Rabu, 14 September 2011

JANGAN LUPAKAN

Hari ini, sebagai anak bangsa, aku merasa sangat tertohok ketika seorang dosen, berkebangsaan Indonesia dan hidup di Indonesia mengatakan bahwa bahasa Indonesia sangat miskin. Miskin yang ia maksud adalah karena sulit sekali mencari padanan kata dalam peristilahan bahasa Inggris. Katanya lagi, kalau di bahasa Inggris banyak istilah yang dapat dipergunakan untuk menerangkan sebuah istilah.

Terang saja aku merasa sangat, sangat ingin melemparkan kamus tesaurus segede gambreng itu agar ia bisa melek bahasa Indonesia. Sayangnya, aku bahkan belum mampu membeli kamus tersebut. Selain harganya mahal, banyak jenis bantuan secara online yang bisa didapat untuk penulisan.

Lima tahun yang lalu, ketika bekerja di sebuah LSM perlindungan anak di Nias, aku dituntut untuk bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris.  Awalnya, aku mati-matian berusaha berbicara dalam bahasa Inggris di dalam setiap pertemuan. Lama-lama, aku kok jadi bingung sendiri. Pertemuan ini dilakukan di Indonesia, sebagai pesertanya juga orang Indonesia, juga untuk kepentingan orang Indonesia. Kenapa bahasa pengantarnya bahasa Inggris?

Suatu hari, aku bertanya pada salah seorang perwakilan lembaga dari Italia, kenapa ia tidak belajar bahasa Indonesia selama bekerja di Nias. Lantas, ia menjawab, menurutnya sangat sulit bagi seorang Italia yang secara alami juga tidak berbahasa Inggris, lantas harus juga belajar bahasa Indonesia. Benar, aku tahu itu sulit. Tapi pertanyaannya, kalau aku yang di Italia, apa iya aku boleh ongkang-ongkang doank dengan bahasa emakku tanpa berusaha belajar bahasa setempat?

Tentu saja, aku tak bisa memaksa siapapun untuk mempelajari bahasa Indonesia. Tapi, saat itu juga, aku memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam berbagai pertemuan. Dan silakan para bule mendengarkan versi terjemahannya dari para penterjemah di pertemuan tersebut. Yang jelas, di negaraku, untuk kepentingan negaraku, aku akan memakan bahasa negaraku. Titik.

Lantas, aku jadi bertanya-tanya, apakah dosen itu sangking seringnya menggunakan bahasa asing, sampai lupa pada bahasa negaranya sendiri? Aku jadi ingat seorang teman yang dulu pernah ditanyai oleh kawannya yang orang bule. Si bule bertanya apa sih bahasa Indoesianya penis dan vagina. Kawanku itu sempat bingung dan menjawab, bahasa Indoenesia-nya penis dan vagina, ya penis dan vagina. Terus, teman bulenya itu berkata kalau ia pernah mendengar bahwa bahasa Indonesia-nya kedua alat kelamin itu adalah kontol dan pepek. Kawanku itu kontan tertawa dan kaget. Terus, ia pun berpikir sejenak dan membenarkan pernyataan kawan bulenya itu. Memang benar itulah istilahnya di dalam bahasa Indonesia. Namun, sangking lamanya tak dipakai lagi, sampai terlupakan begitu saja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar