Senin, 16 April 2012

PERMOHONAN KEPADA PARA PENUNGGU POHON JATI

Kemarin sore aku menerima sms dari salah seorang anak kos, isinya begini : "Jangan heran kalo kosan kita semakin panas, karena iklim mikro yang semula terbentuk kini hampir hilang karena ulah tangan-tangan yang tak tahu dosa".

Agak kaget juga aku membacanya. Memang, sudah dua hari ini cuaca panas adalah topik yang paling sering muncul di kosan. Bukannya udara Jogja baru dua hari ini saja terasa panas. Tapi, khusus di kos kami, selalu terasa adem. Di antara sederet komplain terhadap rumah tinggal kami itu, ada dua hal yang selalu membuat adem, kulkas dan sederetan pohon jati yang selalu mengirimkan angin semriwing ke dalam rumah.



Ternyata, ulah tangan-tangan tak tahu dosa yang dimaksud di dalam sms tadi adalah penebangan pohon-pohon jati di halaman depan. Entah mimpi apa si penebang jati sehingga terinspirasi untuk membabat pohon tak berdosa itu.

Karena merasa tak senang, ternyata gerakan protes penebangan pohon jati sudah dilancarkan oleh dua orang anak kos. Pertama, si pengirim sms, Yenni. Ia bertanya mengapa pohon jati itu ditebangi. Alasan yang diajukan ternyata semakin bikin gerah hati. Karena daun pohon jati selalu berguguran sehingga kalau tidak dibersihkan kosan tampak seperti kuburan. Masalahnya, tidak ada yang protes kalau daun jati itu berguguran, toh memang sudah masanya rontok. Kalaupun kosan seperti kuburan, lebih baik, daripada panas seperti neraka.

Lalu pemerotes kedua datang dengan sedikit alasan mistik. Ke mana para penghuni pohon jati kalau 'rumah'nya ditumbang? Tampaknya si penebang pohon semakin tidak tertarik dengan alasan itu, mungkin dia memang tak percaya mistik atau dia adalah bos-nya setan sehingga tidak takut kepada segala jenis roh-roh penunggu pohon.

Sore ini, saat mencoba mendinginkan badan di sofa di depan kamar, ada laporan kalau isteri si penebang pohon merasa bahwa udara semakin panas setelah pohon-pohon jati itu ditumbang. Hello!!! Mau komentar apa ya? Terserahlah, aku tak ingin mengumpat di blog ini.

Habis magrib, udara semakin panas menjadi-jadi. Entah harus komplain kepada siapa. Hanya berharap kalaupun ada penghuni pohon jati yang merasa terusik karena rumahnya ditumbang, aku mau bilang, kami sama seperti kalian, merasa tak senang pohon itu ditumbang. Kalau ingin membalas dendam, balaskanlah sekalian kekesalan kami pada si penebang pohon.


Kamis, 05 April 2012

ANUGERAH

Mudah sekali untuk berbicara anugerah pada saat-saat perayaan keagamaan seperti hari ini. Jumat Agung, orang-orang merasa bahwa anugerah telah dicurahkan padanya, besar dan dahsyat. Orang bersyukur, memuji Tuhan, dan beribadah. Maaf, aku tak percaya pada anugerah yang transedental seperti itu.

Mungkin karena hidup di ranah realistis, walaupun, percaya tak percaya, aku pernah melihat hantu, makanya sesuatu yang transenden sulit untuk diterjemahkan. Sehingga hanya bisa dirasai dan diresapi, bukan untuk dibicarakan atau didiskusikan.


Keajaiban mungkin saja terjadi. Tentu saja, uang dadakan adalah salah satunya. Tapi, aku juga tak percaya keajaiban hujan uang. Itu terlalu muskil. Job dadakan yang dibayar mahal, teman yang tiba-tiba nraktir dalam rangka ulang tahun, dll. Miracle does happen, and shit does too. Jadi, hidup ini berimbang.

Namun, aku tetap percaya anugerah. Anugerah yang berwujud. Sesuatu yang terjadi tanpa diketahui alasannya. Dan karenanya, aku mendapatkan sesuatu yang baik.

Mahluk berbulu yang mendengkur di bawah dadaku saat ini mungkin salah satunya. Seekor kucing comel yang kemarin siang mengikutiku masuk ke kamar kos dengan suara gemerincing karena ada kerincingan sebesar setengah ukuran kepalanya bergantung di leher kucing kecil itu. Malamnya, ia masih betah di kosan. Dan saat aku masuk kamar, ia mengikutiku. Mungkin karena lapar atau kedinginan, makanya ia setia mengikuti ke manapun kakiku melangkah di kamar berukuran 3 x 3 meter itu. Ia berhenti mengekor saat aku masuk ke kamar mandi dan kupercikkan air ke wajahnya. Ia lalu lari terbirit-birit. Tapi tak lama kemudian, ia mengintip dari balik pintu kamar mandi yang kubiarkan terbuka.

Setelah mandi, aku membuka bungkusan ikan bakar yang sudah kubeli sebelumnya. Kucing itu mengikuti ke manapun tanganku bergerak. Ia pasti mau mencicipi ikan itu, pikirku. Akhirnya, kepala dan sesobek daging ikan kuletakkan di kertas agar dia berhenti mengikuti tanganku. Ia endus ikan itu sebentar, lalu ia meneruskan aktivitasnya mengikuti tanganku bergerak. Ternyata ia tak ingin makan. Lalu, ia memanjat kakiku dan menyeruduk daguku dengan wajahnya dan mendekur keras. Ternyata si comel itu hanya ingin dielus. Dengan susah payah, aku selesaikan makan malam. Karena aku masih bergerak ke sana ke mari, si comel mencari kehangatan di tempat lain, ke atas laptopku. Kuangkat dia dari atas laptop, dua kali, dan akhirnya aku menyerah dan memindahkan benda hangat itu ke atas meja agar tak ditiduri kucing kecil itu.

Setelah malamnya bergulat antara memasukkan atau membiarkan si comel tidur di lampin yang kusiapkan di belakang kulkas yang hangat, aku terbangun pagi-pagi buta. Saat kubuka pintu, kucing itu sudah terjaga di atas kain alas tidurnya. Lalu ia mengikuti masuk kamar, mengeong-ngeong, dan mengendus-endus. Kukelurkan tulang ikan bekas tadi  malam dari tempat sampah. Aromanya masih segar. Langsung saja si comel menyeret-nyeret tulang ikan itu ke berbagai penjuru kamar. Alhasil, kamar yang memang sudah seminggu tak kupel itupun semakin kotor. Mau tak mau, walau malas, pagi menjelang pergi ke misa Jumat Agung, aku mengepel lantai kamar, sembari diperhatikan oleh si comel dari atas tempat tidurku.

Kucing kecil itu kukeluarkan dengan paksa saat aku pergi ke misa. Aku tak ingin ia buang air di atas barang-barang di kamar. Karena kalau ia melakukannya, aku akan kesal sekali dan pasti ia akan mendapat satu atau dua jeweran di telinganya.

Sepulang dari misa, comel sudah menunggu di bawah kursi di depan kamarku. Mengeong memberi salam. Ia tampak bersemangat, bahkan memanjat bajuku agar bisa merasakan kehangatan badanku. Kucing ini benar-benar butuh kasih sayang. Kukunya menancap-nancap saat ia duduk atau tiduran di lipatan kaki atau tanganku. Itu gerakan khas anak kucing saat sedang menyusu pada ibunya. Tampaknya kucing jantan itu masih baru saja disapih induknya. Setelah semua aktivitas pagi selesai, aku mengambil posisi di tempat tidur. Kucing kecil itu sudah menunggu dengan santai di atas bantalku. Ia langsung mengambil posisi di lipatan tanganku dan mendengkur keras dan tidur.

Sudah lama betul aku tak merasakan kucing, memeluk, membelai, mendengar dengkurannya, melihat matanya yang bulat berbinar-binar. Sejak balita, aku dan keluargaku selalu punya kucing sampai kami pindah ke rumah yang baru sekitar satu setengah tahun yang lalu. Selalu ada perasaan tenang saat memandang kucing tidur, perasaan dibutuhkan saat kucing mengeong, entah karena ingin dibelai atau ingin diberi makan. Dengkuran, tatapan bahkan nafas beraroma ikan dari seekor kucing, sangat kukenali. Sangat familiar. Seperti suasana di rumah. Sesuatu yang kurindukan tanpa sadar di lubuk hatiku yang paling dalam.

Kedatangan si comel sepertinya membayar sedikit kerinduan akan rumah. Itulah yang kusebut anugerah. Ia datang tanpa alasan dan membawakanku suasana rumah yang kurindu. Lantas di mana Tuhan? Ialah yang mengutus si comel. Tak kuminta, tak kuharap, tapi kubutuhkan. Dan Tuhan berinisiatif untuk memberikannya. Itulah wujud Tuhan dalam imajiku. Bukan wujud ember penampung uneg-uneg remeh-temeh tak penting, tapi yang menjawab kebutuhan terdalam manusia, bahkan tanpa diminta, dan dengan cara-cara yang paling tidak terpikirkan.