Kamis, 29 September 2011

MATI

Kematian selalu memberi tohokan, kadang keras kadang lembut, di ulu hati setiap orang yang ditinggalkan. Kematian juga selalu meninggalkan lubang menganga, kadang menganga lebar kadang cuma seujung jarum.

Ketika mendengar tentang kematian salah seorang kerabat, tepatnya paman ibuku, yang lumayan kukenal karena memang kami bertetangga, terasa ada yang menohok dan meninggalkan lubang kecil di hatiku. Padahal, jujur saja, aku tak peduli pada orang tua itu. Maksudku, aku benar-benar tidak punya kepedulian. Dia menjadi ada dalam daftar kerabat karena ia kebetulan paman ibuku. Namun dalam hal lainnya, aku tak tahu ia lahir di mana, anaknya berapa, usianya berapa, dan informasi-informasi lainnya.

Untuk seorang yang tak kupedulikan pun, matinya dia, tetap saja terasa menyesakkan dada. Walau dalam satu tarikan nafas aku sudah kembali lupa dengannya.

Hari ini, banyak orang yang mengenang matinya kerabat, suami, bapak, dan berbagai predikat orang yang dicintai. Hari ini pada 1965, kata pemerintah, PKI memberontak dengan membunuh 7 jenderal. Tapi, aku percaya, hari ini, mereka yang dituduh PKI sedang menghadapi kematian mereka, tanpa mereka tahu untuk apa mereka mati. Memikirkan itu saja, aku sudah merasa tertohok dan ada lubang di hatiku. Tak terbayangkan bagaimana perasaan mereka yang ditinggal mati. Kematian sungguh sebuah misteri, dan ke sanalah kita semua akan pergi. Sampai jumpa di dunia kematian. Dan semoga tak terlalu banyak orang yang merasa tertohok dan berlubang hatinya saat aku mati nanti.

Senin, 19 September 2011

HARAPAN

Pagi ini aku terbangun saat terdengar pintu kamar diketok tetangga depan yang ingin meminjam setrika. Saat kuberikan setrika, kutanya padanya jam berapa sudah saat itu. "Jam tujuh," jawabnya sambil menerima setrika. Lalu ia pun bertanya kapan bisa mengembalikan setrikaan itu. Kujawab, "Kembalikan kalau nanti melihatku. Atau kalo aku tak nampak-nampak, kembalikan saja pada emakku." Dan iapun tertawa ngakak, akupun menutup pintu kamar dan membanting badan ke atas dipan. Tapi, walau berkata begitu, aku masih berharap tetap hidup, setidaknya sampai setrikaanku kembali.

Jam tujuh, mata ngantuk karena tadi malam begadang sampai jam tiga, cucian menggunung dan harus segera dicuci, uang tunai tinggal dua ribu perak di dompet. Sungguh daftar pertimbangan yang membuatku tak bisa memilih jawaban 'LANJUTKAN TIDUR'.  Andai saja saat itu masih jam 6 pagi, aku tak begadang semalaman, tak ada tumpukan cucian, uang tunaiku masih banyak. Arrrr...

Untuk memastikan otak, kulihat jam di hape yang memang menunjukkan angka jam enam lewat 59 menit. Dan 'o-o', hapeku yang baru semalam dicas, sudah menunjukkan penanda baterai berwarna orange. "Damn!" umpatku. Kurasa baterai hapeku sudah soak. Ah, kuharap aku memenangkan sebuah kompetisi, kompetisi apapun, termasuk kompetisi orang paling menyebalkan sekalipun, yang penting aku dapat uang tambahan. Tepat jam 7 pagi, aku sudah punya sederet harapan yang kuharap sesuatu kekuatan entah apapun itu, bisa memenuhinya.

Ya, ya, aku tahu apa jawabannya. Tepat seperti yang selalu kujawab kalau ada seseorang yang tiba-tiba berkata, "Res, buku-bukumu untukku ya," atau, "Kak, kalau kau mati, macbookmu wariskan ke aku." Dan aku selalu berkata ketus, "YOU WISH!" Dan dilanjutkan dengan penguat penolakan," IN YOUR DREAM!"


Rabu, 14 September 2011

JANGAN LUPAKAN

Hari ini, sebagai anak bangsa, aku merasa sangat tertohok ketika seorang dosen, berkebangsaan Indonesia dan hidup di Indonesia mengatakan bahwa bahasa Indonesia sangat miskin. Miskin yang ia maksud adalah karena sulit sekali mencari padanan kata dalam peristilahan bahasa Inggris. Katanya lagi, kalau di bahasa Inggris banyak istilah yang dapat dipergunakan untuk menerangkan sebuah istilah.

Terang saja aku merasa sangat, sangat ingin melemparkan kamus tesaurus segede gambreng itu agar ia bisa melek bahasa Indonesia. Sayangnya, aku bahkan belum mampu membeli kamus tersebut. Selain harganya mahal, banyak jenis bantuan secara online yang bisa didapat untuk penulisan.

Lima tahun yang lalu, ketika bekerja di sebuah LSM perlindungan anak di Nias, aku dituntut untuk bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris.  Awalnya, aku mati-matian berusaha berbicara dalam bahasa Inggris di dalam setiap pertemuan. Lama-lama, aku kok jadi bingung sendiri. Pertemuan ini dilakukan di Indonesia, sebagai pesertanya juga orang Indonesia, juga untuk kepentingan orang Indonesia. Kenapa bahasa pengantarnya bahasa Inggris?

Suatu hari, aku bertanya pada salah seorang perwakilan lembaga dari Italia, kenapa ia tidak belajar bahasa Indonesia selama bekerja di Nias. Lantas, ia menjawab, menurutnya sangat sulit bagi seorang Italia yang secara alami juga tidak berbahasa Inggris, lantas harus juga belajar bahasa Indonesia. Benar, aku tahu itu sulit. Tapi pertanyaannya, kalau aku yang di Italia, apa iya aku boleh ongkang-ongkang doank dengan bahasa emakku tanpa berusaha belajar bahasa setempat?

Tentu saja, aku tak bisa memaksa siapapun untuk mempelajari bahasa Indonesia. Tapi, saat itu juga, aku memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam berbagai pertemuan. Dan silakan para bule mendengarkan versi terjemahannya dari para penterjemah di pertemuan tersebut. Yang jelas, di negaraku, untuk kepentingan negaraku, aku akan memakan bahasa negaraku. Titik.

Lantas, aku jadi bertanya-tanya, apakah dosen itu sangking seringnya menggunakan bahasa asing, sampai lupa pada bahasa negaranya sendiri? Aku jadi ingat seorang teman yang dulu pernah ditanyai oleh kawannya yang orang bule. Si bule bertanya apa sih bahasa Indoesianya penis dan vagina. Kawanku itu sempat bingung dan menjawab, bahasa Indoenesia-nya penis dan vagina, ya penis dan vagina. Terus, teman bulenya itu berkata kalau ia pernah mendengar bahwa bahasa Indonesia-nya kedua alat kelamin itu adalah kontol dan pepek. Kawanku itu kontan tertawa dan kaget. Terus, ia pun berpikir sejenak dan membenarkan pernyataan kawan bulenya itu. Memang benar itulah istilahnya di dalam bahasa Indonesia. Namun, sangking lamanya tak dipakai lagi, sampai terlupakan begitu saja.



Kamis, 08 September 2011

UDAH KULIAH, CIN...

Inilah hot news di kosan. Para mahasiswa baru (maba) sedang disibukkan dengan kegiatan ospek? Ospek? Masih ada ya? Wah, aku juga agak khawatir dengan kebiasaan yang satu ini. Walau aku tak pernah menyesal pernah mengikuti kegiatan tersebut sebagai korban, namun aku tak pernah sekalipun bersedia melakukan tindakan berbau ospek apapun kepada para junior. Walau begitu, aku tak akan ikut dalam barisan orang yang menentang penghapusan ospek, kecuali kalau ospek sudah memakan korban. Karena di antara setumpuk kegiatan dan benda-benda tak penting yang harus dilakukan dan dibuat oleh para maba, yang paling dituntut adalah kekuatan mental mereka. Itu, menurutku, masih memiliki korelasi langsung dengan kehidupan kampus yang nanti akan mereka hadapi.


Tapi, ada yang menggelitik perasaanku dan para penghuni kosan non-maba lainnya. Di tempat kami saat ini, tak kurang ada 4 orang ibu dari mahasiswa baru yang menginap di sini, sudah sekitar seminggu lamanya. Awalnya, kupikir mereka hanya membantu untuk mempersiapkan kamar si anak. Baru kemarin aku tahu, kalau para ibu ini juga menghadiri pertemuan orang tua, sejenis POMG gitu. Aku sempat terbengong saat salah seorang ibu mengatakan hal tersebut. Merasa tak percaya, aku konfirmasi ulang pernyataannya. Eh, dengan tampang menuduh dia bilang kalau orang tuaku absen pada pertemuan sejenis. Lantas kujelaskan bahwa memang kampusku tak pernah ada pertemuan seperti. Plus, kujelaskan kalau aku sudah mengurus sendiri semua hal yang berkaitan dengan kampus. Ibuku tinggal memberi modal uang tanpa perlu mengurus tetek-bengek seperti yang dilakukan ibu tadi.

Siangnya, aku bercakap-cakap dengan seorang teman yang berasal dari kampus  S1 yang sama. Sang kawan spontan ketawa dan berkata, "Kok kayak anak TK ya?" Tepat sekali! Aku juga berpikir pertemuan orang tua sudah tak cocok lagi dilakukan di level unversitas. Dan bukan aku saja yang berpikiran seperti itu. Beberapa anak kos lainnya juga merasa kalau para ibu ini sepertinya terlalu heboh membantu anak-anak mereka.

Jam lima pagi ini, aku terbangun karena salah seorang ibu di kamar tetangga heboh menyuruh anaknya untuk sarapan. Dan kehebohan masih berlanjut dengan hal-hal lainnya, inilah-itulah. Pikirku, apa si ibu juga menunggui anaknya begadang mengerjakan tugas yang diberikan para senior. Atau jangan-jangan si ibu turut serta membantu anaknya? Wah, mati akal aku. Mereka itu sudah 18 tahun lho. Anak yang sudah bisa bikin anak. Kalau terus berada di bawah ketiak orang tuanya, kapan mereka bisa mandiri. Mereka udah kuliah, cin...

Senin, 05 September 2011

KEMEWAHAN SETIAP HARI


Kita pasti mengenal seseorang yang memiliki sifat seperti yang kugambarkan berikut ini. Dia punya banyak barang-barang bagus, seperti peralatan makan dan pernak-pernik rumah tangga lainnya. Tapi barang-barang itu hampir tak pernah dipakai. Dipergunakan hanya pada momen-momen tertentu seperti pada lebaran yang sudah lewat.

Di keluargaku, ibu punya sifat seperti itu. Dia punya lusinan piring keramik, gelas wine, dan peralatan makan mewah lainnya. Tapi hanya dikeluarkan di hari besar keagamaan saja atau kalau ada tamu yang berkunjung. Di rumah ibu, peraturan ibu. Setiap hari kami menggunakan peralatan makan, piring dan lainnya, merek duralex yang sudah ada sejak jaman sebelum aku lahir. Tapi kalau ibuku tak di rumah, seperti dulu ia selalu berkunjung ke Anyer sampai sekitar seminggu, aku selalu menggunakan barang-barang mahal miliknya.

Di kosku, peraturanku. Aku senang membeli pernak-pernik bagus walau dengan harga mahal, tapi lebih senang lagi, kalau dapat yang bagus dengan harga murah. Tapi yang paling kusukai, mendapat barang bagus secara gratis. Seperti seperangkat sendok, garpu, pisau makan, dan sendok teh yang diberikan kakak sepupuku. Satu setnya pasti berharga sampai ratusan ribu. Kalau di rumah ibu, pasti barang-barang itu langsung masuk gudang dan hanya dipakai di hari besar atau kalau ada tamu.

Namun di kosku, barang-barang cantik itu kupakai setiap hari. Seperti tadi malam, setelah lelah mengurus semua keperluan kampus dan ditutup dengan acara nge-gym selama satu jam, aku mengeluarkan sepotong roti yang kubeli siangnya. Roti itu bisa saja langsung dimakan dari plastiknya. Tapi kuputuskan untuk memperelok cara memakannya. Roti itu kuletakkan di atas piring keramik putih, dan kumakan menggunakan garpu dan pisau makan. Perut dikenyangkan dan mata disenangkan. Kemewahan inilah yang berharga dan membuat hidup lebih menyenangkan dan aku yakin berimplikasi langsung terhadap berkurangnya jumlah kerutan di kulit. 

Minggu, 04 September 2011

TOILET MATE

Ceritanya, sewaktu akan tinggal di Yogyakarta dan mencari tempat kos, satu kriteria utama rumah kos impianku adalah toilet-nya harus ada di dalam. Dalam dua termin kedatangan ke Jogja, aku berusaha memenuhi kriteria minimal itu. Tapi, beberapa tempat kos yang sempat kulihat tak memenuhi persyaratan tersebut. Beberapa tempat kos berbagi kamar mandi bahkan dengan perbandingan 1:5, satu kamar mandi untuk lima kamar mandi. Tempat kos yang kamar mandinya di dalam, harganya terlalu tinggi atau ada batasan pulang malam dan induk semang tinggal di tempat yang sama.

Singkat cerita, pada hari terakhir pada kedatangn kedua ke Jogja, bersama seorang kawan yang bersedia jadi tukang ojek gratis, kami menemukan sebuah tempat kos idola. Memenuhi kriteria utama, toilet di dalam, juga tidak ada jam malam dan kosan itu juga bangunan tersendiri yang terpisah dari induk semang namun masih dalam satu komplek daerah kekuasaan si empunya kos. Jadi, keamanannya terjamin. Ditambah lagi, ada embel-embel internet gratis.

Pada hari aku tiba di Jogja dan menempati kamar tersebut bersama seorang kawan, perhatianku tertuju pada dindingnya yang dicat pink, norak banget. Oke, aku masih bisa terima. Mungkin cuma sebegitu sajalah selera si empunya kosan. Pada malam kedua, seseorang mengetok pintu kamarku. Ia tetangga di sebelah kanan kamar dan minta dibukakan pintu kamar mandi? Lho?

Ternyata, toilet di dalam dalam artian bukannya tidak berbagi. Gila, ini sih once in a life time. Manalah kusangka kalau yang namanya kamar mandi di dalam, ternyata BADU alias bagi dua. Besok paginya, akupun menuju rumah induk semang yang dengan wajah cemberut menjawab pertanyaanku, "Memang begitu, bagi du." That's it. Dan tentang internet? "Oh, kalau itu tergantung kesepakatan penghuni kos. Kalau mau pasang, ya nanti bayar patungan," jawabnya singkat. Lha, apa-apaan ini?

Saat ini sih aku sudah tak lagi sekesal waktu itu. Kucoba untuk menerima dan yang pasti next time, aku akan benar-benar teliti soal toilet di dalam, fasilitas internet, dan apapun yang dijanjikan oleh si empunya kos. Tapi, untuk setahun ke depan, aku memang tinggal sendiri di dalam kamar tapi punya kawan berbagi toilet,  A TOILET MATE!



Kamis, 01 September 2011

AKHIRNYA...

Suatu hari di bulan Juni 2006, bosku di sebuah lsm di Nias berkata, "Pergilah kau ke Prambanan dan Borobudur sebelum runtuh candi-candi itu." Pasalnya dia berkata begitu bukan karena berharap kedua candi itu runtuh, bukan, bukan sama sekali. Memang pada saat itu Yogyakarta baru saja dihantam gempa. Prambanan dan Borobudur terkena dampaknya. Bahkan Prambanan rusak cukup parah. Keadaan itu memancing kepiluan hatiku karena sebenarnya aku sudah beberapa kali menginjakkan kaki ke Yogyakarta sejak 2003, tapi tak sekalipun mengunjungi kedua candi itu.

Setelah aku keluar dari pekerjaan di Nias, pada April 2008, aku melakukan perjalanan Keliling Jawa, kecuali Jawa Timur. Bulat tekadku untuk ke Prambanan atau Borobudur. Tapi, sekali lagi, batal semua rencana yang sudah kususun. Dan bosku yang sempat merasa optimis bahwa kali itu aku pasti akan ke Prambanan atau Borobudur, sampai geleng-geleng kepala tak percaya. Aku kembali pulang dari Yogyakarta tanpa ke Prambanan atau Borobudur.

Akhirnya pagi tadi, aku membulatkan tekad, aku akan pergi ke Prambanan. Tak tahu jenis bencana apa lagi yang akan menghantam negara ini, setidaknya, aku sudah pernah menginjakkan kaki ke situs warisan dunia itu. Dan kepada bosku, aku dengan bangga berkata, "Bos aku sudah ke Prambanan,"---akhirnya.