal di kamarku kira-kira seminggu.

Baru tadi malam, aku juga bertemu dengan seekor spesies mereka. Entah itu anak Cindy dan Jack, aku tak tahu. Ia masih kecil, bahkan sangking kecilnya, ia bisa menyelinap di lobang di dinding. Aku juga memberinya nama, Jimmy. Dengan demikian, sudah ada tiga teman yang setia bersamaku, setidaknya sampai akhir pekan ini, saat semua anak kos mudik, suasana sunyi-senyap, dan warung makanpun tak buka.

Sabtu, 27 Agustus 2011

A TRIBUTE




Pagi ini, seperti minggu lalu, aku ibadah di sebuah gereja Khatolik dekat kos. Dan seperti minggu sebelumnya juga, aku mengambil tempat duduk di bagian belakang, di barisan yang hanya ada dua bangku. Tak lama ibadah dimulai, dua orang perempuan masuk dari pintu belakang. Seorang ibu tua duduk di bangku di sebelahku, sementara puterinya duduk di barisan di depannya. Sebagaimana biasa, ibadah di gereja ini menggunakan kertas acara. Si ibu dan puterinya ternyata hanya mengambil satu kertas acara yang dipegang oleh anaknya. Maka, akupun berbagi kertas acara dengannya. Semula, si ibu menolak dan berbisik bahwa ia tidak bisa melihat karena tak mengenakan kaca mata. Masa bodohlah, pikirku. Bagaimanapun juga berbagi kertas acara dengan orang orang yang tak memilikinya, mau dia bisa lihat atau tidak, yang penting aku lakukan dengan ikhlas. Benar saja dugaanku. Walau mungkin pandangannya sudah kabur, tetap saja si ibu khusuk membaca atau menyanyikan kidung dari kertas acara yang kusodorkan sedekat mungkin dengannya sepanjang ibadah.

Si ibu itu sudah begitu tuanya. Ketika berdiri tangannya menopang badan dan sesekali saat ia menangkupkan kedua telapak tangan dalam posisi menyembah (ini ciri khas Khatolik di Jawa, sepertinya), beberapa kali dia harus melepaskan tangkupan tangannya dan berpegangan di kursi di depannya. Beberapa si anak meminta ibunya untuk duduk saja. Tapi tetap saja, si ibu turut berdiri dan duduk sesuai dengan tata ibadah.

Dan setiap minggu juga, di dalam ibadah Khatolik ada perjamuan kudus. Imam dibantu para suster akan berdiri di tengah-tengah lorong gereja dan para jemaat mendatangi untuk mendapat roti perjamuan. Aku tak yakin si ibu bakal sanggup berjalan mendatangi imam atau suster itu. Namun, kala komuni dimulai, seorang suster yang harusnya menunggu jemaat, mendatangi si ibu yang duduk di sampingku dan menyerahkan roti untuknya. Si ibu menerima dengan agak kaget dan iapun dengan khusuk berdoa dan memakan roti itu.

Ketika ibadah hampir berakhir, saat imam mengucapkan terimakasih kepada pelayan liturgi dan para jemaat dari mimbar, tiba-tiba si ibu menyalamiku dan mengucapkan terimakasih. Sama seperti reaksi sang ibu, akupun agak kaget. Rasanya, pagi ini aku juga telah menerima sebuah penghargaan, walau hanya dalam bentuk perbuatan yang kecil. Seperti sang suster yang menghargai kegigihan sang ibu tua untuk datang ibadah pagi itu, seperti itu juga si ibu menghargai sedikit usaha yang kulakukan saat terus menyodorkan kertas acara kepadanya, entah dia bisa membacanya atau tidak.

Jumat, 26 Agustus 2011

GO F*CK YOURSELF!


Beberapa tahun yang lalu, tepatnya di awal 2006, saat aku melamar pekerjaan di sebuah majalah politik tingkat nasional, aku didepak dan gagal di ujian pertama dari tujuh tahapan ujian yang lima di antaranya berbentuk psikotes. Waktu itu, aku jelas mencibir sistematika penerimaan di majalah itu. Masa mau cari wartawan yang siap pakai, mereka hadang dengan 5 kali psikotes. Yaudah, makanlah psikotes kalian itu, begitu pikirku.

Demi menyenangkan hati ibu, waktu itu aku pulang ke Medan untuk mengikuti seremoni wisuda S1 di kampus. Enggak sampai seminggu di Medan, tiba-tiba aku dihubungi oleh staf HRD sebuah LSM perlindungan anak yang sebelumnya juga pernah jadi objek lamaranku. Sayang, waktu itu mereka menolakku karena belum tamat kuliah. Staf yang mereka terima kebetulan sudah lenggang kangkung dan pindah ke lembaga lain yang gajinya lebih tinggi. Karena di Jakarta juga belum ada kepastian, maka kuterima saja tawaran pekerjaan tersebut.

Singkat cerita, aku pergi ke Nias, salah satu wilayah jajahan LSM tempatku bekerja itu. Berkisar sebulan kemudian, ibuku menelepon. Katanya, majalah yang dulu mendepakku di psikotes tahap pertama menelepon lagi, ke rumah, dan mengajak bergabung dengan majalah mereka. Jelas saja aku berang dan murka. Sudah menolakku dan sekarang mengajakku bergabung lagi. Go fuc* yourself!

Begitulah kisah hidupku, terulang lagi saat aku akan melanjutkan studi di S2. Universitas yang kutuju, menyatakan aku tak memenuhi persyaratan akademik. Persyaratan akademik yang mana? Mana ketehe! Yang jelas, IPK-ku di atas 3, berasal dari PTN dengan akreditasi A, dan menyertakan referee yang juga lumayan mantap. Singkat cerita, seminggu kuhabiskan melihat dan kembali melihat seolah tak percaya ke website unversitas yang menyatakan aku tak lolos, akhirnya aku mencari opsi universitas lain.

Memang sudah ada tawaran untuk pulang ke Medan. Tapi, kali ini, aku bertahan. Bukan hanya karena aku sudah membayar uang kos setahun penuh, tapi aku juga tak ingin menyerah begitu saja. Kalo universitas itu tak menerimaku, memangnya kenapa? Masih banyak pilihan lain kok. Aku di sini bukan untuk dia saja. Aku membuka hati untuk yang lain.

Jadi, kuputuskanlah untuk kuliah di tempat lain. Kemarin, setelah membayar biaya 5 SKS di sebuah kampus swasta, iseng kubuka lagi website kampus negeri itu. Eh, kok statusku berubah?! Aku dinyatakan lulus. Sungguh aneh kampus ini, pikirku. Kelulusa itu, menurutku sama sekali bukan mukzizat. Hanya sebuah kesalahan yang diperbaki. Begitupun, tetap saja pagi ini aku terbangun dengan pikiran termangu-mangu. Ih, aneh banget ya? Entahlah, mungkin karena kali ini aku bertahan, maka sesuatu bekerja untuk mengoreksi kesalahan yang telah terjadi. Yang jelas, jalan masih panjang. Aku masih harus mengurus macam-macam proses registrasi ulang. Mudah-mudahan otakku tetap waras sehingga tak sampai melakukan apa yang dulu kulakukan saat lenggang kangkung pergi ke Nias dan berkata pada majalah yang menolakku itu “go fu*k yourself”!

Kamis, 25 Agustus 2011

UP BEAT


Di tengah gempuran bencana alam dan bencana kemanusiaan yang sedang terjadi, seorang teman non-WNI bertanya bagaimana rasanya tinggal di Indonesia. Aku terdiam sejenak dan mencoba merancang jawaban terbaik untuk menggambarkan perasaan sebagai seorang WNI yang tinggal di negeri ini.

Lalu, teringatlah aku pada suatu petang di depan tv menikmati camilan bersama ibu. Tiba-tiba, aku nyeletuk dan berkata, “Mak, kok gak ada berita bencana atau kecelakaan atau korupsi belakangan ini ya?” tanyaku. Ibuku berpaling dan melihatku bingung, “Baguslah. Kan enak kalau aman-aman aja,” ujarnya. “Tapi, aneh juga ya kalau Indonesia ini aman-aman aja. Enggak seperti Indonesia,” ujarnya sejurus kemudian.

“Ibarat musik, tinggal di Indonesia ini seperti mendengar musik up beat,” jawabku pada teman non-WNI itu. “Indonesia ini seperti disco club, musiknya tak pernah melow dan slow. Kau akan selalu bergoyang setiap saat,” ujarku menambahkan. Si kawanpun manggut-manggut, entah paham entah bingung, aku tak tahu. Lalu sesaat kemudian dia berkata, “Kalau begitu beat me up Indonesia. Saya siap untuk bergoyang,” ujarnya sembari berdiri dan mengarahkan telunjuk kanan ke atas dan tangan kiri di pinggang sambil menggoyangkan pinggulnya.



Rabu, 24 Agustus 2011

Yes I'd Rather Hurt Than Feel Nothing at All





Kalau mengingat 6 tahun berlalu dan aku masih menyukai laki-laki yang satu ini, dengan suara kencang 'kan kunyanyikan petikan lagu dari Lady Antebellum berjudul Need You Now. Bahkan, sampai detik inipun, sembari merangkai kata-kata, sesekali kupandangi foto-foto dari akun facebook-nya. Seperti seorang stalker saja, tapi itulah yang kulakukan 6 tahun ini. Menyukainya.


Tapi hidupku tak setragis lirik Ebiet G Ade dalam lagu Untuk Sebuah Nama. 'Mestinya aku berdiri, berjalan ke depanmu, kusapa, dan kunikmati wajahmu atau kuisyaratkan cinta. Tapi semua tak kulakukan, kata orang cinta musti berkorban', begitu kata Ebiet G Ade. Semua yang tak mampu dilakukan siapapun di dalam lagu itu, sudah kulakukan. Dan aku memang harus berkorban, aku ditolak.

Namun, katanya lagi, lebih baik sakit hati daripada mati rasa. Ah, memang manusia suka sekali masokis terhadap dirinya sendiri. Dan, kata orang, waktu akan mengobati. Memang, rasa sakit itu hilang, tapi tetap saja dadaku masih bergunjang bila menyebut namanya. Padahal dia diciptakan bukan untukku, tapi aku tidak mau peduli. Walau kata banyak orang dia itu gay...

Selasa, 23 Agustus 2011

ORANG-ORANG TOLOL


Pagi ini aku terbangun dengan rasa sakit berdenyut-denyut di kepala. Mungkin karena udara Yogyakarta sedang dingin-dinginnya. Keinginan untuk bangun agak siang-pun tak terlaksana karena pagi ini, salah satu teman yang menginap di kos akan berangkat ke Surabaya dengan kereta pagi. Lewat jam enam, aku bangun dan melihat jam di hp. Ah, ada satu sms. Isinya agak aneh, 'kenapa tidak ada inspirasi dua hari ini?'

Aku ketawa dan langsung membalas, 'ada pengganggu di kosanku, tapi sudah kuusir pagi ini'. Terus terang saja, aku senang ada orang yang mencari tulisanku di blog ini, entah dengan rasa jijik, benci, atau apapun. Selama menulis untuk blog ini, aku merasa seperti orang tolol yang dengan anehnya menulis sesuatu dari hal-hal kecil tak penting. Ternyata, ada orang-orang yang lebih tolol yang membacanya dan mencarinya setiap hari. Peace guys..., and thank you. Dan hari ini, kalianlah inspirasiku!


Senin, 22 Agustus 2011

FINISHING THE UNFINISHED


Setahun sudah karya Victor Hugo, The Hunchback of Notre Dame kubeli. Tadi malam, dengan tekad membara aku berjanji akan menyelesaikan karya klasik itu. Pasalnya, aku kadang tertegun di satu titik ketika membacanya. Karena sudah begitu lamanya buku itu dalam proses 'dibaca' sampai-sampai ada beberapa detail yang sudah kulupa.

Tinggal sekitar 30-an halaman terakhir, sekitar pukul 9 malam, tiba-tiba seorang kawan baik menelepon. Percakapan mengalir ke sana ke mari saat dia memastikan bahwa ia menelepon karena sudah menggunakan fasilitas 'temon' yang kebetulan ingin ia habiskan untuk menghubungi seorang gebetan. Apa daya, teleponnya tak diangkat sang gebetan. Jadilah aku kambing congek untuk menghabiskan pulsanya yang sudah terlanjur terpotong.

Jam 11 malam baru hubungan kami terputus. Kelihatannya 'temon' sang kawan sudah habis. Mata sudah mengantuk, untunglah tekadku masih membara. Karya penulis Perancis itupun selesai pukul setengah satu malam. Akhirnya, selesailah pekerjaan yang belum selesai itu.


Sabtu, 20 Agustus 2011

PERCAKAPAN CLAUDE DAN JEHAN

Ini adalah percakapan kakak-adik, Claude (wakil uskup di Paris) dan Jehan (adik Claude, seorang mahasiswa pemalas) dalam karya Victor Hugo, The Hunchback of Notre Dame.

"Jehan, kamu harus berpikir sungguh-sungguh untuk menebus dosa. Kamu berada di lereng yang licin. Kamu tahu ke mana kamu pergi?"

"Ya, ke kedai minum."

"Kedai minum mengarak ke pasungan."

"Itu suatu petunjuk yang sebaik petunjuk apa pun."

"Dan pasungan mengarah ke perancah."

"Perancah selalu dalam keseimbangan di mana ada satu orang di satu ujungnya dan seluruh dunia di ujung lainnya; sesuatu yang baik untuk menjadi manusia."

"Dan perancah mengarah ke neraka."

"Paling tidak di sana lebih hangat."

"Jehan, Jehan! Kamu akan sampai di akhir yang jelek!"

"Paling tidak aku punya permulaan yang baik."



Out of box. Sebuah contoh jenius cara berpikir yang keluar dari standar. 

Jumat, 19 Agustus 2011

SELIMUT BARU

Cihuy, akhirnya jadi juga aku membeli selimut baru!



Sudah dua minggu ini aku berencana membeli selimut dan tikar untuk tempat tidur jika ada tamu di kosan. Minggu lalu, aku sudah melihat-lihat selimut dan tikar yang bakal kubeli. Bentuk dan modelnya sudah cocok. Tapi, aku terbentur di masalah harga. Selimut batik dibandrol dengan harga Rp 150 ribu, sementara tikarnya Rp 140 ribu. Kalau membeli keduanya, maka harus keluar uang sekitar 300 ribu. Sementara, ada beberapa kebutuhan lainnya yang harus kupenuhi.

Timbang rasa dan timbang pikir, aku putuskan untuk membeli selimut saja terlebih dahulu. Alasannya, Yogyakarta sekarang sedang dingin-dinginnya. Selimut tebal adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Sementara, di kosan belum ada tamu yang harus disediakan tempat tidur tambahan. Jadinya, membeli tikar diundur nanti saja, kalau ada rejeki tambahan atau di termin kiriman dari ibu selanjutnya. Walau tak sesuai dengan yang ditargetkan, tapi itulah keputusan yang terbaik.

Hidup ini memang tak selalu sesuai target. Jadi ingat ke curhatan teman beberapa waktu yang lalu. Katanya dia menikah karena ingin memenuhi target usia yang sudah mepet. Memang, enggak satu dua orang yang menjadikan faktor usia sebagai target menikah. Tapi, enggak disangka, teman yang kuanggap cukup mumpuni menggunakan kemampuan logikanya, ternyata membuat keputusan seperti itu.

Memang, tidak ada yang menjamin bahwa pernikahan atas dasar target usia pasti tidak bahagia. Tapi, berbicara mengenai pertimbangan, selalu soal rasa dan logika. Sayangnya, di dalam praktik sehari-hari, logika sering dikalahkan oleh rasa. Padahal otak yang merepresentasikan logika ukurannya lebih besar daripada hati yang merujuk pada rasa. Kasihan juga pada otak yang juga diberi tempat lebih tinggi tapi selalu digusur oleh faktor rasa. Entahlah, jadinya seperti menghakimi. Yang jelas, malam ini, dengan pertimbangan rasa dan logika, aku akan tidur hangat di balik selimut baru.

Kamis, 18 Agustus 2011

MENATA DIRI, MENATA HATI


Pagi ini, saya membaca sebuah artikel yang sangat bagus di sebuah situs berita. Sebenarnya artikel itu ditulis oleh seorang arsitek yang mengkritisi kondisi tata kota di Jayapura. Saya sangat sepakat dengan si penulis yang menggambarkan Jayapura sebagai salah satu kota terindah di Indonesia. Gunung dan pantai bertemu dan menyajikan visual yang sangat menakjubkan. Namun, si penulis mempunyai pandangan yang berbeda. Melihat sebuah kota, janganlah dari mata burung. Artinya, kota harus dilihat dari dekat, dari kehidupan masyarakat sehari-hari, dilihat dari dalam.

Dari dalam, dari kehidupan sehari-hari, kitapun bisa melihat diri seseorang yang sebenarnya. Walau tampak indah, dari kejauhan, belum tentu benar indah bila dilihat setiap hari. Seperti melihat sebuah kota, kitapun akan melihat sampah, selokan, dan kesemrawutan lainnya di dalam diri seseorang.

Kalau di sebuah kota, ada pemerintah yang harusnya melakukan perbaikan, membuat tata kota yang baik, dan memberikan karakter pada kota tersebut. Tapi kita, kitalah yang menata diri kita sendiri. Kitalah wali kota bagi diri kita sendiri. Mari melihat ke dalam diri, mengkritisi apa yang kurang, dan memperbaikinya. Mari menata diri, mari menata hati.

Rabu, 17 Agustus 2011

PERCAYA DAN MERASA DAMAI

Pagi ini aku mendapatkan suatu pelajaran tentang kehidupan, dari sebuah komik berjudul Yokohama Chinatown Fantasy. Tokoh utama yang bernama Hana dihadapkan pada satu keadaan di mana ia merasa harus membuka rahasia hidupnya kepada seseorang. Namun, orang itu bisa saja berbalik dan membongkar rahasianya sehingga kehidupan Hana pasti akan hancur.


Roh selir yang selalu menemaninya, menghalangi Hana agar tak membuka rahasianya. Tapi Hana bersikukuh untuk memberitahukan pada orang itu tentang dirinya yang sebenarnya. Bukan saja karena orang itu sudah terlebih dahulu berterus-terang pada Hana. Tapi, Hana berprinsip daripada hidup dengan mencurigai orang lain, lebih baik hidup dengan mempercayai orang lain. Meskipun dikhianati atau diperdaya.


Percaya. Sebuah kata yang sederhana namun sulit untuk dilakukan. Setiap hari kita menaruh curiga pada orang lain, merahasiakan sesuatu, dan akhirnya itu menjadi kebiasaan. Padahal, percaya bukan hanya membuat kita mendapatkan persahabatan sejati. Lebih dari itu, ada rasa damai saat kita mempercayai seseorang. Ya, pasti ada resiko penghianatan. Namun, bukankah itu sudah lepas dari tanggung jawab kita? Masing-masing orang bebas menentukan sikapnya. Kelak jika ada penghianatan, itu perkara lain. Menjadi percaya dan merasa damai, bukankah itu yang ingin kita peroleh dalam hidup ini?



Selasa, 16 Agustus 2011

FILOSOFI TEH


Saat pindah ke Yogyakarta, aku harus membeli sebagian besar kebutuhan sehari-hari. Mulai dispenser, ember, sampai jepit jemuran. Tak lupa, aku juga membeli teh dan gelasnya. Satu yang tak kubeli, saringan teh.

Untung, teh yang kubeli adalah teh kasar, bukan teh bubuk. Awalnya, aku tak berniat menyediakan saringan teh. Biarlah tehnya diaduk saja di dalam gelas, jangan disingkirkan. Namun, teman sekamarku, tak berkenan melakukan sedikit kerja sebelum minum teh. Ia menuntutku untuk membeli saringan teh.

Akhirnya, saringan itupun kubeli. Aku menggunakannya pertama kali saat menyediakan teh untuk kami, aku dan temanku. Dan, itulah terakhir kalinya aku menggunakan saringan teh itu. Karena sebelum membeli saringan teh, aku sudah beberapa kali ngeteh tanpa saringan. Teh yang diseduh, kalau sudah agak dingin, akan turun perlahan. Tidak semua memang. Masih ada yang tetap di permukaan. Tapi, dengan bantuan sendok, aku menyisihkannya. Tidak, aku tak membuangnya ke tong sampah atau saluran air di kamar mandi. Aku hanya menyisihkannya. Teh itu masih di tempat yang sama, di gelas yang sama. Memberikan cita rasa pada air yang kuseruput dengan nikmat.

Mungkin, begitulah harusnya kita memperlakukan masalah di dalam hidup ini. Tidak perlu disingkirkan atau disaring, sisihkan saja. Yang penting kita masih dapat menikmati hidup ini, bukan? Karena masalah dan halangan juga yang membuat hidup ini semakin terasa nikmat. Seperti menyeruput teh hangat di pagi hari.

SUBSTITUTE

 Di kota ini, udara pagi memang sangat dingin, tapi karena banyak yang berolah raga, akupun turut keluar tanpa menghiraukan dinginnya pagi. Di sini juga, angkot berbentuk minibus punya trayek yang membingungkan dan terlalu berputar-putar, tapi karena budaya jalan kaki sudah melekat di masyarakatnya, akupun sering memilih jalan saja daripada naik angkot. Di kota ini juga, harga mangga harum manis jauh lebih mahal, tapi dengan harga hampir dua kali lipat, kualitas mangga yang kudapat juga super, superbesar dan supermanis.


Hidup di kota ini tidaklah mudah, awalnya. Namun, semua yang tidak kutemui di sini, dapat kugantikan dengan hal yang lain. Hidup ini hanyalah perkara mencari penggantinya saja. Andai itu juga berlaku untuk semua hal di dunia ini.