Selasa, 01 November 2011

FILOSOFI YANG TAK DICERITAKAN

Sampai saat ini aku masih saja takjub setiap kali memasuki salah satu kelas yang kuikuti. Dari namanya, mungkin banyak orang yang sepele dengan kelas ini, tanpa mereka tahu bahwa di kelas inilah aku kembali ke masa lampau, menggali memori yang sudah lewat, menengoknya kembali dengan cara yang berbeda, dan akhirnya memperkaya kehidupan itu sendiri.

Suatu hari di kelas tersebut, kami membahas tentang salah satu tokoh dalam sebuah cerita di Kitab Adiparwa. Dosen pengasuh membuka kelas dengan menampilkan gambar burung garuda. Kurasa, siapapun yang pernah duduk di bangku SD, pastilah tahu tentang burung garuda, lambang negara Indonesia.  Apa yang semua orang ingat tentang burung yang satu ini? Sepertinya tak banyak, dan biasanya pastilah tentang bulu, selain sehelai kain yang dicengkram oleh sang garuda yang berbunyi "Bhineka Tunggal Ika", catat ya Bhineka Tunggal Ika, bukan NKRI harga mati lho.

Jadi, kembali ke masalah bulu, kalau enggak salah ada hitung-hitungan bulu sang garuda yang dilambangkan adalah tanggal, bulan, dan tahun kemerdekaan NKRI. Bulu kaki sekian, bulu dada sekian, bulu sayap sekian. Kalau ada yang iseng, pasti nanya, bulu ketek dan bulu kakinya berapa jumlahnya ya? Entahlah, yang jelas tulisan ini bukan untuk menjelaskan jumlah bulu sang garuda.

Ada yang, entah lupa atau sengaja, tak diceritakan kepada kita, para generasi muda tentang asal-muasal dipilihnya garuda sebagai lambang negara. Ada landasan filosofis yang kupikir akan sangat mengena di hati masyarakat dan pastinya lebih  bermutu ceritanya daripada sekadar hitung-hitungan bulu-bulu tadi. Di kelas inilah kutemukan sesuatu yang tak kudapat di luar sana, sejak SD sampai kuliah S1, di mata kuliah Pancasila.

Siapakah sang garuda? Dia adalah anak dari Sang Winata dan Bagawan Kacyapa. Ia adalah anak yang menetas dari sebutir telur hasil tapa brata Rsi Walakilya. Ia adalah anak yang ditakdirkan untuk menebus ibunya dari perbudakan. Ia adalah anak yang berjuang, melawan para dewa bahkan Wisnu sekalipun untuk mendapat amrta guna menebus ibunya. Ia adalah pembebas. Kalau kita membaca bagian tentang sang garuda dan perjuangannya membebaskan ibunya, Sang Winata, dari perbudakan, maka patutlah kita acungkan jempol kepada para pendiri negara yang telah memilih sosok sang garuda sebagai lambang negara.

Saya teringat beberapa tahun silam saat di sebuah blog, yang katanya dibuat oleh orang Malaysia untuk menjatuhkan martabat Indonesia, yang memuat tentang lambang negara Indonesia, sang garuda, yang mencontek Polandia. Dari banyaknya komentar dan perdebatan, tak satupun yang saya baca menyinggung tentang sejarah garuda itu sendiri, keberadaannya sebagai anak yang dijanjikan, keberadaannya sebagai pembebas.

Aku beruntung masuk ke dalam sebuah kelas yang membuat mata dan pikiran terbuka kepada hal-hal yang tak kupahami sebelum ini. Dan aku percaya, banyak orang di luar sana, rindu untuk mengetahui apa yang saat ini kupelajari. Sesuatu, landasan filosofis, yang tak diceritakan kepada kita.

4 komentar:

  1. Ecie, ini dipelajari di mata kuliah apa? Antro-kah? Sering2 berbagi di sini ya, 'Cie.... Bujur.

    BalasHapus
  2. Judul mata kuliahnya, "Sastra Etnik Jawa Kuno-Baru, Telaah Nalar". Mata kuliah ini kuambil di Sanata Dharma, kelas nonreguler Jurusan Ilmu Religi dan Budaya. Kelasnya keren, diasuh oleh 4 dosen pengampu, 3 di antaranya doktor. Pasti, akan sesering mungkin berbagi di blog tak penting ini Mbak, hehehe...

    BalasHapus
  3. Sip...ditunggu ya 'Cie sharingnya...ternyata kelas IRB di Sadhar bisa diambil sama mahasiswa non-Sadhar juga ya?

    BalasHapus
  4. Bisa kok, Mbak. Namanya kelas nonreguler, persyaratannya cuma legalisir ijasah S1. Untuk uang kuliah, 200 rb/sks. Maksimal 1 semester hanya 2 mata kuliah.

    BalasHapus