Jumat, 07 Maret 2014

Siapa Kamu dari Nama Belakangmu...


Ingat sebuah adegan dari film serial Superman yang tayang waktu jaman SMP, dibintangi Dean Cain (Clark Kent/Superman) dan Teri Hatcher (Louis Lane). Waktu mereka berencana menikah, Louis berkata bahwa ia tak akan menggunakan nama belakang Clark. Alasannya dapat ditebak, Louis itu perempuan mandiri. Ia wartawan yang berani mendobrak segala jenis rintangan yang menghalangi dirinya dan sumber beritanya. Sayangnya, ia berada di film yang salah, sehingga alih-alih menginspirasi agar perempuan menjadi kuat dan tegar, ia muncul sebagai sosok yang selalu diselamatkan (digendong dari pesawat yang meledaklah, dilindungi dari pecahan bom-lah, dll). Tapi, adegan itu adalah salah satu titik penting dalam hidup seorang anak perempuan remaja tentang kesetaraan gender.


Yang diungkapkan oleh Louis itu adalah kesetaraan yang disuarakan oleh perempuan barat yang menurut adat dan hukum di sana harus  menggunakan nama belakang suaminya, menggantikan nama belakang ayahnya ketika telah menikah. Pada saat yang sama di Indonesia, sekitar pertengahan 1990-an, perempuan di sini sudah cukup mandiri. Di sini, hanya anak-anak perempuan bermarga yg menurunkan nama belakang (baca: marga/fam) bapaknya. Aku beruntung memiliki bapak (yang karena satu pengalaman tak mengenakkan tentang penggunaan marga), memutuskan untuk tak menurunkan marganya kepada kami anak-anaknya.

Permasalahan kemudian muncul ketika (entah siapa yang memulai), istilah penggunaan nama belakang bapak mulai populer, bahkan di kalangan non-marga. Apakah sekadar gaya-gayaan, atau untuk tujuan politis, agar lebih dikenal karena bapaknya pejabat x atau turunan y. Tentu itu sah-sah saja. Bagaimanapun juga dia memakai nama belakang bapaknya sendiri, bukan bapak orang lain. Tetapi bagi saya, itu menunjukkan langkah mundur kemandirian perempuan. Meletakkan nama belakang bapak, seolah-olah ia sendiri tidak mampu menunjukkan siapa dirinya tanpa embel-embel nama bapaknya.

Selain nama bapak, latah menggunakan nama belakang suami juga menjadi semakin populer. Saya curiga ini karena publikasi media untuk menyebutkan nama ibu-ibu pejabat yang hobi menyantelkan nama belakang suaminya. Tentu saja, kita masih ingat dengan Ibu Tien (Soeharto). Dengan struktur top-down ala PKK, tentu tak sulit menurunkan tren penyebutan nama Ibu X (Y: nama suami) di kalangan para pejabat. Latah ibu-ibu pejabat pemerintah sepertinya menular ke kalangan rakyat jelata (yang kaya maupun miskin). Berlomba-lombalah perempuan menempelkan nama suami di belakang namanya sendiri. Maka, makin panjang (dan beratlah beban) nama yang dipikul oleh perempuan. Sudahlah nama bapak, ditambah pula nama suami. Bagi kalangan non-marga/fam, mungkin kedengaran tidak aneh. Misalnya Lidia Suwiryo (nama bapak) Budiman (nama suami). Yang bahaya dan paling aneh kalau tren menempel nama belakang juga dilakukan oleh perempuan bermarga/fam. Lidia Aritonang (marga bapak) Nainggolan (marga suami). Di manalah ada aturannya boleh bermarga dua? Bagaimana pula kalau nanti suaminya meninggal atau cerai. Apa mau ditempel lagi marga suami berikutnya? Oalah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar