Saya
begitu riang gembira ketika membaca sebuah istilah di dalam lembaran
fotokopian yang saya dapat untuk salah satu mata kuliah. Ada sebuah
istilah yang dinamakan 'kripto-religius' John W.M. Verhaar, SJ.
Istilah itu ia pakai untuk merujuk pada sifat-sifat kultural yang
melekat pada sebuah jabatan. Jabatan yang ia maksud di sini
dimisalkan jabatan 'profesor' yang selalu dianggap sebagai ahli dalam
suatu bidang. Ahli-nya si profesor itu bukan saja karena ia memang
benaran ahli tapi lebih karena ia dianggap ahli. Lha, ini kan
repot. Karena profesor itu sampai pensiun-pun akan terus dipanggil
profesor. Sementara, yang namanya manusia kan tidak pengen libur,
pensiun, dan berleha-leha di usia senjanya. Wajar jika sang profesor
kemudian tidak lagi melakukan riset-riset sesuai dengan keahliannya.
Tapi, tetap saja ia dipanggil dengan sebutan profesor dan di dalam
sebutan itu melekat pula atribut keahliannya. Maka ia pun selamanya,
sampai mati, dianggap ahli. Itulah kira-kira penjelasan dari
sifat-sifat kultural yang 'kripto-religius'.
Mabok
Ke-rianggembiraan-an
saya ketika menemukan istilah 'kripto-religius' itu masih terkait
dengan curhatan saya dan beberapa kawan di sebuah kelas metode
penelitian. Memang bukan hal baru, kalau dua kubu metode penelitian,
kuantitatif dan kualitatif selalu saling bersaing, saling
menjatuhkan, saling mengejek, saling menjelekkan, dan saling
menunjukkan kelemahan metode lawannya. Kalau hanya dalam tataran
persaingan saja sih tidak masalah. Menjadi masalah ketika salah satu
pelaku/penganut ternyata memiliki atribut kekuasaan di dalam sebuah
lembaga pendidikan. Seperti yang terjadi di kampus saya tersebut.
Hari
pertama bertemu dengan petinggi kampus, kami ditekankan agar membuat
penelitian/tesis yang punya manfaat bagi masyarakat banyak. Sebagai
contoh penelitian/tesis yang dianggap tak berguna adalah
penelitian-penelitian content analysis.
“Apa gunanya diteliti satu teks atau kartun di satu media massa
bagi masyarakat banyak?” begitulah logika berpikir yang diajukan
kepada kami. Lebih lanjut, penekanan terhadap gunanya penelitian itu
juga diajukan oleh seorang penyandang gelar akademik tertinggi di
kampus. Merujuk pada dogma-dogma yang dijejalkan pada kami oleh para
nabi itu, maka kami kemudian tersentak dan terkaget-kaget ketika
muncul dogma yang lainnya.
Di kelas metode penelitian berlawanan, kami justru diminta untuk
mendalami suatu kajian dan menjadikannya sebagai bahan proposal untuk
nanti diteliti. Lha, itu artinya kami diminta untuk melakukan hal
yang berseberangan dengan dogma-dogma sebelumnya. Mendalami segala
tetek bengek sebuah fenomena entahkah dalam bentuk pemberitaan atau
suatu gejala sosial, baik kajian historis, ontologis, dan
lain-lainnya. Jika merujuk pada paham yang lainnya, apa guna
kajian-kajian itu bagi masyarakat? Itu kan seperti ngecap yang
enggak penting dan tak berguna.
Karena itu, saya pun curhat pada pengasuh mata kuliah yang
menganjurkan kami untuk mengecap. “Mas, saya jadi mabok karena
mendengar penjelasan-penjelasan tersebut,” ujarku. Bingung kan
kalau kedua agama itu sama-sama memberikan penjelasan yang paling
masuk akal menurut mereka?
Jadilah
Dewasa!
Saat ini, saya sih sudah memutuskan akan menganut agama yang mana.
Namun, itu bukan permasalahan utama yang ingin saya paparkan di sini.
Keribetan yang kami terima sampai serasa mabok, itu bermula pada satu
perkara perilaku para kaum intelektual yang ada di kampus.
Mari merunut dari sifat-sifat kultural kripto-religius yang
dikemukakan oleh Verhaar. Saya pun melekatkan sifat-sifat tertentu
pada para dosen yang sudah bergelar akademik yang serba mentereng
itu. Hasilnya, yang ada di dilam pikiran saya, ketika dosen x
mengatakan a, saya percaya. Karena dia kan ahli, maka dia pasti
benar. Lalu, ada pula dosen y yang mengatakan b. Dengan embel-embel
gelar akademik yang mentereng pula, maka saya pun merasa wajib
percaya karena, lagi-lagi gelar itu saya asosiasikan sebagai
seseorang yang ahli dalam bidangnya. Ya wajar kalau saya jadi mabok,
puyeng, dan bingung.
Yang tak wajar, orang-orang ahli ini. Kalau merujuk pada tulisan
Verhaar maka para ahli/kaum intelektual ini harusnya memiliki
kedewasaan intelektual. Dalam hal ini, seorang intelektual yang
dewasa tidaklah boleh bersifat otoriter apalagi sampai menghina
bahkan menutup kemungkinan berkembangnya pendekatan/metode yang
berseberangan dengan yang ia anut. Kaum intelektual yang dewasa
harusnya mampu hidup selaras dan menghargai perbedaan pendekatan yang
dipergunakan oleh orang lain. Situasi yang kontrastif yang muncul,
oleh kaum intelektual yang dewasa akan membuatnya mengalami ilham
yang baru. Bukannya berperilaku defensif bahkan menyerang, dan
terkadang secara tidak adil, pendekatan/metode lainnya.
Nah, kalau perkaranya sudah sampai kepada urusan nilai, lain
ceritanya. Pasti sebagai mahasiswa, akan berusaha cari jalan paling
aman. Lha, kalau kemudian ketika meja hijau, dosen pengujinya adalah
dari 'agama' yang berseberangan, bagaimana dong? Dengan bijak, si
dosen dari 'agama' yang terakhir berkata, diamkan saja. Karena sebuah
pertanyaan yang benar, bisa mendapat jawaban yang salah dan benar.
Tapi, kalau pertanyaannya sudah salah, mau dijawab bagaimanapun juga
pasti salah.
Gitu deh jadinya. Kelihatannya semua urusan jadi makin buram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar