Senin, 15 Oktober 2012

PRIA YANG INGIN MENGAJAKKU MENIKAH, SETELAH AKU DAN DIA MENJADI DUDA DAN JANDA


Ini bukan pernyataan cinta, for sure. Hanya saja aku merasa agak kaget ketika seorang teman mengatakan akan segera menikah bulan November nanti. Sebenarnya, aku enggak terlalu heran kalau ia akan menikahi perempuan yang selama ini ia pacari, dan aku juga pernah dikenalkan dengan pacarnya itu. Hanya saja, ketika kutanya kenapa ia menikah secepat ini (dia berumur 2 atau 3 tahun lebih tua dariku, yaaa jadi usianya sekitar 31 atau 32 tahun), ia memberikan jawaban yang sedikit aneh. Katanya, ia menikah karena ia bingung mau melakukan apa lagi di dunia ini. Tentu saja aku tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Kuliahmu aja belum selesai, udah gak tahu kau mau ngerjakan apa? Sarjana kau dulu, baru kawin!” (Memang kawanku itu belum tamat S1, padahal seperti kutulis sebelumnya, ia lebih tua dariku. Ia punya begitu banyak kegiatan, kecuali menyelesaikan kuliah S1-nya.)

Mungkin aneh, kenapa aku merasa kaget ia ingin menikah secepat ini. Mungkin juga karena aku sendiri sering merasa kalau kami bukan hanya berteman, tapi jelas kami tak punya romansa apapun, setidaknya dari pihakku. Dia itu teman yang aneh, aneh karena ia memang aneh adanya. Biasanya untuk orang yang aneh, aku belajar cuek dan tak terlalu peduli kalau tiba-tiba ia kumat ayannya (gila, tiba-tiba menjadi pemarah, atau tiba-tiba menghilang dari muka bumi tanpa kabar sedikitpun). Namun, aku sering marah kalau ia tiba-tiba menggila. Padahal, berteman dengan teman-teman yang kebanyakan mengidap sakit jiwa kambuhan, membuatku sudah hapal gejala-gejala kalau mereka sedang tak waras. Tapi, aku selalu merasa marah kalau ia tiba-tiba menjadi pendiam tanpa sebab, menghilang, atau tak membalas sms atau telepon.


Pertemananku dengannya, sebenarnya tidak ada yang begitu privat, kami bertemu tak pernah berduaan, melakukan kegiatan juga selalu bersama-sama dengan kawan yang lain, bahkan kadang di forum yang cukup besar, kami tak sempat bertegur sapa. Hanya saja, sebelum aku meninggalkan Medan, aku mengharapkan ia datang kalau kami merencanakan kegiatan apapun, entah sekadar minum kopi di sebuah kedai milik teman, atau menjelajah ke kampung-kampung orang tak dikenal.

Tak ada sesuatu yang berbeda yang kulakukan dengannya, sama saja seperti kegiatan yang kulakukan dengan teman-teman yang lain. Bukan sebuah kegiatan pertemanan pada umumnya memang, karena harus kuakui kalau kami adalah orang-orang gila yang bangga pada tingkat kewarasan kami. Kadang kami minum tuak sambil ngalor-ngidul sampai tengah malam, kadang kami travelling ke pedalaman super jauh di balik pegunungan, bahkan kami pernah bermain gulat di rumah kontrakan orang (padahal kami semua sudah akil balig dan cukup tua untuk melakukan permainan kanak-kanak seperti itu).

Sebenarnya, aku tak begitu mengenalnya. Ia tak pernah bicara tentang keluarganya, tak juga pernah mengajak kami main ke rumahnya. Berbeda denganku yang lebih banyak bicara. Seperti yang pernah ia katakan padaku, aku seperti buku yang terbuka, terbaca dengan mudah. Mungkin juga ia pun membaca segala yang ada di dalam pikiranku. Karakter kami jauh berbeda. Aku seperti pantat panci yang selalu menangkis dan tak pernah mencerna dengan serius apapun yang ia katakan. Sementara dia seperti got yang menampung semua sampah yang keluar dari mulutku. Mungkin karena perbedaan sifat itulah yang membuatku merasa membutuhkannya di antara teman-teman yang lain. Mungkin karena ia adalah parit busuk yang sempurna yang bisa menampung segala kotoran yang kukeluarkan.

Dan kami bertemu di persimpangan di mana ia dan aku sama-sama sudah memutuskan jalan hidup kami. Ia dan pacarnya, seperti yang diucapkan oleh salah seorang kawanku yang adalah sahabatnya, seperti sebuah paket yang sempurna, mereka saling memahami. Berbeda dengan hubungan kami, yang kurasa kami cenderung saling menyakiti dan membalas dendam, tapi tetap saja dengan riang kami saling mencaci satu sama lain. What a friendship it is!

Setelah setahun lebih tak bertemu, akhirnya ia ke Jogja dan mengabariku. Sebelumnya ia juga pernah ke Jogja namun tak bilang-bilang, karena menurutnya aku juga tak pernah memberitahukannya kalau aku akan ke Jogja. Memang itu benar, waktu itu aku ingin membalasnya karena beberapa waktu sebelumnya ia tiba-tiba menghilang dari peredaran. Ia beritahukan, sekaligus mengundangku datang ke pernikahannya. Tentu saja aku ingin datang, bagaimanapun bentuk persahabatan kami, ia adalah temanku. Sayangnya, aku tak bisa memastikan apakah bisa datang ke Medan pada tanggal pernikahannya.

Kedatangannya ke Jogja, dan beberapa teman lainnya, bersama 40-an rombongan penari dari Medan. Aku yang juga sibuk dengan proposal tesis dan juga akan pergi ke Jakarta pada saat yang bersamaan, membuat kami hanya sesekali bertemu. Ia ingin mengajakku minum tuak (padahal ini di Jogja) dan begadang sampai pagi di apartemen tempat mereka menginap. Kalau saja aku bisa (dan kalau saja aku tahu di mana membeli tuak yang enak di Jogja ini), mungkin aku akan turut. Karena tak memenuhi undangannya, ia mengatakan kalau aku menyebalkan. Seperti biasa, aku tak pernah peduli dengan segala caci-maki dari mulutnya.

Tapi, untuk berdamai, kuajak ia untuk mengadakan sebuah acara pesta lajang di Medan sebelum pernikahannya di akhir November nanti. Mungkin karena sebal, ia bertanya kenapa lajang harus dirayakan. Kujawab, karena lajang hanya sekali, dan selanjutnya akan disebut duda atau janda. Lalu ia membalas, kalau aku sudah janda dan dia sudah duda, ia mengajakku kawin. Ah, pulsaku habis. Padahal aku sudah mengetik sms yang isinya kalau aku tak mau kawin dengan barang bekas. Tentu saja aku tak tertarik menikah dengan sahabatku sendiri. Tanpa rasa romansa pun, aku sering blingsatan dengan sifatnya. Tak terbayang bagaimana caranya aku mentolerir kegilaannya kalau nanti aku bisa menyukainya. Maaf teman, kita tak akan kawin, walau kau mendudua dan aku menjanda. Bisa saja kita main gulat lagi, dengan teman-teman yang lain tentunya, tapi mengikat pernikahan denganmu, terlalu gila, bahkan untuk ukuranku.  

3 komentar:

  1. Tapi kakak kan kelak akan menjalani platonic marriage dengen ehemmmm XD

    BalasHapus
  2. "aku tak mau kawin dengan barang bekas" --> mak jleb banget niy pernyataan.

    BalasHapus
  3. @Wilma: biarpun platonic, dia kan bukan barang bekas :-P
    @Mbak Wiwik: pertanyataan itu enggak tendensius kok, Mbak. Cuma pemikiranku sepihak. Kalo Mbak ngerasa barang bekas lebih yahuuud, monggo dilanjutkan. Doaku besertamu :-D

    BalasHapus