Minggu, 06 Mei 2012

The Thoughts


  • Many people hopes today will be better than yesterday, and they ask for luck. I said, today will be better because we work harder than yesterday, so get your ass off and go to work, harder!
  • Ternyata, jika masih hidup di dunia yang sama, dengan permasalahan yang juga masih sama, mustahil untuk berkata, "Wah, aku sudah selesai dengan masalah itu." 

AKU RINDU RUMAH BESAR IBUKU


Ini bukan soal kekayaan ibuku sehingga ia mampu membangun rumah besar itu. Perkara ini muncul di kepalaku karena pagi ini aku terbangun dengan satu persoalan yang amat menggelisahkan : di mana nanti akan kuletakkan seluruh barang-barangku di rumah kontrakan yang baru?

Kamar kosku yang sekarang saja sudah penuh sesak. Sementara kamar di kontrakan yang baru, ukurannya lebih kecil daripada yang sekarang. Di mana akan kuletakkan buku (segala ukuran, mulai ukuran buku saku sampai ukuran buku kasur), pakaian, sepatu, tas, dan segala pernak-pernik lainnya. Apakah ada tempat untuk leyeh-leyeh, yoga atau jingkrak-jingkrak? Semua kegiatan itu tak ada masalah di kamar yang disediakan ibuku di rumahnya. Tapi di sini, aku harus putar akal agar bisa menyesuaikan dengan ukuran 3 x 3 meter kamar kosan.


Di kontrakan baru, leyeh-leyeh tak mungkin lagi bisa dilakukan di dalam kamar. Untunglah masih ada balkon yang menjadi alasanku memilih kontrakan itu. Sementara untuk yoga, yah mungkin aku bisa lakukan di ruangan lain. Dan jingkrak-jingkrak? Ini agak sulit, aku tak terbiasa menunjukkan edisi 'diriku jingkrak-jingkrak' di ruang publik. Mungkin nanti aku akan jingkrak-jingkrak di dalam hati saja.

Aku ingin menjadi seperti kura-kura, tanpa wajah kura-kura yang mirip Bruce Willis itu. Hanya agar aku bisa membawa ke mana-mana kamar tercintaku di rumah ibu, berikut isinya : lemari besar, tempat tidur, sepeda statis, meja dan kaca rias, dan yang paling penting ukurannya. Hanya saja, entah kura-kura bisa atau tidak, sebenarnya aku mau membawa seluruh isi rumah itu, termasuk halaman depan yang cukup luas untuk lapangan futsal dan halaman belakang yang bisa menampung lusinan orang saat barbecue-an, dan terutama dapur dan segala isinya (aku harus berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan kulkas dua pintu yang akhirnya dibeli ibu empat tahun yang lalu dan kompor gas dengan tabung biru yang warnanya lebih menenangkan hati ketimbang tabung hijau yang seperti bom waktu itu).

Nyatanya, karena amat menginginkan dapur, ruang tamu, dan halaman (di rumah yang baru aku mengasosiasikannya ke dalam bentuk balkon yang cukup luas di lantai dua), aku mengalah dengan ukuran kamar yang lebih kecil dari yang sekarang. Walau nanti akan bersesak-sesak di kamar, setidaknya, kalau sedang sumpek, aku bisa melarikan diri ke ruangan lain, bukannya berkeliling sampai mabok di kamar berukuran 3 x3 meter. Aku menginginkan sebuah rumah yang bukan all in-semuanya berada di sini, seperti kamarku yang sekarang. Di ruangan 3 x 3 meter itu, 1/2 x 1 meter adalah dapur merangkap ruang makan, 2 x 1 1/2 meter ruang belajar, dan 1 x 1 1/2  meter ruang tidur merangkap ruang tamu. Sungguh bukan tempat ideal seperti yang ada di kepalaku.

Mungkin karena ibuku terlalu sempurna, dengan segala kekurangannya. Ia selalu ingin menyediakan rumah yang menurutnya pantas disebut rumah. Dulu, saat kami masih tinggal di rumah dinas guru yang ukurannya paling besar di antara rumah yang lain karena gabungan dari dua rumah, ibu selalu merasa tak punya rumah. Padahal kalau ia mau menata pikirannya, dia sudah punya rumah-rumah lain yang miliknya sendiri, hanya saja tidak di dekat Medan. Ia selalu merasa minder di antara kalangan pergaulannya dan saudara-saudaranya. Aku yang dibesarkan dengan cukup baik olehnya, dengan segala kekuranganku, menganggap bahwa ibuku terlalu berlebihan soal keinginannya untuk membangun rumah baru, sampai ia membeli sofa superbesar seharga setahun uang kontrakan rumahku yang sekarang. Walau dengan kekesalan di sana-sini, aku tetap mensyukuri bahwa keinginanku untuk memiliki kamar berukuran 4 x 3 1/2 meter dikabulkan. Dan saat pindah, aku bingung harus melakukan apa terhadap ruangan sebesar itu. Mungkin itu yang dinamakan nafsu besar tenaga kurang. Untungnya, di rumah ibu, ada banyak barang yang dapat kuangkut ke dalam kamar, termasuk sepeda statis yang juga hasil perjuangan negosiasi yang cukup panjang dengan ibu.

Tak sampai setahun menempati kamar itu, aku pindah ke Jogja, dan terdampar di kamar 3 x 3 meter, tanpa halaman, tanpa ruang tamu, tanpa dapur, dan pemiliknya yang terkutuk itu. Jadi, keputusan untuk mengontrak kamar kecil di dalam sebuah rumah yang dilengkapi ruang tamu, dapur, dan balkon pengganti halaman, adalah keharusan. Sampai aku pindah nanti, mungkin setiap pagi, alih-alih terbangun dengan inspirasi tentang isi paperku yang masih waiting list 7 buah, aku akan terbangun dengan nyut-nyut di jidat karena memikirkan bagaimana caranya mengatur semua barang dari kamar lama ke kamar yang baru.