Kamis, 05 April 2012

ANUGERAH

Mudah sekali untuk berbicara anugerah pada saat-saat perayaan keagamaan seperti hari ini. Jumat Agung, orang-orang merasa bahwa anugerah telah dicurahkan padanya, besar dan dahsyat. Orang bersyukur, memuji Tuhan, dan beribadah. Maaf, aku tak percaya pada anugerah yang transedental seperti itu.

Mungkin karena hidup di ranah realistis, walaupun, percaya tak percaya, aku pernah melihat hantu, makanya sesuatu yang transenden sulit untuk diterjemahkan. Sehingga hanya bisa dirasai dan diresapi, bukan untuk dibicarakan atau didiskusikan.


Keajaiban mungkin saja terjadi. Tentu saja, uang dadakan adalah salah satunya. Tapi, aku juga tak percaya keajaiban hujan uang. Itu terlalu muskil. Job dadakan yang dibayar mahal, teman yang tiba-tiba nraktir dalam rangka ulang tahun, dll. Miracle does happen, and shit does too. Jadi, hidup ini berimbang.

Namun, aku tetap percaya anugerah. Anugerah yang berwujud. Sesuatu yang terjadi tanpa diketahui alasannya. Dan karenanya, aku mendapatkan sesuatu yang baik.

Mahluk berbulu yang mendengkur di bawah dadaku saat ini mungkin salah satunya. Seekor kucing comel yang kemarin siang mengikutiku masuk ke kamar kos dengan suara gemerincing karena ada kerincingan sebesar setengah ukuran kepalanya bergantung di leher kucing kecil itu. Malamnya, ia masih betah di kosan. Dan saat aku masuk kamar, ia mengikutiku. Mungkin karena lapar atau kedinginan, makanya ia setia mengikuti ke manapun kakiku melangkah di kamar berukuran 3 x 3 meter itu. Ia berhenti mengekor saat aku masuk ke kamar mandi dan kupercikkan air ke wajahnya. Ia lalu lari terbirit-birit. Tapi tak lama kemudian, ia mengintip dari balik pintu kamar mandi yang kubiarkan terbuka.

Setelah mandi, aku membuka bungkusan ikan bakar yang sudah kubeli sebelumnya. Kucing itu mengikuti ke manapun tanganku bergerak. Ia pasti mau mencicipi ikan itu, pikirku. Akhirnya, kepala dan sesobek daging ikan kuletakkan di kertas agar dia berhenti mengikuti tanganku. Ia endus ikan itu sebentar, lalu ia meneruskan aktivitasnya mengikuti tanganku bergerak. Ternyata ia tak ingin makan. Lalu, ia memanjat kakiku dan menyeruduk daguku dengan wajahnya dan mendekur keras. Ternyata si comel itu hanya ingin dielus. Dengan susah payah, aku selesaikan makan malam. Karena aku masih bergerak ke sana ke mari, si comel mencari kehangatan di tempat lain, ke atas laptopku. Kuangkat dia dari atas laptop, dua kali, dan akhirnya aku menyerah dan memindahkan benda hangat itu ke atas meja agar tak ditiduri kucing kecil itu.

Setelah malamnya bergulat antara memasukkan atau membiarkan si comel tidur di lampin yang kusiapkan di belakang kulkas yang hangat, aku terbangun pagi-pagi buta. Saat kubuka pintu, kucing itu sudah terjaga di atas kain alas tidurnya. Lalu ia mengikuti masuk kamar, mengeong-ngeong, dan mengendus-endus. Kukelurkan tulang ikan bekas tadi  malam dari tempat sampah. Aromanya masih segar. Langsung saja si comel menyeret-nyeret tulang ikan itu ke berbagai penjuru kamar. Alhasil, kamar yang memang sudah seminggu tak kupel itupun semakin kotor. Mau tak mau, walau malas, pagi menjelang pergi ke misa Jumat Agung, aku mengepel lantai kamar, sembari diperhatikan oleh si comel dari atas tempat tidurku.

Kucing kecil itu kukeluarkan dengan paksa saat aku pergi ke misa. Aku tak ingin ia buang air di atas barang-barang di kamar. Karena kalau ia melakukannya, aku akan kesal sekali dan pasti ia akan mendapat satu atau dua jeweran di telinganya.

Sepulang dari misa, comel sudah menunggu di bawah kursi di depan kamarku. Mengeong memberi salam. Ia tampak bersemangat, bahkan memanjat bajuku agar bisa merasakan kehangatan badanku. Kucing ini benar-benar butuh kasih sayang. Kukunya menancap-nancap saat ia duduk atau tiduran di lipatan kaki atau tanganku. Itu gerakan khas anak kucing saat sedang menyusu pada ibunya. Tampaknya kucing jantan itu masih baru saja disapih induknya. Setelah semua aktivitas pagi selesai, aku mengambil posisi di tempat tidur. Kucing kecil itu sudah menunggu dengan santai di atas bantalku. Ia langsung mengambil posisi di lipatan tanganku dan mendengkur keras dan tidur.

Sudah lama betul aku tak merasakan kucing, memeluk, membelai, mendengar dengkurannya, melihat matanya yang bulat berbinar-binar. Sejak balita, aku dan keluargaku selalu punya kucing sampai kami pindah ke rumah yang baru sekitar satu setengah tahun yang lalu. Selalu ada perasaan tenang saat memandang kucing tidur, perasaan dibutuhkan saat kucing mengeong, entah karena ingin dibelai atau ingin diberi makan. Dengkuran, tatapan bahkan nafas beraroma ikan dari seekor kucing, sangat kukenali. Sangat familiar. Seperti suasana di rumah. Sesuatu yang kurindukan tanpa sadar di lubuk hatiku yang paling dalam.

Kedatangan si comel sepertinya membayar sedikit kerinduan akan rumah. Itulah yang kusebut anugerah. Ia datang tanpa alasan dan membawakanku suasana rumah yang kurindu. Lantas di mana Tuhan? Ialah yang mengutus si comel. Tak kuminta, tak kuharap, tapi kubutuhkan. Dan Tuhan berinisiatif untuk memberikannya. Itulah wujud Tuhan dalam imajiku. Bukan wujud ember penampung uneg-uneg remeh-temeh tak penting, tapi yang menjawab kebutuhan terdalam manusia, bahkan tanpa diminta, dan dengan cara-cara yang paling tidak terpikirkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar