Rabu, 21 Desember 2011

ARE WE READY TO BE DIGITIZED?

Judul tulisan di atas mungkin bisa dikaji secara teoritik dan pasti terkesan ilmiah. Tapi tidak, aku enggak akan mengubah blok ini menjadi lembar-lembar makalah akademik. Ini cerita tentang digitalisasi yang lagi kita gembar-gemborkan.

Dua hari yang lalu, aku pergi ke salah satu kantor bank swasta di Yogyakarta dengan tujuan memasukkan uang listrik kos-kosan ke dalam rekening sekaligus mencetak buku tabungan yang sudah 6 bulan tak terkena tinta printer dan meminta kalender duduk yang bisanya diterbitkan dengan eksklusif oleh bank yang bersangkutan. Karena sudah agak mepet dengan jadwal kegiatan lainnya, aku naik taksi dan kena argo 10 ribu perak. Setelah mengantri beberapa menit di barisan setoran cepat (<10 juta), aku menyerahkan slip penyetoran, buku tabungan, dan uang dua ratus ribu. Si petugas lantas berkata, kalau aku akan dikenai biaya administrasi sebesar 5 ribu rupiah. Kenapa? Karena rekeningku berasal dari luar kota Yogyakarta. Ya iyalah, aku kan bukan penduduk Jogja, jelas punya rekening luar kota dan tak berniat membuka rekening di kota ini. Permasalahannya, apa gunanya sistem online yang digadang-gadang oleh semua bank swasta dan pemerintah. kalau masih saja dikenakan biaya administrasi seperti ini?

Selesai satu urusan, aku pun pindah ke bagian pelayanan pelanggan. Aku minta kalender duduk, si petugas meminta menunjukkan buku tabungan. Dan ternyata, aku tak bisa mendapat kalender tersebut karena rekeningku berasal dari luar kota Yogyakarta. Semakin masamlah mukaku yang sudah kelaparan karena belum sarapan dari pagi.

Apalah guna menggadang-gadang label "ONLINE" kalau sistem administrasi dan pelayanan masih seperti di jaman The Flinstone. Kalau toh sama saja seperti sebelum online, lebih baik aku menabung di BPR atau credit union saja. Sudahlah administrasi bank 10 ribu/bulan, layanan ala kadarnya, online-nya cuma merek tanpa jelas penerapannya. Lebih baik kembali saja ke jaman manual.

Lagi, tadi pagi. Setelah secara sepihak pemilik kosan memindahkan sistem pembayaran listrik menjadi prabayar, aku harus membeli rekening listrik ke mesin ATM di salah satu bank swasta lainnya. Pagi-pagi, lagi belum sarapan, aku dan seorang teman kos menggenjot sepeda ke ATM.  Di salah satu ATM, kami gagal bertransaksi. Di tengah padatnya arus transportasi Jogja di pagi hari, kami kembali mengayuh sepeda ke mesin ATM di tempat lain. Transaksi pembelian pulsa berhasil dilakukan, ketika satpam menghampiri kami dan bertanya apakah kami berhasil melakukan transaksi. Tentu dengan wajah sumringah kami bilang, "Ya berhasil." Sementara orang-orang lain yang mengantri gagal bertransaksi karea sistem bank tersebut sedang dan telah down sejak sehari sebelumnya.

Pasti senyum kami tak akan mengembang kalau tahu bahwa ternyata transaksi kamipun gagal, seperti para pengguna ATM pagi itu. Dan sorenya, belum lagi perkuliahan terakhir bubar, aku sudah mendapat sms oleh salah seorang anak kos yang memberitahu kalau pulsa listrik sudah sangat tipis. Kalau sudah begini, teknologi digital justru menjadi beban, menyita waktu, pikiran, dan emosi. Sistem kita belum siap, tapi institusi (swasta dan pemerintah) sudah petentengan mau berdigital ria. Ngaca donk!

Rabu, 14 Desember 2011

HOW TO TELL A LOVE STORY

Empat hari setelah aku menonton konser Richard Marx di Jakarta, rasanya masih sulit bagaimana menceritakan pertunjukan musik itu. Tentu, dengan metode 5W + H, aku bisa bercerita banyak. Konser tersebut mengambil tema Richard Marx World Tour 2011, bertempat di Gandaria City, Jakarta. Penonton diperkirakan berjumlah 1.600 orang, terbagi atas tiga kelas, Diamond, Emerald, Sapphire. Konser dibuka oleh penampilan Ari Lasso yang membawakan 6 lagu, Rahasia Perempuan, Arti Cinta, Penjaga Hati, Perbedaan, Hampa, Misteri Ilahi, dan medley Kangen dan Kamulah Satu-satunya. Sementara itu, Richard Marx membawa 19 lagu, di antaranya Endless Summer Night, Satisfied, Hazard, dan tembang pamungkas Right Here Waiting. Konser yang dimulai sejak jam 20.30 tersebut berakhir jam 23.00.


Is that all? Tentu tidak. Konser itu jelas bukan sekadar deretan jumlah dan judul lagu. Buatku, konser itu adalah sebuah perjalanan jiwa, mundur kembali ke masa lalu di mana lagu-lagu sang rockstar menjadi soundtrack hidupku. Bagaimana menceritakan konser tersebut tanpa melekatkannya pada perasaan yang kumiliki pada sang penyanyi? Tentu tak mungkin.

Di antara ribuan penonton, di deretan bangku terdepan kelas paling belakang, dan terkadang harus menjulurkan leher sepanjang mungkin agar bisa melihat sosoknya langsung bukan pada citra yang terlihat di layar raksasa. Berusaha melihat sedetail mungkin wajah sang pencipta lagu yang sudah tak muda lagi. Dan yang terpenting menikmati setiap detik denting gitar atau piano yang dia mainkan dan suaranya melantunkan syair-syair lagu.

Lebay! Yup! Tapi begitulah cinta. Bukankah tak ada rumusan pakem dari cinta. Kita bisa terhanyut tanpa tahu sedang hanyut. Begitulah aku menikmati konser tersebut. Saat orang-orang di sekelilingku sibuk mengambil gambar atau merekam lagu Richard Marx, aku duduk manis mendengarkan dan melihat sosok yang ada puluhan meter di depanku itu. Begitulah ceritaku tentang konser penyanyi yang suaranya adalah cinta pertamaku itu.


Kamis, 08 Desember 2011

IT'S NOT A CONCERT, IT'S A FIRST LOVE

Selama 28 tahun hidup, tak pernah sekalipun aku menonton konser musik, entah itu gratis atau berbayar, artis luar negeri atau Indonesia. Mungkin karena aku selalu menghindari keramaian, konser, terutama musik, bukan salah satu hiburan favoritku. Sampai sekitar sebulan yang lalu, saat sedang berselancar ke dunia maya mencari lagu-lagu lawas yang biasanya lebih asyik didengar daripada lagu terkini. Dan sampailah aku ke salah satu nama yang kuakrabi sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Karena iseng, akupun membuka beberapa situs untuk membaca kabar terkini penyanyi yang 20 tahun lebih tua dariku itu. Dan ternyata, tak sampai sebulan lagi, ia akan mengadakan konser di Jakarta. Satu yang langsung terbersit di kepalaku, "Aku harus menonton konsernya"


Sebelas tahun yang lalu, tepatnya di pertengahan 2000, usiaku 17 tahun, kelas 2 SMA, saat itu ada banyak penyanyi, terutama boyband yang sedang naik daun. Di tv dan radio, suara mereka kerap terdengar. Tapi takdir berkata lain, mereka bukan cinta pertamaku. Suatu hari, ibuku mengajak belanja di kota Binjai. Iseng, kami memasuki sebuah toko elektronik yang juga menjual kaset. Waktu itu, cd dan mp3 belum booming di Indonesia. Iseng, aku meminta ibu membelikan dua buah kaset. Yang satu berupa album kompilasi dan yang satunya, album Greatest Hits Richard Marx.

Tak tahu siapa dia, apa lagunya, terkenalkah dia, dll, aku membeli album itu. Dan tentu saja, album itu bukan favoritku. Pertama, aku tak akrab dengan tembang-tembang yang ia nyanyikan, kedua, beberapa lagu di album kompilasi itu terlalu berat buatku yang hidup di generasi boyband.

Aku jatuh cinta setelah sekian lama album Richard Marx nangkring di tempat kaset di ruang tamu. Di satu masa ketika SMA, aku sering menderita sakit kepala mahadahsyat sampai pernah harus permisi pulang dari sekolah. Biasanya setelah mendapat bantuan medis dari klinik, aku tidur di kamar ibuku, menanti obat bereaksi dan mata mengantuk. Di sisi atas tempat tidur ibuku, ada sebuah pemutar kaset recorder yang dulunya adalah tape yang menghiasi mobil bapakku. Sampai suatu hari terjadi kecelakaan, mobil dan bapakku pun tewas. Yang tersisa dari mobil dan bapakku hanyalah tape tersebut.

Di tape mantan mobil mendiang bapakku itulah aku memutar kaset Greatest Hits itu. Tape itu adalah jenis yang bisa memutar secara simultan side A dan side B dan seterusnya. Jadi, ketika aku menunggu mata tertidur, layap-layap kudengar alunan suara Richard Marx, kadang di tembang yang melow, kadang nge-beat. Ada kalanya aku terbangun, kepalaku yang tadinya terasa berdenyut-denyut, dengan bantuan obat penenang dosis tinggi, mereda sakitnya. Dalam keadaan sakau karena CTM, aku mendengar sayup-sayup nada-nada lembut dari beberapa lagu yang kemudian hari aku tahu begitu mendunia seperti Right Here Waiting.

Namun, aku tak pernah benar-benar jatuh cinta pada lagu tersebut. "Thanks to You", lagu yang tampaknya ia persembahkan untuk sang ibu, jauh lebih menghanyutkanku. Mungkin karena dibesarkan tanpa terlalu menunjukkan rasa keakraban, sulit sekali untuk mengungkapkan rasa terimakasih pada ibuku, yang pada masa itu sedang melewati fase-fase penuh perjuangan setelah kematian bapak. Ada kalanya, saat aku terkapar karena sakit kepala menyerang, ia bolak-balik dari sekolah tempatnya mengajar ke rumah untuk melihat kondisiku, entah aku sedang tertidur atau sudah bolak-balik di atas tempat tidurnya yang nyaman. Dalam lagu "Thanks to You" itu aku merepresentasikan rasa terimakasih pada ibu yang sampai saat ini belum bisa kuucapkan secara langsung.

Dari sebuah lagu, sembari menunggu obat penenang mengantarku ke dunia mimpi atau saat mataku terbangun setelah dua jam tertidur, aku semakin menikmati aliran instrumen dan suara Richard Marx. Dialah cinta pertamaku-pada karya musik, pada seorang penyanyi dan pencipta lagu.

Ketika kuputuskan menggunakan ratusan ribu rupiah untuk membeli tiket, walau di barisan paling belakang ruang pertunjukan, bukan karena aku ingin menonton konser. Lebih dari itu, aku ingin mendengar langsung, alunan suara dari cinta pertamaku. Bukan pada Richard Marx sebagai entitas manusia fisik semata, tapi bagi seseorang yang karyanya mewarnai sejarah hidupku dan  menjadi soundtrack dari kisah yang kulewati, saat aku melewati rasa sakit, saat aku ingin mengucapkan terima kasih pada ibuku. Sosok itulah yang ingin kutonton. Suara yang telah mengurai dan mengingatkan pada fase-fase terberat dalam hidupku. Suara itulah yang ingin kudengar.

Senin, 05 Desember 2011

FORGETTING: AN INSTANT METHOD TO RESOLVE PROBLEM

"When i don't like somebody, i try to not hate them. Though, i try to forget them, because they're no one to me. No one to remember, no one to think about, just NO ONE."


Status itu kutulis dua hari yang lalu dan mendapat 7 like dan 1 protes lembek dan 1 protes keras. Well, dalam rangka menghargai perbedaan dan untuk tidak memanipulasi informasi, silakan dilihat langsung ke status fb ecie ana pada tanggal 12 Desember 2011. Di sini, aku ingin menceritakan sedikit sejarah dan metode melupakan yang sudah kuanut sejak lebih dari satu dekade yang lalu.


Mengapa harus melupakan? Technically, otak manusia punya kapasitas yang terbatas untuk menyimpan memori. Kata yahoo.answer : 


"Otak manusia memiliki sekitar 50 sampai 200 miliar neuron,
tiap satu neuron berhubungan dengan 100.000 neuron lainnya sehingga membentuk 100 trilyun sampai 10 bilyun jembatan sinapsis (penghubung antar satu neuron dengan neuron lain).
Setiap sinapsis mempunyai kemampuan menyimpan jenis informasi yang berbeda sampai jumlah tertentu, jika kita asumsikan kemampuannya mencapai 256 informasi yang berbeda dan tiap neuron mempunyai 10.000 sinapsis maka total kapasitas penyimpanan informasi dalam otak kita mencapai 500 sampai 1000 tera bytes.
Namun jika level penyimpanan informasi dalam otak kita terjadi pada tingkat molekular (molekul yang membentuk sel neuron) maka tingkat penyimpanannya akan jauh lebih besar, beberapa orang memperkirakan mencapai 3,6 x 10 pangkat 19 bytes."





Lha itu besar donk. Iya, kalau kita hidup cuma dua jam. Tapi kita kan hidup sudah bertahun-tahun. Memori sebegitu sih kecil. Buktinya, kita sering lupa. Fakta ilmiah sudah disajikan. Maka aku mencoba me-recall sejarah metode melupakan yang kulakukan selama ini.


Asumsiku, dari 7 pemberi like juga punya sejarah mengapa mereka setuju untuk melupakan dibanding wasting time melewati proses memaafkan yang bertele-tele dan buang energi itu. 


Agar tulisan ini tidak ahistoris, aku coba me-recall beberapa memori di masa lalu. Alkisah ketika SMA, ada seorang teman yang kita beri nama Mr X. Jadi, ia beberapa kali berulah dan bertingkah menyebalkan. Dari hal-hal yang remeh, kemudian suatu hari ia bertingkah supermenyebalkan. Setelah mengeluarkan kata makian seperlunya, aku pun mendiamkannya. Beberapa hari berlalu, Mr X tak juga bisa dilupakan---karena dia duduk di kursi di depanku. Akhirnya pada suatu hari, setelah lelah memendam amarah, aku berusaha berbaikan. Masalah selesai? Tidak juga. Masih sering aku ditanya-tanya tentang pertengkaran yang pernah terjadi di antara kami. Setiap kali aku bercerita, maka setiap kali itu pula aku memanggil memori yang menyakitkan itu. Kemarahan, kebencian, walau sudah berapa kalipun ingin kuselesaikan selalu saja datang. Karena aku menceritakannya, karena aku mengingatnya.


Yang lebih parah datang kemudian. Mr X berulah lagi. Kali ini lebih parah dan amarahku terasa sampai mau menyemburkan api seperti di film-film kartun. Then what? Berusaha memaafkan lagi, berdamai, menenangkan hati. Dan waktu itu sudah memasuki masa ujian nasional, yang kala itu masih disebut Ebta dan Ebtanas. Menghabiskan energi untuk masalah yang sama dengan orang yang sama, it's not smart at all. Akhirnya, aku mengambil solusi ekstrim. Forget it, forget him. Aku tak pernah menceritakan tentang peristiwa itu, tak pernah mengingatnya --- dan menyisakan memori dan energi lebih banyak untuk pelajaran sekolah. Masalah selesai. 


Percobaan pertama sukses dan aku berusaha untuk menyelesaikan masalah kecil dengan cara konvensional biasa. Berdiskusi, bercerita, kadang dengan bumbu-bumbu rasa tidak suka, kadang hanya sekadar bercerita tanpa rasa sama sekali, hanya narasi. Namun, terkadang masalah dan orang yang dihadapi terlalu menyebalkan dan bertele-tele. Parahnya, masalah dan orang itupun tak penting-penting amat kok. Dia siapa, apa pengaruhnya kalau dia tak ada, sama sekali tidak signifikan. Tapi, kok ya selalu saja memikirkan subjek yang sama, menghabiskan memori, emosi, dan energi. Maka aku memilih untuk melupakan.


Apakah metode ini cukup ampuh, apakah tidak meninggalkan luka yang bernanah dan membusuk, apakah tidak menimbulkan trauma?


Suatu hari, sekitar 3 tahun setelah kejadian dengan Mr X, seorang teman SMA datang ke rumah dan bercerita tentang kejadian masa lalu, perseteruanku dengan Mr X, dan bagaimana aku menyelesaikannya. Dan ketika aku berusaha me-recall memori itu, tak ada kemarahan, tak ada benci, tak ada luka, tak ada nanah, tak ada yang membusuk. Aku seperti melihat sesuatu pada pertemuan pertama, tanpa tendensi, tanpa asumsi. Dan yang jelas, pada masa lalu, aku berhasil menghilangkan satu rangkaian proses yang panjang dan menyakitkan bernama memaafkan. Masalah selesai. Di tengah berbagai derita, pergumulan, beban, pertengkaran, yang kadang kita tidak bisa elakkan karena tingkat urgensinya, berkaitan dengan keluarga dekat, sahabat, yang terkasih, seseorang yang penting, teknik melupakan ternyata, bagiku, lebih cepat menyelesaikan masalah daripada mengikuti alur pemaafan konvensional.