Kamis, 04 Desember 2014

INTELEKTUALITAS YANG DEWASA

Saya begitu riang gembira ketika membaca sebuah istilah di dalam lembaran fotokopian yang saya dapat untuk salah satu mata kuliah. Ada sebuah istilah yang dinamakan 'kripto-religius' John W.M. Verhaar, SJ. Istilah itu ia pakai untuk merujuk pada sifat-sifat kultural yang melekat pada sebuah jabatan. Jabatan yang ia maksud di sini dimisalkan jabatan 'profesor' yang selalu dianggap sebagai ahli dalam suatu bidang. Ahli-nya si profesor itu bukan saja karena ia memang benaran ahli tapi lebih karena ia dianggap ahli. Lha, ini kan repot. Karena profesor itu sampai pensiun-pun akan terus dipanggil profesor. Sementara, yang namanya manusia kan tidak pengen libur, pensiun, dan berleha-leha di usia senjanya. Wajar jika sang profesor kemudian tidak lagi melakukan riset-riset sesuai dengan keahliannya. Tapi, tetap saja ia dipanggil dengan sebutan profesor dan di dalam sebutan itu melekat pula atribut keahliannya. Maka ia pun selamanya, sampai mati, dianggap ahli. Itulah kira-kira penjelasan dari sifat-sifat kultural yang 'kripto-religius'.

Mabok
Ke-rianggembiraan-an saya ketika menemukan istilah 'kripto-religius' itu masih terkait dengan curhatan saya dan beberapa kawan di sebuah kelas metode penelitian. Memang bukan hal baru, kalau dua kubu metode penelitian, kuantitatif dan kualitatif selalu saling bersaing, saling menjatuhkan, saling mengejek, saling menjelekkan, dan saling menunjukkan kelemahan metode lawannya. Kalau hanya dalam tataran persaingan saja sih tidak masalah. Menjadi masalah ketika salah satu pelaku/penganut ternyata memiliki atribut kekuasaan di dalam sebuah lembaga pendidikan. Seperti yang terjadi di kampus saya tersebut.

Hari pertama bertemu dengan petinggi kampus, kami ditekankan agar membuat penelitian/tesis yang punya manfaat bagi masyarakat banyak. Sebagai contoh penelitian/tesis yang dianggap tak berguna adalah penelitian-penelitian content analysis. “Apa gunanya diteliti satu teks atau kartun di satu media massa bagi masyarakat banyak?” begitulah logika berpikir yang diajukan kepada kami. Lebih lanjut, penekanan terhadap gunanya penelitian itu juga diajukan oleh seorang penyandang gelar akademik tertinggi di kampus. Merujuk pada dogma-dogma yang dijejalkan pada kami oleh para nabi itu, maka kami kemudian tersentak dan terkaget-kaget ketika muncul dogma yang lainnya.

Di kelas metode penelitian berlawanan, kami justru diminta untuk mendalami suatu kajian dan menjadikannya sebagai bahan proposal untuk nanti diteliti. Lha, itu artinya kami diminta untuk melakukan hal yang berseberangan dengan dogma-dogma sebelumnya. Mendalami segala tetek bengek sebuah fenomena entahkah dalam bentuk pemberitaan atau suatu gejala sosial, baik kajian historis, ontologis, dan lain-lainnya. Jika merujuk pada paham yang lainnya, apa guna kajian-kajian itu bagi masyarakat? Itu kan seperti ngecap yang enggak penting dan tak berguna.

Karena itu, saya pun curhat pada pengasuh mata kuliah yang menganjurkan kami untuk mengecap. “Mas, saya jadi mabok karena mendengar penjelasan-penjelasan tersebut,” ujarku. Bingung kan kalau kedua agama itu sama-sama memberikan penjelasan yang paling masuk akal menurut mereka?

Jadilah Dewasa!
Saat ini, saya sih sudah memutuskan akan menganut agama yang mana. Namun, itu bukan permasalahan utama yang ingin saya paparkan di sini. Keribetan yang kami terima sampai serasa mabok, itu bermula pada satu perkara perilaku para kaum intelektual yang ada di kampus.

Mari merunut dari sifat-sifat kultural kripto-religius yang dikemukakan oleh Verhaar. Saya pun melekatkan sifat-sifat tertentu pada para dosen yang sudah bergelar akademik yang serba mentereng itu. Hasilnya, yang ada di dilam pikiran saya, ketika dosen x mengatakan a, saya percaya. Karena dia kan ahli, maka dia pasti benar. Lalu, ada pula dosen y yang mengatakan b. Dengan embel-embel gelar akademik yang mentereng pula, maka saya pun merasa wajib percaya karena, lagi-lagi gelar itu saya asosiasikan sebagai seseorang yang ahli dalam bidangnya. Ya wajar kalau saya jadi mabok, puyeng, dan bingung.

Yang tak wajar, orang-orang ahli ini. Kalau merujuk pada tulisan Verhaar maka para ahli/kaum intelektual ini harusnya memiliki kedewasaan intelektual. Dalam hal ini, seorang intelektual yang dewasa tidaklah boleh bersifat otoriter apalagi sampai menghina bahkan menutup kemungkinan berkembangnya pendekatan/metode yang berseberangan dengan yang ia anut. Kaum intelektual yang dewasa harusnya mampu hidup selaras dan menghargai perbedaan pendekatan yang dipergunakan oleh orang lain. Situasi yang kontrastif yang muncul, oleh kaum intelektual yang dewasa akan membuatnya mengalami ilham yang baru. Bukannya berperilaku defensif bahkan menyerang, dan terkadang secara tidak adil, pendekatan/metode lainnya.

Nah, kalau perkaranya sudah sampai kepada urusan nilai, lain ceritanya. Pasti sebagai mahasiswa, akan berusaha cari jalan paling aman. Lha, kalau kemudian ketika meja hijau, dosen pengujinya adalah dari 'agama' yang berseberangan, bagaimana dong? Dengan bijak, si dosen dari 'agama' yang terakhir berkata, diamkan saja. Karena sebuah pertanyaan yang benar, bisa mendapat jawaban yang salah dan benar. Tapi, kalau pertanyaannya sudah salah, mau dijawab bagaimanapun juga pasti salah.

Gitu deh jadinya. Kelihatannya semua urusan jadi makin buram.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar