Selasa, 30 Agustus 2011

MAAF

Tadi malam, aku merasa tolol dan jahat sekali. Karena iseng, tanpa berpikir panjang, mungkin juga ditambah lagi kombinasi rasa lapar karena sedang sulit-sulitnya mencari makan di sini, aku melakukan kesalahan yang membuat marah seorang kawan. Benar saja, pagi ini, selain sakit kepala yang sering kuderita selama di Yogyakarta, perutku juga sembelit. Biasanya perut sembelit kuderita karena tekanan mental. Ya, aku benar-benar merasa bersalah.

Memang aku sudah minta maaf, serius dari hati yang paling dalam. Tapi, sebagai seorang yang pernah belajar Ilmu Komunikasi selama 5 tahun, aku tahu bahwa apa yang sudah diucapkan/dituliskan, walau sudah diubah atau diklarifikasi, tidak akan terlupakan begitu saja. Apa yang sudah diucapkan atau dituliskan sudah terjadi dan tidak dapat ditarik lagi. Sehingga, biarpun sudah meminta maaf, perasaan sakit atau terluka yang diakibatkannya tak bisa terhapus begitu saja. Kecuali kawan tadi, tiba-tiba terkena amnesia permanen.

Lebih dari perasaan bersalah, aku juga takut sang kawan merasa aku memojokkan dia karena kondisi kehidupannya. Sama sekali itu tak menjadi maksud dan tujuanku. Murni, karena kedangkalan cara berpikirku, aku hanya bermaksud bercanda.

Mudah-mudahan, di hari yang fitri ini, dia membuka pintu maaf. Seperti yang selalu kuucapkan, minta maaf ya pada saat lebaran, minta tolong ke kantor polisi. Di hari lebaran versi pemerintah ini, aku ingin minta maaf setulus hati, dan aku enggak bawa polisi kok. As you know my friend, aku alergi sama polisi. Maaf ya...

PULANG...


Lagi, aku berada dalam kesendirian saat semua orang sedang merayakan hari besar. Walau merasa sedikit nelangsa, aku menolak untuk nangis bombay karenanya. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Memang sudah beberapa tahun belakangan, aku memilih untuk tidak di rumah untuk perayaan hari besar. Tepatnya sejak 2004. Waktu itu, aku pilih 'melarikan diri' ke rumah keluarga di Anyer untuk merayakan natal dan tahun baru ke Yogyakarta. Walau di rumah kerabat, tetap saja yang namanya perayaan lebih terasa indah saat bersama orang terdekat. Sejak tahun itu, sepertinya aku selalu mencari tempat pelarian. Yang paling parah, tahun 2009, aku menikmati kesendirian di sebuah kamar tempatku menumpang di kantor sebuah LSM di Abepura. Dan tahun baru di kabin penumpang di kapal dalam perjalanan dari Makassar menuju Bali. Sedih? Pasti. Tapi itulah konsekwensi.

Agak miris juga hatiku malam ini saat melihat status orang di fb yang sepertinya sedang berkumpul bersama keluarga merayakan Lebaran. Lebih mengesalkan lagi karena di Yogyakarta, tepatnya di daerah kosanku, hampir tak ada mahluk yang bersisa, baik itu anak kos maupun tukang jualan makanan. Akhirnya aku merasa sudah jadi jin penghuni Jalan Karang Malang selama seminggu ini.

Pertanyaannya, apakah aku masih akan memilih tidak pulang di akhir tahun nanti saat natal dan tahun baru? Yup, aku memang sudah berencana untuk tak pulang. Tahun ini aku akan kembali 'melarikan diri'. Bukannya karena aku maniak dengan kesendirian. Hanya saja, setiap hari besar dan acara kumpul keluarga, aku harus dihadapkan dengan tugas mahaberat. Mencuci piring dan masak. Gile kali, mendingan aku kabur aja deh....

Minggu, 28 Agustus 2011

MEET JACK, CINDY, AND JIMMY


Mari kuperkenalkan pada Jack. Yup, betul, dia adalah cicak yang gambarnya ada di atas. Aku bertemu dia kira-kira seminggu setelah menempati kamar kos baru di Yogyakarta. Karena pada saat itu, tak ada mahluk apapun yang menemani di kamar, maka kamipun langsung cepat akrab. Jangan pikir Jack seperti cicak kebanyakan, yang seperti kata lagu hanya bisa merayap di dinding. Jack sangat gemar berjalan di lantai. Seperti saat ini, tepat saat saya menulis blog ini, dia sedang berjalan-jalan di antara kotak susu dan bungkusan mangga yang saya letakkan di lantai. Setelah saya pelototi, diapun menyingkir dan memanjat kotak sampah di dekat keset kamar mandi.

Oya, Jack tidak sendiri. Suatu pagi, ia ngacir dari kamar. Seharian tidak kelihatan, malamnya saat aku mau tidur, ia pulang berdua. Sepertinya ia mengajak pacarnya tinggal serumah, Dan akupun menamai pacarnya Cindy. Cindy tidak secakep Jack. Ia punya sedikit cacat di ekornya yang kehitaman. Cindy sudah tinggal di kamarku kira-kira seminggu.

Baru tadi malam, aku juga bertemu dengan seekor spesies mereka. Entah itu anak Cindy dan Jack, aku tak tahu. Ia masih kecil, bahkan sangking kecilnya, ia bisa menyelinap di lobang di dinding. Aku juga memberinya nama, Jimmy. Dengan demikian, sudah ada tiga teman yang setia bersamaku, setidaknya sampai akhir pekan ini, saat semua anak kos mudik, suasana sunyi-senyap, dan warung makanpun tak buka.

Sabtu, 27 Agustus 2011

A TRIBUTE




Pagi ini, seperti minggu lalu, aku ibadah di sebuah gereja Khatolik dekat kos. Dan seperti minggu sebelumnya juga, aku mengambil tempat duduk di bagian belakang, di barisan yang hanya ada dua bangku. Tak lama ibadah dimulai, dua orang perempuan masuk dari pintu belakang. Seorang ibu tua duduk di bangku di sebelahku, sementara puterinya duduk di barisan di depannya. Sebagaimana biasa, ibadah di gereja ini menggunakan kertas acara. Si ibu dan puterinya ternyata hanya mengambil satu kertas acara yang dipegang oleh anaknya. Maka, akupun berbagi kertas acara dengannya. Semula, si ibu menolak dan berbisik bahwa ia tidak bisa melihat karena tak mengenakan kaca mata. Masa bodohlah, pikirku. Bagaimanapun juga berbagi kertas acara dengan orang orang yang tak memilikinya, mau dia bisa lihat atau tidak, yang penting aku lakukan dengan ikhlas. Benar saja dugaanku. Walau mungkin pandangannya sudah kabur, tetap saja si ibu khusuk membaca atau menyanyikan kidung dari kertas acara yang kusodorkan sedekat mungkin dengannya sepanjang ibadah.

Si ibu itu sudah begitu tuanya. Ketika berdiri tangannya menopang badan dan sesekali saat ia menangkupkan kedua telapak tangan dalam posisi menyembah (ini ciri khas Khatolik di Jawa, sepertinya), beberapa kali dia harus melepaskan tangkupan tangannya dan berpegangan di kursi di depannya. Beberapa si anak meminta ibunya untuk duduk saja. Tapi tetap saja, si ibu turut berdiri dan duduk sesuai dengan tata ibadah.

Dan setiap minggu juga, di dalam ibadah Khatolik ada perjamuan kudus. Imam dibantu para suster akan berdiri di tengah-tengah lorong gereja dan para jemaat mendatangi untuk mendapat roti perjamuan. Aku tak yakin si ibu bakal sanggup berjalan mendatangi imam atau suster itu. Namun, kala komuni dimulai, seorang suster yang harusnya menunggu jemaat, mendatangi si ibu yang duduk di sampingku dan menyerahkan roti untuknya. Si ibu menerima dengan agak kaget dan iapun dengan khusuk berdoa dan memakan roti itu.

Ketika ibadah hampir berakhir, saat imam mengucapkan terimakasih kepada pelayan liturgi dan para jemaat dari mimbar, tiba-tiba si ibu menyalamiku dan mengucapkan terimakasih. Sama seperti reaksi sang ibu, akupun agak kaget. Rasanya, pagi ini aku juga telah menerima sebuah penghargaan, walau hanya dalam bentuk perbuatan yang kecil. Seperti sang suster yang menghargai kegigihan sang ibu tua untuk datang ibadah pagi itu, seperti itu juga si ibu menghargai sedikit usaha yang kulakukan saat terus menyodorkan kertas acara kepadanya, entah dia bisa membacanya atau tidak.

Jumat, 26 Agustus 2011

GO F*CK YOURSELF!


Beberapa tahun yang lalu, tepatnya di awal 2006, saat aku melamar pekerjaan di sebuah majalah politik tingkat nasional, aku didepak dan gagal di ujian pertama dari tujuh tahapan ujian yang lima di antaranya berbentuk psikotes. Waktu itu, aku jelas mencibir sistematika penerimaan di majalah itu. Masa mau cari wartawan yang siap pakai, mereka hadang dengan 5 kali psikotes. Yaudah, makanlah psikotes kalian itu, begitu pikirku.

Demi menyenangkan hati ibu, waktu itu aku pulang ke Medan untuk mengikuti seremoni wisuda S1 di kampus. Enggak sampai seminggu di Medan, tiba-tiba aku dihubungi oleh staf HRD sebuah LSM perlindungan anak yang sebelumnya juga pernah jadi objek lamaranku. Sayang, waktu itu mereka menolakku karena belum tamat kuliah. Staf yang mereka terima kebetulan sudah lenggang kangkung dan pindah ke lembaga lain yang gajinya lebih tinggi. Karena di Jakarta juga belum ada kepastian, maka kuterima saja tawaran pekerjaan tersebut.

Singkat cerita, aku pergi ke Nias, salah satu wilayah jajahan LSM tempatku bekerja itu. Berkisar sebulan kemudian, ibuku menelepon. Katanya, majalah yang dulu mendepakku di psikotes tahap pertama menelepon lagi, ke rumah, dan mengajak bergabung dengan majalah mereka. Jelas saja aku berang dan murka. Sudah menolakku dan sekarang mengajakku bergabung lagi. Go fuc* yourself!

Begitulah kisah hidupku, terulang lagi saat aku akan melanjutkan studi di S2. Universitas yang kutuju, menyatakan aku tak memenuhi persyaratan akademik. Persyaratan akademik yang mana? Mana ketehe! Yang jelas, IPK-ku di atas 3, berasal dari PTN dengan akreditasi A, dan menyertakan referee yang juga lumayan mantap. Singkat cerita, seminggu kuhabiskan melihat dan kembali melihat seolah tak percaya ke website unversitas yang menyatakan aku tak lolos, akhirnya aku mencari opsi universitas lain.

Memang sudah ada tawaran untuk pulang ke Medan. Tapi, kali ini, aku bertahan. Bukan hanya karena aku sudah membayar uang kos setahun penuh, tapi aku juga tak ingin menyerah begitu saja. Kalo universitas itu tak menerimaku, memangnya kenapa? Masih banyak pilihan lain kok. Aku di sini bukan untuk dia saja. Aku membuka hati untuk yang lain.

Jadi, kuputuskanlah untuk kuliah di tempat lain. Kemarin, setelah membayar biaya 5 SKS di sebuah kampus swasta, iseng kubuka lagi website kampus negeri itu. Eh, kok statusku berubah?! Aku dinyatakan lulus. Sungguh aneh kampus ini, pikirku. Kelulusa itu, menurutku sama sekali bukan mukzizat. Hanya sebuah kesalahan yang diperbaki. Begitupun, tetap saja pagi ini aku terbangun dengan pikiran termangu-mangu. Ih, aneh banget ya? Entahlah, mungkin karena kali ini aku bertahan, maka sesuatu bekerja untuk mengoreksi kesalahan yang telah terjadi. Yang jelas, jalan masih panjang. Aku masih harus mengurus macam-macam proses registrasi ulang. Mudah-mudahan otakku tetap waras sehingga tak sampai melakukan apa yang dulu kulakukan saat lenggang kangkung pergi ke Nias dan berkata pada majalah yang menolakku itu “go fu*k yourself”!

Kamis, 25 Agustus 2011

UP BEAT


Di tengah gempuran bencana alam dan bencana kemanusiaan yang sedang terjadi, seorang teman non-WNI bertanya bagaimana rasanya tinggal di Indonesia. Aku terdiam sejenak dan mencoba merancang jawaban terbaik untuk menggambarkan perasaan sebagai seorang WNI yang tinggal di negeri ini.

Lalu, teringatlah aku pada suatu petang di depan tv menikmati camilan bersama ibu. Tiba-tiba, aku nyeletuk dan berkata, “Mak, kok gak ada berita bencana atau kecelakaan atau korupsi belakangan ini ya?” tanyaku. Ibuku berpaling dan melihatku bingung, “Baguslah. Kan enak kalau aman-aman aja,” ujarnya. “Tapi, aneh juga ya kalau Indonesia ini aman-aman aja. Enggak seperti Indonesia,” ujarnya sejurus kemudian.

“Ibarat musik, tinggal di Indonesia ini seperti mendengar musik up beat,” jawabku pada teman non-WNI itu. “Indonesia ini seperti disco club, musiknya tak pernah melow dan slow. Kau akan selalu bergoyang setiap saat,” ujarku menambahkan. Si kawanpun manggut-manggut, entah paham entah bingung, aku tak tahu. Lalu sesaat kemudian dia berkata, “Kalau begitu beat me up Indonesia. Saya siap untuk bergoyang,” ujarnya sembari berdiri dan mengarahkan telunjuk kanan ke atas dan tangan kiri di pinggang sambil menggoyangkan pinggulnya.



Rabu, 24 Agustus 2011

Yes I'd Rather Hurt Than Feel Nothing at All





Kalau mengingat 6 tahun berlalu dan aku masih menyukai laki-laki yang satu ini, dengan suara kencang 'kan kunyanyikan petikan lagu dari Lady Antebellum berjudul Need You Now. Bahkan, sampai detik inipun, sembari merangkai kata-kata, sesekali kupandangi foto-foto dari akun facebook-nya. Seperti seorang stalker saja, tapi itulah yang kulakukan 6 tahun ini. Menyukainya.


Tapi hidupku tak setragis lirik Ebiet G Ade dalam lagu Untuk Sebuah Nama. 'Mestinya aku berdiri, berjalan ke depanmu, kusapa, dan kunikmati wajahmu atau kuisyaratkan cinta. Tapi semua tak kulakukan, kata orang cinta musti berkorban', begitu kata Ebiet G Ade. Semua yang tak mampu dilakukan siapapun di dalam lagu itu, sudah kulakukan. Dan aku memang harus berkorban, aku ditolak.

Namun, katanya lagi, lebih baik sakit hati daripada mati rasa. Ah, memang manusia suka sekali masokis terhadap dirinya sendiri. Dan, kata orang, waktu akan mengobati. Memang, rasa sakit itu hilang, tapi tetap saja dadaku masih bergunjang bila menyebut namanya. Padahal dia diciptakan bukan untukku, tapi aku tidak mau peduli. Walau kata banyak orang dia itu gay...

Selasa, 23 Agustus 2011

ORANG-ORANG TOLOL


Pagi ini aku terbangun dengan rasa sakit berdenyut-denyut di kepala. Mungkin karena udara Yogyakarta sedang dingin-dinginnya. Keinginan untuk bangun agak siang-pun tak terlaksana karena pagi ini, salah satu teman yang menginap di kos akan berangkat ke Surabaya dengan kereta pagi. Lewat jam enam, aku bangun dan melihat jam di hp. Ah, ada satu sms. Isinya agak aneh, 'kenapa tidak ada inspirasi dua hari ini?'

Aku ketawa dan langsung membalas, 'ada pengganggu di kosanku, tapi sudah kuusir pagi ini'. Terus terang saja, aku senang ada orang yang mencari tulisanku di blog ini, entah dengan rasa jijik, benci, atau apapun. Selama menulis untuk blog ini, aku merasa seperti orang tolol yang dengan anehnya menulis sesuatu dari hal-hal kecil tak penting. Ternyata, ada orang-orang yang lebih tolol yang membacanya dan mencarinya setiap hari. Peace guys..., and thank you. Dan hari ini, kalianlah inspirasiku!


Senin, 22 Agustus 2011

FINISHING THE UNFINISHED


Setahun sudah karya Victor Hugo, The Hunchback of Notre Dame kubeli. Tadi malam, dengan tekad membara aku berjanji akan menyelesaikan karya klasik itu. Pasalnya, aku kadang tertegun di satu titik ketika membacanya. Karena sudah begitu lamanya buku itu dalam proses 'dibaca' sampai-sampai ada beberapa detail yang sudah kulupa.

Tinggal sekitar 30-an halaman terakhir, sekitar pukul 9 malam, tiba-tiba seorang kawan baik menelepon. Percakapan mengalir ke sana ke mari saat dia memastikan bahwa ia menelepon karena sudah menggunakan fasilitas 'temon' yang kebetulan ingin ia habiskan untuk menghubungi seorang gebetan. Apa daya, teleponnya tak diangkat sang gebetan. Jadilah aku kambing congek untuk menghabiskan pulsanya yang sudah terlanjur terpotong.

Jam 11 malam baru hubungan kami terputus. Kelihatannya 'temon' sang kawan sudah habis. Mata sudah mengantuk, untunglah tekadku masih membara. Karya penulis Perancis itupun selesai pukul setengah satu malam. Akhirnya, selesailah pekerjaan yang belum selesai itu.


Sabtu, 20 Agustus 2011

PERCAKAPAN CLAUDE DAN JEHAN

Ini adalah percakapan kakak-adik, Claude (wakil uskup di Paris) dan Jehan (adik Claude, seorang mahasiswa pemalas) dalam karya Victor Hugo, The Hunchback of Notre Dame.

"Jehan, kamu harus berpikir sungguh-sungguh untuk menebus dosa. Kamu berada di lereng yang licin. Kamu tahu ke mana kamu pergi?"

"Ya, ke kedai minum."

"Kedai minum mengarak ke pasungan."

"Itu suatu petunjuk yang sebaik petunjuk apa pun."

"Dan pasungan mengarah ke perancah."

"Perancah selalu dalam keseimbangan di mana ada satu orang di satu ujungnya dan seluruh dunia di ujung lainnya; sesuatu yang baik untuk menjadi manusia."

"Dan perancah mengarah ke neraka."

"Paling tidak di sana lebih hangat."

"Jehan, Jehan! Kamu akan sampai di akhir yang jelek!"

"Paling tidak aku punya permulaan yang baik."



Out of box. Sebuah contoh jenius cara berpikir yang keluar dari standar. 

Jumat, 19 Agustus 2011

SELIMUT BARU

Cihuy, akhirnya jadi juga aku membeli selimut baru!



Sudah dua minggu ini aku berencana membeli selimut dan tikar untuk tempat tidur jika ada tamu di kosan. Minggu lalu, aku sudah melihat-lihat selimut dan tikar yang bakal kubeli. Bentuk dan modelnya sudah cocok. Tapi, aku terbentur di masalah harga. Selimut batik dibandrol dengan harga Rp 150 ribu, sementara tikarnya Rp 140 ribu. Kalau membeli keduanya, maka harus keluar uang sekitar 300 ribu. Sementara, ada beberapa kebutuhan lainnya yang harus kupenuhi.

Timbang rasa dan timbang pikir, aku putuskan untuk membeli selimut saja terlebih dahulu. Alasannya, Yogyakarta sekarang sedang dingin-dinginnya. Selimut tebal adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Sementara, di kosan belum ada tamu yang harus disediakan tempat tidur tambahan. Jadinya, membeli tikar diundur nanti saja, kalau ada rejeki tambahan atau di termin kiriman dari ibu selanjutnya. Walau tak sesuai dengan yang ditargetkan, tapi itulah keputusan yang terbaik.

Hidup ini memang tak selalu sesuai target. Jadi ingat ke curhatan teman beberapa waktu yang lalu. Katanya dia menikah karena ingin memenuhi target usia yang sudah mepet. Memang, enggak satu dua orang yang menjadikan faktor usia sebagai target menikah. Tapi, enggak disangka, teman yang kuanggap cukup mumpuni menggunakan kemampuan logikanya, ternyata membuat keputusan seperti itu.

Memang, tidak ada yang menjamin bahwa pernikahan atas dasar target usia pasti tidak bahagia. Tapi, berbicara mengenai pertimbangan, selalu soal rasa dan logika. Sayangnya, di dalam praktik sehari-hari, logika sering dikalahkan oleh rasa. Padahal otak yang merepresentasikan logika ukurannya lebih besar daripada hati yang merujuk pada rasa. Kasihan juga pada otak yang juga diberi tempat lebih tinggi tapi selalu digusur oleh faktor rasa. Entahlah, jadinya seperti menghakimi. Yang jelas, malam ini, dengan pertimbangan rasa dan logika, aku akan tidur hangat di balik selimut baru.

Kamis, 18 Agustus 2011

MENATA DIRI, MENATA HATI


Pagi ini, saya membaca sebuah artikel yang sangat bagus di sebuah situs berita. Sebenarnya artikel itu ditulis oleh seorang arsitek yang mengkritisi kondisi tata kota di Jayapura. Saya sangat sepakat dengan si penulis yang menggambarkan Jayapura sebagai salah satu kota terindah di Indonesia. Gunung dan pantai bertemu dan menyajikan visual yang sangat menakjubkan. Namun, si penulis mempunyai pandangan yang berbeda. Melihat sebuah kota, janganlah dari mata burung. Artinya, kota harus dilihat dari dekat, dari kehidupan masyarakat sehari-hari, dilihat dari dalam.

Dari dalam, dari kehidupan sehari-hari, kitapun bisa melihat diri seseorang yang sebenarnya. Walau tampak indah, dari kejauhan, belum tentu benar indah bila dilihat setiap hari. Seperti melihat sebuah kota, kitapun akan melihat sampah, selokan, dan kesemrawutan lainnya di dalam diri seseorang.

Kalau di sebuah kota, ada pemerintah yang harusnya melakukan perbaikan, membuat tata kota yang baik, dan memberikan karakter pada kota tersebut. Tapi kita, kitalah yang menata diri kita sendiri. Kitalah wali kota bagi diri kita sendiri. Mari melihat ke dalam diri, mengkritisi apa yang kurang, dan memperbaikinya. Mari menata diri, mari menata hati.

Rabu, 17 Agustus 2011

PERCAYA DAN MERASA DAMAI

Pagi ini aku mendapatkan suatu pelajaran tentang kehidupan, dari sebuah komik berjudul Yokohama Chinatown Fantasy. Tokoh utama yang bernama Hana dihadapkan pada satu keadaan di mana ia merasa harus membuka rahasia hidupnya kepada seseorang. Namun, orang itu bisa saja berbalik dan membongkar rahasianya sehingga kehidupan Hana pasti akan hancur.


Roh selir yang selalu menemaninya, menghalangi Hana agar tak membuka rahasianya. Tapi Hana bersikukuh untuk memberitahukan pada orang itu tentang dirinya yang sebenarnya. Bukan saja karena orang itu sudah terlebih dahulu berterus-terang pada Hana. Tapi, Hana berprinsip daripada hidup dengan mencurigai orang lain, lebih baik hidup dengan mempercayai orang lain. Meskipun dikhianati atau diperdaya.


Percaya. Sebuah kata yang sederhana namun sulit untuk dilakukan. Setiap hari kita menaruh curiga pada orang lain, merahasiakan sesuatu, dan akhirnya itu menjadi kebiasaan. Padahal, percaya bukan hanya membuat kita mendapatkan persahabatan sejati. Lebih dari itu, ada rasa damai saat kita mempercayai seseorang. Ya, pasti ada resiko penghianatan. Namun, bukankah itu sudah lepas dari tanggung jawab kita? Masing-masing orang bebas menentukan sikapnya. Kelak jika ada penghianatan, itu perkara lain. Menjadi percaya dan merasa damai, bukankah itu yang ingin kita peroleh dalam hidup ini?



Selasa, 16 Agustus 2011

FILOSOFI TEH


Saat pindah ke Yogyakarta, aku harus membeli sebagian besar kebutuhan sehari-hari. Mulai dispenser, ember, sampai jepit jemuran. Tak lupa, aku juga membeli teh dan gelasnya. Satu yang tak kubeli, saringan teh.

Untung, teh yang kubeli adalah teh kasar, bukan teh bubuk. Awalnya, aku tak berniat menyediakan saringan teh. Biarlah tehnya diaduk saja di dalam gelas, jangan disingkirkan. Namun, teman sekamarku, tak berkenan melakukan sedikit kerja sebelum minum teh. Ia menuntutku untuk membeli saringan teh.

Akhirnya, saringan itupun kubeli. Aku menggunakannya pertama kali saat menyediakan teh untuk kami, aku dan temanku. Dan, itulah terakhir kalinya aku menggunakan saringan teh itu. Karena sebelum membeli saringan teh, aku sudah beberapa kali ngeteh tanpa saringan. Teh yang diseduh, kalau sudah agak dingin, akan turun perlahan. Tidak semua memang. Masih ada yang tetap di permukaan. Tapi, dengan bantuan sendok, aku menyisihkannya. Tidak, aku tak membuangnya ke tong sampah atau saluran air di kamar mandi. Aku hanya menyisihkannya. Teh itu masih di tempat yang sama, di gelas yang sama. Memberikan cita rasa pada air yang kuseruput dengan nikmat.

Mungkin, begitulah harusnya kita memperlakukan masalah di dalam hidup ini. Tidak perlu disingkirkan atau disaring, sisihkan saja. Yang penting kita masih dapat menikmati hidup ini, bukan? Karena masalah dan halangan juga yang membuat hidup ini semakin terasa nikmat. Seperti menyeruput teh hangat di pagi hari.

SUBSTITUTE

 Di kota ini, udara pagi memang sangat dingin, tapi karena banyak yang berolah raga, akupun turut keluar tanpa menghiraukan dinginnya pagi. Di sini juga, angkot berbentuk minibus punya trayek yang membingungkan dan terlalu berputar-putar, tapi karena budaya jalan kaki sudah melekat di masyarakatnya, akupun sering memilih jalan saja daripada naik angkot. Di kota ini juga, harga mangga harum manis jauh lebih mahal, tapi dengan harga hampir dua kali lipat, kualitas mangga yang kudapat juga super, superbesar dan supermanis.


Hidup di kota ini tidaklah mudah, awalnya. Namun, semua yang tidak kutemui di sini, dapat kugantikan dengan hal yang lain. Hidup ini hanyalah perkara mencari penggantinya saja. Andai itu juga berlaku untuk semua hal di dunia ini.