Kamis, 08 Desember 2011

IT'S NOT A CONCERT, IT'S A FIRST LOVE

Selama 28 tahun hidup, tak pernah sekalipun aku menonton konser musik, entah itu gratis atau berbayar, artis luar negeri atau Indonesia. Mungkin karena aku selalu menghindari keramaian, konser, terutama musik, bukan salah satu hiburan favoritku. Sampai sekitar sebulan yang lalu, saat sedang berselancar ke dunia maya mencari lagu-lagu lawas yang biasanya lebih asyik didengar daripada lagu terkini. Dan sampailah aku ke salah satu nama yang kuakrabi sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Karena iseng, akupun membuka beberapa situs untuk membaca kabar terkini penyanyi yang 20 tahun lebih tua dariku itu. Dan ternyata, tak sampai sebulan lagi, ia akan mengadakan konser di Jakarta. Satu yang langsung terbersit di kepalaku, "Aku harus menonton konsernya"


Sebelas tahun yang lalu, tepatnya di pertengahan 2000, usiaku 17 tahun, kelas 2 SMA, saat itu ada banyak penyanyi, terutama boyband yang sedang naik daun. Di tv dan radio, suara mereka kerap terdengar. Tapi takdir berkata lain, mereka bukan cinta pertamaku. Suatu hari, ibuku mengajak belanja di kota Binjai. Iseng, kami memasuki sebuah toko elektronik yang juga menjual kaset. Waktu itu, cd dan mp3 belum booming di Indonesia. Iseng, aku meminta ibu membelikan dua buah kaset. Yang satu berupa album kompilasi dan yang satunya, album Greatest Hits Richard Marx.

Tak tahu siapa dia, apa lagunya, terkenalkah dia, dll, aku membeli album itu. Dan tentu saja, album itu bukan favoritku. Pertama, aku tak akrab dengan tembang-tembang yang ia nyanyikan, kedua, beberapa lagu di album kompilasi itu terlalu berat buatku yang hidup di generasi boyband.

Aku jatuh cinta setelah sekian lama album Richard Marx nangkring di tempat kaset di ruang tamu. Di satu masa ketika SMA, aku sering menderita sakit kepala mahadahsyat sampai pernah harus permisi pulang dari sekolah. Biasanya setelah mendapat bantuan medis dari klinik, aku tidur di kamar ibuku, menanti obat bereaksi dan mata mengantuk. Di sisi atas tempat tidur ibuku, ada sebuah pemutar kaset recorder yang dulunya adalah tape yang menghiasi mobil bapakku. Sampai suatu hari terjadi kecelakaan, mobil dan bapakku pun tewas. Yang tersisa dari mobil dan bapakku hanyalah tape tersebut.

Di tape mantan mobil mendiang bapakku itulah aku memutar kaset Greatest Hits itu. Tape itu adalah jenis yang bisa memutar secara simultan side A dan side B dan seterusnya. Jadi, ketika aku menunggu mata tertidur, layap-layap kudengar alunan suara Richard Marx, kadang di tembang yang melow, kadang nge-beat. Ada kalanya aku terbangun, kepalaku yang tadinya terasa berdenyut-denyut, dengan bantuan obat penenang dosis tinggi, mereda sakitnya. Dalam keadaan sakau karena CTM, aku mendengar sayup-sayup nada-nada lembut dari beberapa lagu yang kemudian hari aku tahu begitu mendunia seperti Right Here Waiting.

Namun, aku tak pernah benar-benar jatuh cinta pada lagu tersebut. "Thanks to You", lagu yang tampaknya ia persembahkan untuk sang ibu, jauh lebih menghanyutkanku. Mungkin karena dibesarkan tanpa terlalu menunjukkan rasa keakraban, sulit sekali untuk mengungkapkan rasa terimakasih pada ibuku, yang pada masa itu sedang melewati fase-fase penuh perjuangan setelah kematian bapak. Ada kalanya, saat aku terkapar karena sakit kepala menyerang, ia bolak-balik dari sekolah tempatnya mengajar ke rumah untuk melihat kondisiku, entah aku sedang tertidur atau sudah bolak-balik di atas tempat tidurnya yang nyaman. Dalam lagu "Thanks to You" itu aku merepresentasikan rasa terimakasih pada ibu yang sampai saat ini belum bisa kuucapkan secara langsung.

Dari sebuah lagu, sembari menunggu obat penenang mengantarku ke dunia mimpi atau saat mataku terbangun setelah dua jam tertidur, aku semakin menikmati aliran instrumen dan suara Richard Marx. Dialah cinta pertamaku-pada karya musik, pada seorang penyanyi dan pencipta lagu.

Ketika kuputuskan menggunakan ratusan ribu rupiah untuk membeli tiket, walau di barisan paling belakang ruang pertunjukan, bukan karena aku ingin menonton konser. Lebih dari itu, aku ingin mendengar langsung, alunan suara dari cinta pertamaku. Bukan pada Richard Marx sebagai entitas manusia fisik semata, tapi bagi seseorang yang karyanya mewarnai sejarah hidupku dan  menjadi soundtrack dari kisah yang kulewati, saat aku melewati rasa sakit, saat aku ingin mengucapkan terima kasih pada ibuku. Sosok itulah yang ingin kutonton. Suara yang telah mengurai dan mengingatkan pada fase-fase terberat dalam hidupku. Suara itulah yang ingin kudengar.

2 komentar:

  1. Selamat bertemu cinta pertamamu, Ecie. Salam ya ^_^

    BalasHapus
  2. Thank you, Mbak. Sorry aku enggak jadi nonton pertunjukanmu, di kotaku, hehehe. Aku baru balik Senin pagi. Lain kali kita bersua ya Mbak...

    BalasHapus