Kamis, 30 Oktober 2014

GURU

Kafe yang tadinya sepi, tiba-tiba diserbu serombongan anak muda berpakaian putih-hitam. Seorang di antara mereka tampak lebih tua dan berbusana berbeda. Dugaanku mereka ini berasal dari salah satu sekolah tinggi yang memang ada beberapa di sekitar kafe tempatku duduk saat itu. Ngapain mereka di sini? Bukan rahasia lagi kalau beberapa dosen memang lebih senang melakukan pertemuan di luar kampus, mungkin agar lebih santai. Karena jumlah mahasiswa yang cukup banyak, dugaan awalku mereka sedang bimbingan untuk tugas akhir.





Tak berselang lama setelah rombongan itu duduk dan memesan minum, akupun tahu apa yang mereka kerjakan. Bukannya mencuri dengar, tapi suara menggelegar si dosen membuat siapapun di ruangan itu tahu kalau mereka sedang mengadakan rapat natal. Dari suara si dosen, kudengar pulalah bahwa ia kecewa karena ketua panitia yang sudah ditunjuk tidak hadir pada pertemuan tersebut. Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa si ketua mungkin terlambat. Dosen itu kemudian mengatakan satu hal yang membuatku terbelalak. Katanya, "Kalau mahasiswa tidak boleh terlambatlah. Kalau saya, boleh, saya kan dosen."

Jiwaku mendidih mendengar ungkapan seperti itu. Apa seumur hidup ia tak pernah dengar istilah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari"? Alasan apa dia menjustifikasi posisi seorang dosen boleh terlambat? Feodal sekali cara berpikirnya. Mungkin baginya mahasiswa itu seperti anak buah yang mesti patuh menunggu. Ia mungkin tidak nalar kalau apa yang ia tunjukkan (keterlambatannya) menjadi perilaku yang ditiru oleh mahasiswanya. Seperti yang terjadi saat itu.

Karena sang ketua tidak juga muncul, maka itu ia mulai menanyakan satu per satu mahasiswa, yang seluruhnya perempuan, untuk mengajukan diri sebagai ketua. Tampaknya tak ada yang bersedia. Si dosen pun mencoba untuk menunjuk salah satu di antara mereka. Sang mahasiswa menolak dengan alasan tidak tahu apa-apa. Jawaban khas mahasiswa, tentu saja. Itu aku bisa mengerti. Tapi yang aku tak terima adalah reaksi si dosen pria itu. Katanya, "Kalau sudah tahu banyak, kamu tidak di sini, tapi di Amerika. Karena kita bodoh-bodohnya maka kita ada di sini."

Reflek kepalaku menoleh ke arah tempat duduk mereka dan menatap langsung ke arah si dosen. "Dasar inlander, otak budak!" makiku dalam hati. Perkataan macam apa yang keluar dari mulut seorang yang baru beberapa menit yang lalu menunjukkan mental feodalnya. Ia meletakkan posisi diri sebagai orang bodoh, itu haknya. Tapi dengan berbicara seperti itu di hadapan mahasiswanya, jelas akan merusak karakter peserta didik.

Tak lama berselang, akhirnya rapat itu selesai. Ketua panitia muncul. Seorang laki-laki berwajah ramah. Kudengar ia manut pada semua perkataan dosennya. Hadir juga di antara para mahasiswa itu, seorang senior mereka, perempuan yang merupakan ketua panitia natal tahun sebelumnya. Tidak sampai setengah jam, rapat itu usai. Di penghujung rapat, si dosen memberikan satu motivasi yang membuatku ingin mencelupkan kepalanya ke dalam air comberan. Ia berkata kalau ketua natal yang sekarang harus sukses. Sampai di situ, tak ada masalah. Lanjutnya, "Kalau tahun lalu saja, ketuanya perempuan, bisa sukses, apalagi tahun ini, kamu kan laki-laki." Mendidih darahku dengan perkataan itu.

Tak ada manusia yang sempurna. Ada saja yang masih memuja-muja nilai-nilai yang bersifat diskriminatif. Tapi, jarang sekali ditemui dalam satu individu sifat feodal, inlander, dan bias gender. Parahnya lagi, dia seorang dosen. Entahlah, mau dibawa ke mana pendidikan tinggi kita saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar