Ini bukan pernyataan cinta, for
sure. Hanya saja aku merasa agak kaget ketika seorang teman
mengatakan akan segera menikah bulan November nanti. Sebenarnya, aku
enggak terlalu heran kalau ia akan menikahi perempuan yang selama ini
ia pacari, dan aku juga pernah dikenalkan dengan pacarnya itu. Hanya
saja, ketika kutanya kenapa ia menikah secepat ini (dia berumur 2
atau 3 tahun lebih tua dariku, yaaa jadi usianya sekitar 31 atau 32
tahun), ia memberikan jawaban yang sedikit aneh. Katanya, ia menikah
karena ia bingung mau melakukan apa lagi di dunia ini. Tentu saja aku
tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Kuliahmu aja belum selesai,
udah gak tahu kau mau ngerjakan apa? Sarjana kau dulu, baru kawin!”
(Memang kawanku itu belum tamat S1, padahal seperti kutulis
sebelumnya, ia lebih tua dariku. Ia punya begitu banyak kegiatan,
kecuali menyelesaikan kuliah S1-nya.)
Mungkin aneh, kenapa aku merasa kaget
ia ingin menikah secepat ini. Mungkin juga karena aku sendiri sering
merasa kalau kami bukan hanya berteman, tapi jelas kami tak punya
romansa apapun, setidaknya dari pihakku. Dia itu teman yang aneh,
aneh karena ia memang aneh adanya. Biasanya untuk orang yang aneh,
aku belajar cuek dan tak terlalu peduli kalau tiba-tiba ia kumat
ayannya (gila, tiba-tiba menjadi pemarah, atau tiba-tiba menghilang
dari muka bumi tanpa kabar sedikitpun). Namun, aku sering marah kalau
ia tiba-tiba menggila. Padahal, berteman dengan teman-teman yang
kebanyakan mengidap sakit jiwa kambuhan, membuatku sudah hapal
gejala-gejala kalau mereka sedang tak waras. Tapi, aku selalu merasa
marah kalau ia tiba-tiba menjadi pendiam tanpa sebab, menghilang,
atau tak membalas sms atau telepon.
Tak ada sesuatu yang berbeda yang
kulakukan dengannya, sama saja seperti kegiatan yang kulakukan dengan
teman-teman yang lain. Bukan sebuah kegiatan pertemanan pada umumnya
memang, karena harus kuakui kalau kami adalah orang-orang gila yang
bangga pada tingkat kewarasan kami. Kadang kami minum tuak sambil
ngalor-ngidul sampai tengah malam, kadang kami travelling ke
pedalaman super jauh di balik pegunungan, bahkan kami pernah bermain
gulat di rumah kontrakan orang (padahal kami semua sudah akil balig
dan cukup tua untuk melakukan permainan kanak-kanak seperti itu).
Sebenarnya, aku tak begitu mengenalnya.
Ia tak pernah bicara tentang keluarganya, tak juga pernah mengajak
kami main ke rumahnya. Berbeda denganku yang lebih banyak bicara.
Seperti yang pernah ia katakan padaku, aku seperti buku yang terbuka,
terbaca dengan mudah. Mungkin juga ia pun membaca segala yang ada di
dalam pikiranku. Karakter kami jauh berbeda. Aku seperti pantat panci
yang selalu menangkis dan tak pernah mencerna dengan serius apapun
yang ia katakan. Sementara dia seperti got yang menampung semua
sampah yang keluar dari mulutku. Mungkin karena perbedaan sifat
itulah yang membuatku merasa membutuhkannya di antara teman-teman
yang lain. Mungkin karena ia adalah parit busuk yang sempurna yang
bisa menampung segala kotoran yang kukeluarkan.
Dan kami bertemu di persimpangan di
mana ia dan aku sama-sama sudah memutuskan jalan hidup kami. Ia dan
pacarnya, seperti yang diucapkan oleh salah seorang kawanku yang
adalah sahabatnya, seperti sebuah paket yang sempurna, mereka saling
memahami. Berbeda dengan hubungan kami, yang kurasa kami cenderung
saling menyakiti dan membalas dendam, tapi tetap saja dengan riang
kami saling mencaci satu sama lain. What a friendship it is!
Setelah setahun lebih tak bertemu,
akhirnya ia ke Jogja dan mengabariku. Sebelumnya ia juga pernah ke
Jogja namun tak bilang-bilang, karena menurutnya aku juga tak pernah
memberitahukannya kalau aku akan ke Jogja. Memang itu benar, waktu
itu aku ingin membalasnya karena beberapa waktu sebelumnya ia
tiba-tiba menghilang dari peredaran. Ia beritahukan, sekaligus
mengundangku datang ke pernikahannya. Tentu saja aku ingin datang,
bagaimanapun bentuk persahabatan kami, ia adalah temanku. Sayangnya,
aku tak bisa memastikan apakah bisa datang ke Medan pada tanggal
pernikahannya.
Kedatangannya ke Jogja, dan beberapa
teman lainnya, bersama 40-an rombongan penari dari Medan. Aku yang
juga sibuk dengan proposal tesis dan juga akan pergi ke Jakarta pada
saat yang bersamaan, membuat kami hanya sesekali bertemu. Ia ingin
mengajakku minum tuak (padahal ini di Jogja) dan begadang sampai pagi
di apartemen tempat mereka menginap. Kalau saja aku bisa (dan kalau
saja aku tahu di mana membeli tuak yang enak di Jogja ini), mungkin
aku akan turut. Karena tak memenuhi undangannya, ia mengatakan kalau
aku menyebalkan. Seperti biasa, aku tak pernah peduli dengan segala
caci-maki dari mulutnya.
Tapi, untuk berdamai, kuajak ia untuk
mengadakan sebuah acara pesta lajang di Medan sebelum pernikahannya
di akhir November nanti. Mungkin karena sebal, ia bertanya kenapa
lajang harus dirayakan. Kujawab, karena lajang hanya sekali, dan
selanjutnya akan disebut duda atau janda. Lalu ia membalas, kalau aku
sudah janda dan dia sudah duda, ia mengajakku kawin. Ah, pulsaku
habis. Padahal aku sudah mengetik sms yang isinya kalau aku tak mau
kawin dengan barang bekas. Tentu saja aku tak tertarik menikah dengan
sahabatku sendiri. Tanpa rasa romansa pun, aku sering blingsatan
dengan sifatnya. Tak terbayang bagaimana caranya aku mentolerir
kegilaannya kalau nanti aku bisa menyukainya. Maaf teman, kita tak
akan kawin, walau kau mendudua dan aku menjanda. Bisa saja kita main
gulat lagi, dengan teman-teman yang lain tentunya, tapi mengikat
pernikahan denganmu, terlalu gila, bahkan untuk ukuranku.
Tapi kakak kan kelak akan menjalani platonic marriage dengen ehemmmm XD
BalasHapus"aku tak mau kawin dengan barang bekas" --> mak jleb banget niy pernyataan.
BalasHapus@Wilma: biarpun platonic, dia kan bukan barang bekas :-P
BalasHapus@Mbak Wiwik: pertanyataan itu enggak tendensius kok, Mbak. Cuma pemikiranku sepihak. Kalo Mbak ngerasa barang bekas lebih yahuuud, monggo dilanjutkan. Doaku besertamu :-D