Jumat, 24 Februari 2012

Permohonan Kepada Hujan



Suara anakan kucing terdengar cukup nyaring di pagi buta jam setengah enam saat aku sedang berjalan menuju fitness center, tiga hari yang lalu. Biasanya, suara memiriskan seperti itu menandakan hidup mahluk kecil itu tak akan lama lagi, mungkin dia sekarat, kelaparan, dan kedinginan.

Pagi, saat kakiku melangkah menuju kampus, suara yang sama terdengar lagi. Kucari di mana-mana, suaranya hanya terdengar layap-layap namun cukup nyaring. Hatiku bersorak girang, setidaknya anak kucing itu cukup kuat untuk dapat mengeluarkan suara secempreng itu.

Saat kakiku melangkah menuju kosan, siangnya, sosok kucing kecil itu akhirnya menampakkan wujudnya. Untuk kucing jalanan yang jelas sudah disapih induknya, ia cukup sehat, bahkan tubuhnya cukup gemuk. Perutnya membuncit tanda ia tak kelaparan, bulunya tergolong cukup bersih dan ia juga cukup gesit. Aku membelai kucing itu sejenak. Ia jelas tak lapar, hanya butuh kasih sayang. Sayang, aku tak mungkin berlama-lama di tempat itu. “Rumah” kucing itu adalah di bagian pagar besi yang membatasi antara wilayah kampus dan jalan yang di seberangnya adalah pemukiman penduduk. Hanya ada tanah kosong di situ dan trotoar yang sering dijadikan lokasi tambahan bagi para pemilik warung tenda yang sudah bersiap-siap menggelar dagangan.

Akhrinya, aku meninggalkan si belang mungil itu. Ia mengeong-ngeong dan kakinya mengikuti langkahku. Aku berhenti sejenak dan menghardik anak kucing itu. Ia tak boleh mengikutiku. Sangat berbahaya berkeliaran di bagian luar pagar karena langsung bersisian dengan jalan raya yang walaupun bukan jalan utama tapi cukup ramai. Tubuhnya yang mungil pasti sulit dilihat oleh para pengendara sepeda motor yang terlalu ugal-ugalan untuk ukuran sebuah kota pelajar.

Kucing itu tampaknya paham ketika kuhardik. Ia duduk. Namun, ketika aku melangkah, ia mengeong lagi, dan mengikuti. Akupun berhenti dan kembali membentaknya. Ia lalu duduk terdiam. Ketika aku melangkah lagi, ia hanya mengeong, namun tak mengikuti. Aku berharap ia tetap berada di bagian dalam pagar, aman dari ancaman para pengendara sepeda motor.

Tadi sore, seperti hari sebelumnya, aku harus menyeret langkah dan pergi ke kampus saat megamendung masih menggelayut di langit setelah hujan kecil yang turun sebelumnya. Di saat aku melintasi pagar pembatas, tiba-tiba si mungil itu muncul. Ia menjilati bulunya yang basah. Akupun menggosok-gosok badannya. Mungkin karena dingin, ia langsung duduk di antara kedua kakiku. Kehangatan kain celana membuat matanya merem-melek saat kepalanya kuusap-usap.

Sayang, jadwal kuliahku semakin mepet. Walau berat, aku tinggalkan anak kucing itu. Sekali lagi, ia mengikutiku. Mungkin karena sudah terlatih, saat kupelototi sambil membentak pelan, anak kucing itu langsung duduk patuh, namun matanya masih terus mengikutiku.

Belum seberapa jauh beranjak, suara hujan besar bergetar di langit. Angin membawa hujan itu ke arahku. Walau sudah menghilang di belokan jalan, aku masih membayangkan kucing kecil tadi. Tak ada tempat berteduh baginya. Hanya tumpukan kayu yang tak akan berhasil membuatnya tetap kering jika hujan besar turun. Lirih di dalam hati aku memohonkan satu permintaan, “Hujan, tolong menjauh dari kucing kecil itu. Ikuti saja aku, biar aku saja yang basah kuyup.”

Entah hujan mendengar permohonanku atau tidak, tapi setidaknya satu permintaanku terkabul. Hujan mengikutiku dan membuat hampir seluruh celana panjangku basah kuyup walau sudah memakai payung.

Hujan di sore itu terasa semakin menyesakkan dada. Ada seekor anak kucing belang yang kupikirkan. Di mana dia berlindung dan bagaimana keadannya.

Selesai kuliah, aku pulang dan melewati jalan yang sama. Tak kulihat sosok atau suaranya. Di seberang jalan aku berhenti untuk membeli lauk makan malam. Saat menunggu pesanan, terdengar suara si kucing kecil itu. Ia sedang merengek di belakang pagar, tepat di samping sepasang pelanggan yang sedang menyantap makan malam. Kedua orang itu tampak sibuk menyodorkan makanan kepada si pus kecil. Si belang itu kelihatannya cukup sehat dan bahagia sore ini. Entah tadi hujan mengguyurnya atau tidak, tapi aku bersyukur untuknya. Setidaknya satu hari yang berat telah berhasil ia lewati.