Kamis, 12 Februari 2015

Yang Ada dalam Ingatan

Baru melihat postingan teman facebook. Sebuah berita duka, kecelakaan kapal di Sabang, NAD. Ternyata korbannya adalah dosen kawan tersebut. Iapun memposting berita itu dan menyatakan rasa duka cita. Kawan saya itu mengingat bahwa dosen yang bersangkutan adalah pengajar di salah satu mata kuliahnya di semester satu (sekitar 12 tahun yang lalu). Dan ternyata, salah seorang temannya, yang juga teman saya di facebook mengenal dosen yang meninggal itu karena merupakan pembimbing thesisnya (mungkin baru beberapa tahun yang lalu).


Sebagai sama-sama dosen (walau saya belum setua beliau), terbersit rasa ingin tahu, apakah saya juga diingat oleh para mahasiswa saya kelak. Bertahun-tahun sesudah masa kuliah bahkan 12 tahun setelahnya, adakah mahasiswa mengingat saya sebagai dosen mereka. Dan yang paling penting, seperti apa mereka mengingat saya? Walau tentu saja, kebiasaan kita selalu akan mengingat (setidaknya mengucapkan) hal-hal yang baik saja terhadap orang yang sudah meninggal.

Tapi, kalau dipikir-pikir, bisa sebaik apa sih orang seperti saya ini? Mungkin karena ditempa dengan keras (ini pembenaran, hihihi...), saya pun selalu berkata dan bertindak keras terhadap mahasiswa. Maka, hampir bisa dipastikan, mereka mengingat saya sebagai dosen killer yang menyebalkan. Yah, tapi in the end, bukankah lebih baik ada yang ingat (walau sebagai dosen killer) daripada enggak diingat sama sekali? Karena enggak diingat itu berarti kita sama sekali enggak penting buat orang lain, sampi segitu enggak pentingnya hingga tak nempel sedikitpun di ingatan.

Terpikir pula tadi, kalau sebagai dosen, yah wajarlah masih diingat oleh mahasiswa yang sudah dewasa. Saya jadi ingin tanya sama ibu saya yang guru SD dan kakak saya yang guru PAUD, kira-kira masih ada enggak ya mantan murid yang ingat dengan mereka? Kalau ditanya saya, berhubung dulu enggak pernah PAUD, jadi jelas tak ingat sama guru PAUD. Tapi kalau guru SD, sepertinya hanya dua. Satu: kepala sekolah, namanya Pak Thohari yang namanya 6 tahun ada di rapor saya setiap catur wulan (dulu masih pakai istilah ini). Yang kedua, namanya Pak Rombang. Saya sih enggak ingat dia seperti apa pas ngajar di kelas. Ia masih tersisa dalam memori karena pertama kali dan (semoga) hanya sekali saya melihat hantu, dan itu Pak Rombang. Saya melihatnya kira-kira 2 jam setelah beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Idih..., serem ah. Ini sudah jam 12 malam. Kayaknya bukan saatnya untuk cerita horor. Sebaiknya saya tarik selimut. Selamat malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar